Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kudeta yang gagal
Baku tembak yang berlangsung selama 14 jam berhasil kami menangkan. Setidaknya sebanyak 4 ribu pasukan musuh gugur, seribu tertangkap dan 400 balon udara mereka jatuh. Sedangkan di pihak kami, 521 prajurit militer gugur ditambah 200 penduduk ikut menjadi korban. Serangan mereka tergolong bunuh diri. Mereka tau banyak divisi militer yang masih belum kembali ke ibukota karena itu mereka berani menyerang. Ini juga menjadi akhir dari gencatan senjata yang beberapa bulan lalu disepakati.
Kuberjalan menyusuri jalanan yang penuh mayat bergelimpangan dengan darah menggenang di mana-mana. Tujuanku adalah rumah untuk membuka ruangan bawah tanah. Dari ratusan rumah yang rusak untung saja rumahku masih utuh.
Aku segera membuka bunker tanah dan lega rasanya paman, bibi, dan Lena tidak apa-apa.
" Yoha? " Kejut paman melihatku. Wajar mereka kaget melihat kemeja putih yang kupakai sekarang bercampur warna merah.
" Syukur kalian tidak apa-apa. " Sahutku sembari membantu mereka keluar dari sini. " Untuk sementara, kalian di sini dulu. Distrik pusat masih belum kondusif. "
" Kau benar." Jawab bibi yang berjalan menuju dapur. " Aku akan membuatkan makanan dulu. Sudah seharian kami cuma makan roti gandum saja. "
Bibi dengan keahlianya mulai mengeluarkan sisa-sisa bahan makanan di dapurku dan Lena juga datang membantu. Hanya saja gadis itu menjadi pendiam dan murung bahkan tidak sepatah kata keluar dari bibir manis itu ketika berjalan melewatiku. Apa mungkin dia masih ketakutan?
Namun, baru saja bibi menyalakan api tiba-tiba terdengar suara baku tembak di kota. Tanpa pikir panjang aku angkat kembali senapan dan berlari distrik pusat. Bahkan bukan hanya aku, tapi para tentara lain entah masih sehat atau sedang terluka juga berbondong-bondong ke kota dengan senapan mereka.
Semua sadar kalau perang belum usai. Suara tembakan terus terdengar dari arah istana. Bukan tidak mungkin ada musuh yang berhasil menyelinap di area istana.
Tapi ketika kaki kami memasuki gerbang distrik pusat, rentetan peluru menghujani dari depan dan atas benteng. Sesigap mungkin aku membantu beberapa tentara di dekatku untuk berlindung. Aku tidak tau siapa yang menyerang. Tapi seharusnya kota sudah bersih dan menyisakan beberapa musuh saja yang terkepung.
" Polisi memberontaaaak...! "
Suara teriakan entah dari mana itu membuatku dan tentara lain terprovokasi. Ini bukan serangan sisa musuh melainkan kudeta para oposisi.
Kami keluar dari tempat berlindung dan menerjang hujanan peluru. Benar ternyata, saat kufokuskan pandangan ada banyak polisi memblokade jalan kami dan tak henti menembak. Bahkan bukan hanya polisi tapi ada beberapa kompi tentara terlibat.
Tujuan kami hanya satu, yaitu istana. Apapun yang terjadi, kami harus sampai di sana untuk melindungi ratu.
Dengan amunisi menipis, kami nekat menyerang balik. Setengah dari kami naik ke atas benteng untuk melawan mereka sementara aku dan yang lain maju menyerang blokade di bawah.
Setelah melawan Varaya, sekarang kami harus menghadapi saudara kami sendiri. Skenario yang memang sudah diprediksi ratu. Kami terpaksa saling membunuh demi melindungi kerajaan dari ancaman kudeta.
Dalam 10 menit saja kami berhasil menghancurkan blokade dan membunuh setidaknya 210 pemberontak. Dari gerbang menuju istana, hadangan demi hadangan kami lewati tetapi tidak sedikit dari mereka yang memilih menyerah.
Selain mental yang lemah, mereka memang kurang bagus dalam menembak atau bertarung jarak dekat. Kemungkinan mereka sadar jika berhadapan langsung dengan tentara yang sudah kenyang pengalaman di medan perang, mereka pasti akan kalah.
Saat kami sebentar lagi sampai di benteng istana, ternyata sudah ada ribuan tentara bantuan dari kota terdekat yang mengepung para pemberontak. Mereka datang terlambat tapi justru jika mereka datang cepat percobaan kudeta pasti diundur.
Tak berselang lama, Ratu muncul dari atas gerbang istana. Tangan kirinya memegang sesuatu yang terbungkus kain hitam.
" Kalian pikir bisa membunuhku dengan para pengecut begini? Memanfaatkan kekacauan dan membuat rakyatku semakin menderita... " Cetus ratu dengan lantang lalu membuka sesuatu yang ada di tangannya.
Kami semua tersentak saat pemimpin tertinggi Magolia itu menunjukkan secara gamblang kepala dari pemimpin kepolisian alias pamannya sendiri bernama Kolonel Jenderal Gerald.
" Dengan ini kuputuskan kepolisian Magolia sepenuhnya dibawah kepemimpinanku. Dan semua yang terlibat dalam percobaan kudeta akan dieksekusi! "
Keputusan ratu membuat para tentara berbondong-bondong memburu para polisi dan tentara yang membelot hidup atau mati.
Perang saudara pecah walau dalam skala kecil. Mereka memanfaatkan kekacauan dan berhasil menjauhkan sebagian tentara dari distrik pusat lalu langsung menyerang istana. Tapi mereka tidak tau kalau ratu sudah menunggu momen itu.
Para perwira dan pejabat mulai ditangkap satu persatu. Bukti-bukti keterlibatan mereka sudah tidak bisa dielak terutama keterlibatan dengan sekte Pandora. Mereka langsung dieksekusi di tempat. Bahkan para pejabat istana yang terlibat dihabisi langsung oleh ratu.
***
Hanya butuh waktu 4 jam, semua yang terlibat pemberontakan tertangkap di berbagai tempat. Entah berapa jumlah mereka yang ditangkap karena bukan hanya di Ventbert tapi kudengar di beberapa kota juga terjadi pemberontakan walau kecil.
Sekarang setelah patroli, akhirnya aku bisa pulang untuk istirahat. Pertempuran itu menghabiskan tenaga dan tentu saja mengembalikan traumaku. Aku mulai mendengar lagi suara berisik di kepala.
Di depan rumah, segera kubuang bajuku. Tidak mungkin aku menampakkan diri ke paman dan bibi dengan baju berlumur darah.
" Bagaimana keadaan kota? " Tanya paman saat aku membuka pintu.
" Sudah aman. Mungkin sebentar lagi darurat militer dicabut. " Jawabku.
" Para polisi itu bisa-bisanya menambah kekacauan di masa seperti ini. " Sela bibi dengan nada geram.
" Tapi kalau kudeta tidak terjadi, kebusukan mereka juga tidak akan pernah terbongkar. " Sahut paman.
Aku membersihkan sisa-sisa darah kering di tanganku dan memakai jaket militer di gantungan baju dekat pintu.
" Aku menyisakan makanan di meja, makanlah segera walau sudah dingin. " Pungkas bibi padaku.
Sebelum duduk, aku sempat menoleh ke segala arah karena ada sesuatu yang kurang. Ya, di rumah hanya kulihat paman dan bibi sedangkan Lena tidak ada.
" Ngomong-ngomong di mana Lena? " Tanyaku.
Bibi mengambilkanku semangkuk sup dan menjawab, " Dia tidur di kamarmu. "
" Begitu ya. " Balasku seraya menyantap sup dan beberapa lauk di meja.
Saat asik menyantap, pandangan bibi terus melihat ke arahku. " Apa ada yang salah bi? "
" Wajahmu pucat sekali? Yakin tidak ap—"
Belum selesai bibi bicara, sebuah ingatan mengerikan itu kembali. Ya, traumaku kambuh lagi. Aku membayangkan terus perang yang kemarin terjadi dan suara jeritan mulai mencabik-cabik telingaku. Segera aku naik ke kamar untuk mengambil obat.
Saat pintu kamar kubuka, Lena ternyata sedang duduk di ranjang dengan botol obatku di genggamannya.
" Lena, bisa berikan obat itu padaku? " Pintaku lirih sambil berjalan mendekati Lena.
" Ma-maaf aku lancang menggeledahi kamar kakak. " Balasnya dengan memberikan obat itu padaku.
Aku tak menggubris sejenak perkataan itu dan secepat mungkin menelan beberapa pil.
" Kakak tidak apa-apa? Aku bisa dengar nafas kakak cukup kacau. "
" Aku tidak apa-apa kog. "
Lena hanya diam lalu beranjak dari ranjang dan pergi dengan meraba-raba dinding. Wajahnya sedikit muram, apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa dia masih syok karena pertama kali merasakan kekacauan begini?
Tak lama, Bibi masuk membawa peralatan medis dan menutup pintu lalu menyentuh leher belakangku, " Bahu kirimu tertembak. "
Kaget mendengar ucapan bibi, langsung kuraba bahuku. Benar aku tiba-tiba merasakan nyeri dan panas di bahu kiri.
" Adrenalin yang tinggi membuatmu tidak merasakan sakit. Untung pamanmu sadar dan memberitahuku. " Kata bibi sambil membersihkan luka di bahuku dengan kapas dan alkohol.
" Apa lukanya dalam? Kalau iya, lebih baik aku ke rumah sakit sekarang bi, "
Tak lama kurasakan ada sesuatu yang tercabut dari bahuku. " Kau pikir siapa bibimu ini? Luka tembaknya dangkal jadi tenang saja. "
Bodohnya aku meragukan kemampuan seorang pensiunan dokter yang sudah ratusan kali mengobati luka tembak.
" Apa traumanya kambuh lagi? " Tanya bibi.
Aku mengangguk pelan, " Tapi sekarang sudah lebih baik berkat obat itu. "
" Sekali lagi apa kau yakin tidak mau berhenti? Aku sudah melihat banyak prajurit terkena shell shock dan mereka dilarang kembali ke kesatuan militer. "
" Maaf bi... Aku tetap seorang anggota pasukan khusus dan cepat atau lambat harus pergi lagi. Dan keputusanku tetap sama, selagi pembunuh ibuku masih hidup, aku akan terus memburunya. "
" Baiklah aku juga tidak punya wewenang melarangmu. Tapi ingat, kau tidak sendirian di dunia ini. Kau punya tempat untuk pulang. Jika bukan aku atau Cooper, aku yakin Lena bisa menjadi tempatmu untuk kembali. "
" Lena ya... " Gumamku seraya mmebayangkan senyum Lena.
" Aku tau kedekatan kalian akhir-akhir ini. Lagipula kalian bukan saudara kandung jadi tidak masalah jika kalian saling ada rasa. "
Aku hanya diam. Ada rasa? Apa maksud perkataan bibi? Otakku masih mencoba menelaah kata-kata itu. Selama ini kedekatanku dengan Lena hanya kuanggap sebatas hubungan adik kakak walau kami tidak sedarah. Walau aku merasakan kenyamanan.
^^^To be continued^^^