Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suamiku Ringan Tangan
Plak ... petaaas, suara tamparan bertubi-tubi di pipi, dibarengi dengan jatuhnya diriku tersungkur dilantai.
Tidak tahu kesalahan apa lagi yang ku perbuat sehingga memancing emosinya lagi.
"Kamu itu hanya jal*ng yang tak tahu diri, dan gak punya malu," Suara gertakan suami marah, yang kini tengah menghajar.
"Awww ... aa. Lepaskan, Mas. Sakit," ucapku dengan tangan berusaha menahan cengkraman rambut.
Terus saja mringis. Begitu kuatnya dia menjambak. Mau meronta tak punya kekuatan sebab tenaganya lebih besar. Mau kabur malah cari mati saja nanti.
"Gimana? Sakit ... hah. Bhugh!" sebuah tendangan kaki terdarat di perutku.
Hatinya keras bagai batu. Tidak ada rasa iba dan toleransi.
Pugh ... bhugh, bertubi-tubi tendangan dilayangkan.
"Rasakan itu. Matilah kau."
Hanya bisa menahannya. Berteriak pun tak ada guna. Dia terus bagai orang yang kesetanan tanpa ampun terus melayangkan bogeman.
"Awww ... aak. Mmph," Suaraku menahan sakit diperut akibat tendangan membabi buta suamiku.
"Hentikan, Mas. Salahku apa?" isak ku pilu penuh mengiba.
"Jangan banyak tanya kau ini. Masih saja tanya salah kamu itu apa, hah!"
"Iya, Mas. Ampun dan maafkan aku jika memang ada salah."
"Cuiih, jangan harap." Dia meludah tepat di wajahku.
"Kamu ingin tahu salah kamu apa?" Dia menarik rambut kebelakang dan otomatis wajahnya yang bringas dapat ku tatap seksama.
"Salah kamu karena telah menjadi istriku yang bodoh dan tak berguna, paham!" Dia melepaskan dengan cara membanting.
Airmata terus saja jatuh. Dia melenggang pergi tanpa menoleh ke belakang sedikitpun terhadap diriku yang lemah akibat siksaan.
Begitulah hari-hariku dianiaya oleh orang yang dulu pernah ku sayang, tapi kini semua berputar balik yang ada hanya ada rasa kebencian.
Namaku Dona, wanita cantik yang dulunya adalah seorang model, yang kini berubah menjadi seorang ibu rumah tangga, bersuamikan pengusaha dibidang ekspor impor. Niat hati ingin bercita-cita bersuamikan orang kaya, agar bisa merubah nasib menjadi lebih baik, tapi pada kenyataan lara dan luka yang kuterima.
Dulu hidup hanya klontang-klantung tanpa ada orangtua yang menemani untuk menjalani hidup, sebab aku adalah anak yatim piatu sejak SMP kelas 3.
Diri ini sudah kehilangan orang tua, karena sebuah kecelakaan yang menghilangkan nyawa mereka, sehingga bibi lah yang meneruskan untuk membesarkan ku. Banyak pengorbanan bibi maka daei itu ingin membahagiakan dengan cara instan menikah dengan pria tajir.
Waktu SMA aku sudah terjerumus dengan pergaulan bebas bersama Ryan, di hidup kami hanya ada motto untuk bersenang-senang melewati masa remaja. Kami menghabiskan waktu yang sia-sia terbuang. Kami bagaikan pasangan yang tak 'kan pernah terpisahkan. Bahkan pernah mengikat janji akan selalu bersama selamanya.
Selama 4 tahun kami berpacaran, Ryan masih tetap menjaga cintanya kepadaku, tapi karena keserakahan terhadap harta, aku mau saja menerima lamaran orang yang belum tahu sepenuhnya seluk beluk keluarganya. Tanpa ada rasa curiga, aku mau menerimanya begitu saja, yang katanya dulu ada hutang budi terhadap almarhum kedua orang tuaku.
Nampak berwibawa dan mapan, makanya dalam pikiran tidak terbesit sama sekali jika dia hanya orang yang tak diinginkan dari keluarganya sendiri.
Awal-awal pernikahan kami, suami terlihat sangat menyayangi, dan semenjak mertua menyerahkan urusan perusahaan, sering kali suami menghajar walau hanya gara-gara masalah sepele.
"Dona kamu sudah ngisi apa belum?" tanya Papa mertua.
Sambil bertanya, tangan beliau kini tengah sibuk menyendok makanan, untuk dimasukkan ke dalam mulut.
"Belum, Pa! Kami berdua sedang berusaha," balik perkataanku.
"Kalau kamu sudah ngisi, nanti anak kamu akan papa hadiahi perusahaan dan perkebunan, yang ada di Kalimantan," ucap mertua laki-laki.
"Kamu ini gimana sih, pa! Hamil saja belum, main kasih harta saja. Mereka itu hanya orang luar, yang bukan keturunan keluarga kita," celetuk Mama mertua.
Kami semua sedang berkumpul untuk makan siang. Rutin kami melakukan ini, dengan maksud agar keluarga kami bisa rukun semua.
"Iya, Pa! Dia itu hanya orang asing. Lagian dia itu hanya istri bersuamikan dari anak haram," simbatan adik ipar laki-laki yang tak setuju.
Semua mata tertuju pada kami. Sorotnya begitu tajam dan tidak senang.
"Bener, Pa! Lagian aku belum hamil lagi, jadi jangan keburu menyerahkan harta begitu saja," timpal balik omonganku, agar semua orang tidak tersinggung.
Cetiiiit, sebuah cubitan perut didaratkan oleh tangan suami, yang kemungkinan tidak setuju atas perkataanku barusan Terlihat dari pelototan matanya membulat sempurna, yang diiringi rahang sudah mengeras, seperti tersulutnya sebuah amarah.
"Aaah ... kalian diam saja. Ini semua adalah urusanku. Mau ku bagi ke siapa saja warisan itu, ya semua terserah padaku. Jangan pada sok tahu kalian!" Papa mertua tidak setuju
Sebab tak senang, papa mertua berusaha pergi dari makan bersama menggunakan kursi roda, tanda sudah selesai ikut makan siang. Entah mengapa beliau begitu menyayangiku seperti anak sendiri, tapi naasnya mama mertua dan adik ipar laki-laki dari suami tidak begitu suka padaku, mungkin dikarenakan suami adalah anak dari luar nikah, jadi mereka ikut membenciku.
"Jangan kau pikir semua akan berakhir bahagia untukmu," Peringatan Mama mertua.
"Tenang saja, Tante. Aku bukan orang yang rakus seperti kalian yang haus kekuasaan," Balik menjawab tak senang.
Dengan santai suami terus mengunyah makanan.
"Apa yang kau bilang? Jangan mentang-mentang kau sudah masuk di keluarga kami, kau bisa seenaknya saja dan mulai berani. Apalagi sampai mau menantang kami." Adik laki tidak terima.
"Bukan aku yang menantang, tapi kalian sendirilah yang memulai." Dengan nada enteng menjawab.
Suasana semakin memanas. Tidak ada yang mau mengalah. Aku hanya terdiam menyaksikan. Tidak ada gunanya ikut campur sebab takut malah kena mental balik.
"Cih, jangan kau pikir suamiku menerima kamu dengan baik, sehingga seenaknya saja kau mau berulah. Kau hanya anak haram yang tak diinginkan di keluarga kami, jadi jangan coba-coba melangkah lebih jauh lagi, atau kau akan rasakan sendiri akibatnya, cam kan itu?" ancam mertua.
"Tenang saja, Tante. Tidak usah khawatir terlalu berlebihan gitu. Tapi jika kalian berulah yang aneh-aneh, akupun juga akan bertindak lebih jauh dari apa yang kau pikirkan," Berdiri mendadak sampai kursi berdecit.
"Ayo kita pergi dari sini. Tidak ada gunakan berbicara sama orang yang menganggap orang lain sebagai hama saja," sindir kasar suami.
Tangan disekat dan segera ditarik. Akupun hanya pasrah saat diajak ingin pergi.
"Maaf, Ma. Kami pulang dulu!" Tetap saja bersikap bod*h berpamitan.
"Hmm, pergilah. Daripada melihat wajah kalian yang memuakkan itu."
Tangan sakit saat dicengkeram begitu kuat. Emosi suami tertumpah kan pada diriku, sehingga tanpa sadar kukunya sudah menembus kulit ini. Hanya bisa meringis menahan sakit.