Sehat itu mahal harganya! Dan itu memang benar, keluarga Giovani Mahardika rela membayar seorang gadis untuk menikah dengan putra bungsu mereka demi menyembuhkan gangguan mentalnya.
Dialah Alleta Rindiani, setelah melewati beberapa pertimbangan dan penilaian akhirnya gadis inilah yang dipilih oleh keluarga Gio.
Di tengah usaha keras Alleta, secercah harapan akhirnya muncul, namun Gio nyatanya jatuh cinta pada Alleta.
Akankah Alleta membalas cinta Gio di akhir masa perjanjian? Terlebih sesuatu telah tumbuh di dalam sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bungee~ Bab 21
Dan malam minggu ini, kembali Gio berpakaian rapi nan wangi seperti kemarin. Sepatu putih yang sudah Leta sikat atas titah Gio.
Matanya tak bisa untuk tak menperhatikan suami mahasiswanya yang kini tengah memakai sepatu di samping Leta. Aroma maskulin begitu sesak di penciuman Leta ciri khas parfum bibit murah, bercampur padu dengan mint dan citrus dari rambut basah Gio.
Leta tak sadar jika Gio sudah merasa diperhatikan olehnya sejak tadi, maka terbitlah ide usil itu lagi di otak Gio. Diangkatnya dan dikibas-kibaskannya kaos kaki di depan hidung Leta.
Sontak saja gadis itu mengelak dan menepis kaos kaki Gio membuat Gio tertawa.
"Jorok!"
"Sorry ya, kaos kakiku ngga bau...baru sekali dipake non...kamu sendiri yang nyucinya."
Leta memicingkan matanya hingga sejurus kemudian membalas Gio dengan menyambar sepatu suaminya itu dan melemparnya jauh-jauh, "tetep aja, udah dipake sama kaki kamu, mas!"
"Ta ih! Ambil!" sewotnya tak terima sepatunya dilempar, namun kemudian ia cengengesan, "surgamu itu..."
Leta bergidik, "itu arti kiasan, mas! Makanya kalo makan salak jangan sama kulit-kulitnya, makanya be go gini!" ucap Leta, kembali membuat Gio tertawa dan kini justru gemas mencubit pipi Leta. Mulut istrinya itu memang emejing, ada saja kalimat dan celotehan diluar fikrinya.
"Kamu. Yang makan nasi kucing, sama kucing-kucingnya..." balas Gio tertawa sendiri padahal Leta sama sekali tak niat tertawa akan selorohannya.
"Gila nih orang." gumam Leta melihat kegembiraan berlebih dari Gio, ia hanya heran...semakin sini Gio semakin ga waras menurutnya.
"Mas, kok aku jadi takut ya..." ucapnya khawatir.
"Takut opo? Setan kok takut setan..." cibirnya bar-bar. Namun tak ada rasa canggung bagi Gio jika itu dengan Leta.
"Ck!" Leta berdecak lalu dengan tak segan-segan menarik daun telinga Gio kasar, "aku takut kamu gila beneran. Ke rsj yukkk!" ajaknya pada Gio.
"Cih, kurang asem kamu...aku waras, sehat wal'afiat...ambilin helmku..." titahnya tak segan lagi memberikan perintahnya.
Leta menyunggingkan bibirnya julid, emh! Fir'aun--Fir'aun! Gerutunya namun tak urung patuh jua.
"Mas," panggilnya ketika menyerahkan helm pada Gio.
"Hm? Jangan bilang mau diapelin, malem mingguku nyari duit, Ta. Nanti apelnya kalo aku udah kaya..." oceh Gio seperti biasa, persis emak-emak di pertengahan bulan, yang kalo makan sayur tuh abisin kuahnya dulu bareng nasi, baru dedek-nya. (isian yang tenggelam di dalamnya)
"Suudzon lagi, sun go kong!" tukas Leta menghardik, "dengerin dulu, to! Kalo aku mau ngomong, jangan dipotong-potong terus! Kamu manusia opo gunting rumput?" cerca Leta ujungnya kesal juga.
Gio mengehkeh cengengesan seraya memakai helmnya, pasang helm di kepala aja butuh ancang-ancang dan ritual menyugar rambut dulu. Lama-lama Leta jambak juga rambut gondrong Gio yang terkesan rawrrr!
"Opo to nduk?" tanyanya lagi membenarkan sikapnya so manis, dan justru kali ini Leta membuat gestur muntah dan merotasi bola mata.
"Katamu, buat bantuin kamu...aku bisa tetep ada di sampingmu, njagain kamu biar tetep waras. Apa aku perlu ikut kamu kerja, aja ya?" tanya nya memberi usul, terang saja Gio menggeleng melarangnya, "ndak usah! Apa-apaan kamu ikut ke tempat begituan. Yang ada kamu ngga biasa, sawan, masuk angin lagi..." omel Gio.
Leta berdecak, "biar kamu tetep waras. Kenapa ngga keluar aja sih, cari kerja lain...lagipula kerja buat opo? Uang kuliahmu di bayarin mas'e. Jajanku juga ndak perlu banyak-banyak, aku bisa minta ibu dulu sebagian..."
Dan kembali, tanpa harus berpikir dua kali apalagi tiga kali...Gio menggeleng memberikan penolakannya, "cari kerja ngga semudah kamu bernafas, Ta. Jaman gini, kalo ngga punya keahlian, ngga punya channel, susah!"
Gio menatap Leta lekat, "sekarang tuh apa-apa serba orang dalam...dan aku, adalah salah satu orang beruntung bisa kerja disana, disana tuh pendapatannya besar, Ta. Bisa mengcover pembiayaan kuliahku yang ngga bisa dibayar mas-masku atau uang pensiunan bapak."
Leta hanya mengangguk sekali menyimak, sementara Gio...kembali memberikan penjelasannya pada Leta, "aku sadar diri. Biaya kuliahku itu mahal, dan aku cukup tau diri untuk tidak meminta biaya abnormal diluar uang semesteran sama mas Tama dan mas Rangga...kamu kira gaji aparat gede? Mereka sudah punya tanggungan masing-masing yang lebih berhak menerima nafkah dari mereka."
Gio menatap Leta seolah meminta Leta memahami, "untuk uang pensiunan bapak..." Gio menatap ke lain arah seperti sedang menghitung-hitung, melihat sesuatu beban yang cukup berat.
"Buat makan saja sudah pas-pas'an. Belum lagi mereka udah tua. Sering sakit-sakitan...ndak bisa aku, buat bebanin mereka di hari tuanya."
Tatapan Leta semakin lama semakin sendu, merasakan beban yang menumpuk di pundak Gio meski hanya lewat cerita saja.
Leta menelan salivanya yang mendadak kering, "seberapa besar gajimu disana, mas? Tapi aku yakin...cukup besar pendapatan itu resiko yang ditanggung pun cukup besar, sepadan lah...."
Gio mendengus sumbang, namun tak berani lagi membalas tatapan Leta, "ada. Dan kamu tak perlu tau atau kepikiran, cukup diam, dukung aku dan manut."
Leta semakin dibuat penasaran dengan tempat keeja Gio, yang katanya memiliki penghasilan lumayan itu.
Gadis itu menggeleng, "ndak bisa. Kalo imamnya salah, terus aku ngga coba buat tarik kamu ke jalan yang bener, seperti yang kamu bilang...aku tetep ikut kamu sekalipun ke gerbang neraka...sekalipun aku cuma anterin kamu, tapi aku ngga sanggup buat cium aroma neraka."
Gio menghela nafasnya lelah, berdebat dengan Leta memang seberat debat dengan calon pejabat daerah, "jadi maumu opo? Ikut aku kerja, jadi bodyguard ku? Atau mau aku berenti kerja terus jadi pengangguran dan ndak bisa nyukupin kuliahku, gitu?"
Sungguh pilihan berat! Dan Gio tak memberinya waktu untuk menjawab, karena kini ia sudah bergegas pergi, menyodorkan tangannya paksa untuk Leta kecup.
"Keenakan kamu, mas...aku cium sekali kamu nyodorinnya tiap hari..." ujar Leta kini menyesal dan kembali tawa Gio tercipta sebelum ia pergi kemudian.
Mata Leta menyipit, lantas ide gila terlintas di otak sempit nan gelapnya, apa aku ikutin aja mas Gio, ya?!
"Aku ikutin!" Ia bergegas melompat ke arah rumahnya dan masuk, mencari kunci motor.
Jo, bantuin aku buat stalkerin mas Gio, yo...please! Untuk kali ini, kamu mesti jadi motornya Valentino.
"Mau kemana?" tanya ibu Wulan yang keluar dari kamar dengan masih memakai mukenanya, sambil komat-kamit melafalkan kalimat dzikir bersamaan biji tasbih yang ia putar satu persatu.
"Beli martabak bu," jawab Leta sekenanya sembari menyambar jaket dan tergesa keluar.
"Loh, kenapa ndak minta mas-mu? Subhanallah---subhanallah---subhanallah.." komat-kamitnya diselingi bertanya.
"Mas Gio kerja, aku pergi bu!"
"Nok, sudah ijin budhe?!" teriak ibu Wulan tak lagi dijawab Leta yang sudah pergi.
.
.
.
.
.
nunggu letta sadar pasti seru ngamuk2 nya ma gio...
ndak ada juga yang bakal masukin ke penjara
biar si letta gk pergi2 dri kmu
jangan to yo,kasian si leta masih gadis
mana enak menikmati sendiri
tunggu Sampek kalian bener2 siap lahir batin dan ikhlas melakukannya bersama, atas kesadaran masing2, pasti rasanya jauh LBH maknyus 👌