Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergok Karyawan
.
.
.
Britania semakin mendekatkan tubuhnya pada pria dewasa itu. Ia melingkarkan tangannya di perut Rayyan. "Dewasa banget sih kamu, Ray. Dulu padahal kamu yang paling memberontak dan paling ingin mati waktu pertama ketemu aku." Rayyan terkekeh keras mendengar Britania kembali bercerita tentang masa lalunya, yang bisa dibilang sangat jauh dari kata layak hidup. Badannya kurus, kering tak terurus sama sekali, cekungan mata yang dalam, wajah yang lusuh dan jauh lebih parah dari ODGJ yang biasanya berkeliaran di sekitar rumah singgah.
Britania, menemukannya sedang sekarat di bawah jembatan. Ia buru-buru membawanya ke rumah sakit, menyembunyikannya dari kejaran polisi sampai memaksanya untuk bertahan hidup dengan rehabilitasi. Saat itu yang Brii pikir hanya, mungkin hidupnya sudah berantakan, namun setidaknya masih ingin menjadi manusia yang berguna juga untuk orang lain. Sekalipun ia juga tidak dalam keadaan yang berkecukupan waktu itu.
Sama-sama mempunyai masa lalu yang kelam meski beda konsep, membuat kepedulian yang mendalam terus tumbuh dalam diri masing-masing. Hanya Rayyan dan Devanda, cowok yang bisa dekat dan berinteraksi intens dengan Britania, sebelum ada Nathan. Selain dengan mereka, Brii sangat menjaga jarak, ia sangat berhati-hati pada makhluk yang namanya laki-laki, seolah mereka adalah musuh besarnya.
Tangan Rayyan bergerak untuk mengusap pipi Britania. "Lo sama boss Lo gimana, Kak?"
Britania menghela napas, "Aku nggak tahu, Ray. Dia udah nyatain perasaannya, yang kelihatannya sih tulus, tapi aku belum bisa yakin sepenuhnya. Biar aja lah... Aku nggak mau terlalu baper, semoga saja aku nggak sampai jatuh cinta beneran sama dia. Aku lebih nyaman dipeluk kamu gini." Ujar Britania jujur, setengah jujur setengah mencari reaksi. Nathan mungkin akan jadi pria kesekian kalinya yang berhasil Rayyan dan Dave gagalkan aksinya mendekati Britania. Mereka berdua akan melakukan seleksi yang begitu ketat, tiap kali ada lelaki yang berusaha memberi perhatian lebih pada kakak angkatnya itu.
Rayyan tertawa cukup kencang. "Jangan bikin Gue jatuh cinta beneran sama Lo, Kak. Repot nanti... Haha."
"Emang kamu bisa jatuh cinta sama aku?" goda Bri. Karena Ia sendiri sudah hampir mati rasa dengan Rayyan dan Dave saking dekatnya hubungan mereka. Menemaninya tidur seperti ini bukan hal baru bagi Rayyan, meski ia harus terus menahan setengah mati gejolak primitifnya. Kadang untuk sekedar begadang nonton drakor saja, Brii akan memanggil Rayyan atau Dave, mereka akan dengan senang hati menemaninya. Kalau yang baru melihat interaksi mereka pasti akan menebaknya sebagai pasangan kekasih.
"Gue juga pria normal seperti pada umumnya, Kak Brii... Bohong kalau Gue nggak akan tergoda sama Lo yang sering banget nempel Gue gini. Makanya Gue nggak mau punya pacar sebelum Lo nikah, nanti Lo nggak bisa nempel-nempel manja sama Gue karena dimarahin cewek Gue, hahaha." balas Rayyan, benar adanya. Cewek mana yang tahan dengan cowoknya yang sering nempel-nempel cewek lain, sekalipun status Brii adalah kakaknya. Yang jelas bukan kakak kandung.
"Kalau kamu udah punya pacar aku kan tinggal nempel Dave, hihihi... Cuma kalian berdua cowok yang gue bisa peluk-peluk dengan nyaman. Ya, ada Nathan sih! Tapi nggak tahu juga, sampai kapan aku bsia deket samaa dia." Britania kelewat yakin kalau dua adiknya itu tidak bisa mempunyai perasaan spesial padanya, dia melupakan kalau mereka berdua cowok normal yang tidak memiliki trauma seperti dirinya, dan Brii tak menyadari betapa dalam kata-katanya bisa menusuk hati Rayyan.
***
Seminggu berlalu. Nathan yang beberapa hari ini terus saja uring-uringan di telepon seperti ABG labil, sebentar lagi akan landing di bandara Indonesia. Urusan bisnisnya di California sudah selesai dengan baik. Britania diminta menjemputnya, tetapi semalam ia harus lembur pulang sampai tengah malam menjelang subuh. Sedangkan Nathan landing jam 6 pagi. Jelas Britania belum bangun saat itu, dan ia tidak berniat untuk memberi effort lebih padanya.
"Kak Briii, Gue balik dulu yaa? Udah Gue panggangin roti sama udah Gue bikinin susu hangat juga, Lo sarapan dulu jangan lupa?" pamit Rayyan. Semalam Rayyan menjemput Briella di kantor karena lembur.
Tadinya dia sudah berpamitan ingin segera berangkat kerja, tapi perasaan baru beberapa detik berlalu Rayyan sudah kembali lagi.
"Gue mandi sekalian di sini, Kak..." ucapnya cepat, tapi Rayyan kembali masuk tidak sendirian. Ada seseorang yang seminggu ini tidak Britania lihat, tengah berdiri di belakang Rayyan lengkap dengan raut wajah yang mengintimidasi.
"Eh, heii, kamu udah sampai, Mas? Sorry Aku lembur semalam jadi nggak bisa jemput kamu," sapa Britania sambil meletakkan roti yang baru saja ia gigit. Sementara Rayyan sudah ngeloyor menuju kamar mandi.
Nathan diam tak menjawab, tatapannya terus tertuju pada wajah polos kekasihnya yang baru bangun tidur, lantas ia mendekat untuk memeluknyua cukup lama. "I miss you so bad..." gumamnya. " Rayyan tidur di sini, sayangg?" lanjut Nathan sedikit tidak terimaa.
"Iyaa, dia jemput aku semalam. Karena aku pulang udah jam 1-an lebih. Aku juga nggak berani pulang sendiri jadi minta dia untuk jemput." jelas Brii. Nathan tidak menjawab lagi, sedikit melonggarkan pelukannya untuk meraih bibir Britania sekarang, melumat dan menyesapnya, cukup lama bibir mereka beradu saling menyesap melepas rindu. Tangan Nathan terus tergerak menyusuri pinggang Britania, namun tidak terlalu lama, terpaksa harus terhenti, karena suara gedebukan dari Rayyan yang baru keluar kamar mandi.
"Kak Briii, kemeja gue masih di kamar Lo kan yang semalam?"
Melihat raut masam Nathan, Brii tahu Rayyan tengah sengaja menggodanya, jadi ia hanya bisa menenangkan Nathan yang tengah geram. Kalau menahan Rayyan, jelas cowok itu akan lebih ekstrem lagi meluapkan amarahnya.
"Bentar yaaa..." Britaniaa menepuk bahu Nathan pelan sebelum berlalu menuju kamar untuk mengambil kemeja Rayyan. Setelah memberikannya, Rayyan bergegas memakai dan berlalu menuju pintu tanpa mempedulikan keberadaan Nathan.
"Sarapannya Kak Brii, jangan lupa!" teriaknya sebelum menghilang dari balik pintu.
Nathan kini tengah terduduk di kursi bar dapur, sorot matanya masih menyiratkan ketidaknyamanan yang jelas sangat mengusik suasana hatinya. "Kamu bisa dekat banget gitu sama Rayyan sama Devanda tapi sama aku masih sering jaga jarak, mereka juga cowok normal, sayangg..." rajuk Nathan. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa kesalnya. Ada nada terluka dan jelas-jelas tidak suka dengan pemandangan yang menyambutnya barusan.
"Aku sudah dekat dengan mereka hampir empat tahunan, Mas, kita sudah melewati banyak cerita untuk sampai ke titik sekarang yang bisa dibilang stabil. Kamu tenang aja kalau urusan hati, nggak mungkin mereka jatuh cinta sama Aku..." kata Bri mencoba menenangkan.
Britania mendekat, memilih untuk duduk di hadapan Nathan dengan senyum lebarnya. "Kamu kenapa nggak istirahat malah ke sini, Mas?"
"Missing you so bad, gimana bisa aku pulang ke rumah padahal bisa lihat kamu di sini... hmm? Nggak usah kerja yaa, temenin aku di sini..." Nathan tersenyum lembut, terus berucap sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Aku punya oleh-oleh buat kamu."
Sebuah kotak kecil berwarna silver ia buka di atas meja. Bukan kaget yang excited karena melihat barang yang berkilau nan cantik itu, Britania lebih berekspresi seolah bertanya, 'Apa sih ini... Aku bukan wanita yang gila barang-barang mewah loh!'
"Kenapa? Nggak suka?" Nathan kembali memperhatikan raut wajah Britania yang hanya mengulas senyum tipis sambil menghela napas panjang. Wanita itu menggeleng pelan, tidak bermaksud menyinggung perasaan kekasihnya.
"Suka... bagusss. Tapi Kamu nggak perlu, Mas, itu mahal pasti. Kamu pulang dengan selamat dan urusan di sana selesai dengan baik saja, itu udah jadi oleh-oleh yang berharga buat Aku. Ini berlebihan, Mas..."
Nathan tersenyum makin lebar, tidak lagi mendengar ocehan Britania. Pelan-pelan tangannya mulai memakaikan gelang cantik berhias permata dari dalam kotak silver tadi. "Nggak ada yang berlebihan untuk kamu, sayangg. Ini pantas kok buat kamu. Makin cantikk."
"Thanks yaa, lain kali jangan kasih hadiah berlebihan gini. Aku dibeliin makan siang aja udah senang banget, Mas, hihi..."
"Hmm... Nggak janji tapi, nggak ada yang berlebihan buuat kamu sayangg, kamu cuma sibuk mengurusi kebutuhan adik--adik kamu, tapi kamu lupa memikirkan untuk memanjakan diri kamu sendiri, jadi biar aku yang melakukannya okay?" balasnya lagi dengan tertawa keras. "Bolos aja, sayangg, Aku bayar cutinya nanti, cash deh yaaa?" imbuhnya lagi, Nathan terus menggunakan berbagai rayuan untuk membuat karyawan terbaiknya itu membolos.
Kalau ditanya hal apa yang paling Brtania sukai, dengan lantang ia akan menjawab, bekerja. Ya, dia sangat suka bekerja.Brii sangat mencintai pekerjaannya, dengan susah payah ia bisa masuk ke perusahaan bergengsi itu tanpa koneksi dari orang dalam. Sekarang, kalau harus membolos demi menemani sang CEO, kayaknya Bri akan berat hati melakukannya.
"Aku banyak kerjaan mas, kasihan Oliv nanti keteteran."
"Ck! Masalah besar kita udah berhasil aku selesaikan jadi tenang aja. Kerjaan kamu jadi berkurang kan?"
"Mas, kerjaan aku kan banyak. Kamu kalau mau istirahat, istirahat aja nggak apa-apa di sini. Nanti jam makan siang aku temenin. Yaa?"
Dengan sedikit paksaan akhirnya Nathan membiarkan Britania masuk kerja hari ini. Dia yang baru pulang juga memilih untuk tetap masuk kantor demi menemani sang kekasih. "Sayang, jangan lembur. Kalau capek istirahat aja, nggak boleh berduaan dengan Birru, nanti jam makan siang..."
"Kita makan siang bersama di ruangan kamu. Inget mas, aku inget semuanya, jangan kamu ulang-ulang lagi, udah lebih dari lima kali loh!" sela Brii cepat. Laki-laki itu kenapa mendadak jadi cerewet sekali. Kan Brii jadi takut makin baper dengannya. Mereka kini berada di basement, Nathan sengaja memarkirkan mobilnya di basement sendiri agar bisa mengantar Bri sampai ke dalam.
"Briii, kamu lupa sesuatu?"
"Hm, apa?"
Nathan mencondongkan tubuhnya untuk memberi kecupan di bibir Bri, namun wanita itu cepat menghindar. "Aku baru pake lip cream, nanti nempel di bibir kamu mas, mau?" kata Britania, ia menyelesaikan make up'nya di mobil tadi karena terlalu lama bernegosiasi dengan Nathan, berakhir dengan kesiangan.
Tanpa menunggu balasan dari Nathan, Britania lantas berjalan cepat menuju lift sebelum ketahuan oleh karyawan lain. Sambutan pertama yang ia dapat adalah pekikan dari Olivia. Perempuan gen z itu sedang berkacak pinggang dengan map tergenggam erat di tangan.
"Bu Britania, apa anda lupa kalau anda seorang karyawan teladan? Dari waktu normal anda, ini sudah terlambat lebih dari sepuluh menit." Olivia menatapnya tajam, sementara yang ditatap hanya meringis saja. Hari ini memang ada jadwal meeting pagi, Brii tidak lupa, tapi Nathan yang sudah membuatnya terlambat.
Brii mengedikkan bahunya acuh, "Yukk, masuk ruang meeting. Ntar aku traktir deh, coffeshop depan. Udah, jangan marah-marah mulua masih pagim ntar jadi perawan tua loh!"
Marathon meeting, lalu harus mengecek beberapa berkas yang datang dari berbagai departemen membuat Britania terus sibuk seharian sampai melupakan ucapan Nathan agar tidak telat untuk makan siang bersama. Selagi para karyawan lain tengah makan siang, Bri masih berada di ruang meeting bersama direktur pelaksana untuk bertemu klien dari luar negeri.
"Brii... dipanggil si boss." seru Brianda yang hanya melongokkan kepalanya di pintu ruangan meeting.
"Oke, bentar, Ndaa."
Ingin rasanya mencoba abai pada pria itu, tetapi keberadaannya cukup mendominasi hampir separuh hidup Britania kini. Brii yang biasanya akan menolak tegas setiap pria yang mendekatinya kini tidak berlaku untuk Nathan. Brii mudah luluh olehnya. Perasaan takut itu tetap ada hanya saja sedikit berkurang.
"Heiii, sini, Aku beliin makan siang, makan yukk..." Nathan menyapa hangat saat Britania masuk ruangannya. Terpaksa Britania harus menolak, karena di bawah sana Olivia tengah kelimpungan bersama tim lainnya untuk mengurus klien baru dari Paris.
"Mas, makasihh bangett tapi sorry banget nih, di bawah ada Mister J yang lagi mau dengerin presentasi kita. Di bawah ada Ibu Mas Nathan juga yang ikut meeting, Aku turun dulu yaaa?" Tanpa mendengar jawabannya, Britaniaa bergegas lari menuju ruang meeting. Asistennya bisa demam tinggi kalau harus menghadapi klien baru tanpa dirinya.
Nathan sih enak diberi tugas bebas hari ini karena baru kembali dari California, sementara tugasnya diambil alih oleh Nyonya Besar, Bundanya.
Dua jam sudah berlalu, sekarang waktunya jam pulang kerja. Di luar ruangan Brii, Olivia masih duduk manis di tempatnya ketika Brii kembali dari meeting. "Briiiii, Bu Britaniaaa... Gue pulang kan? Semua tugas dari Lo udah Gue tuntaskan." ucapnya, Brii jadi urung masuk. Dia memang selalu seperti itu nada bicaranya, hanya kalau ada atasan atau karyawan baru saja dia akan memanggil Britania dengan resmi menggunakan embel-embel Bu atau Mbak.
"Yess Liv, you can go back home now." sahut Briella, senyum Olivia langsung merekah lebar sambil berlalu.
Selang beberapa menit dari Olivia, kini Nathan yang masuk menerobos ruangan Britania bahkan tanpa mengetuknya. "Britania Sheiraphina sayanggg, sesibuk itu kamu sampai nggak kembali ke ruanganku untuk melanjutkan makan tadi? Hmm..." seru Nathan, ada nada menuntut, namun juga kelembutan dalam suaranya.
Oh Tuhan, Britania melupakannya. Maklum, sudah sangat lama Britania tidak pernah mendapat perlakuan semanis ini dari pria. Britania terbiasa makan sesuka hati dan sesempatnya saja jadi ia tidak terlalu kepikiran dengan makan siangnya.
"Hehehe, maaf, Mas. Tadi selesai meeting Aku langsung balik dan nyiapin berkas untuk departemen finishing besok, maaf yaa," balas Britania dengan nada penuh sesal.
"Kamu harus dihukum." Suara Nathan memberat, penuh penekanan seraya mendekatkan wajahnya ke arah Bri. Hanya butuh waktu tak lebih dari dua detik saja bibirnya sudah mendarat manis di bibir mungil Britania. Tak ada pergerakan, hanya kecupan yang sedikit lama. Namun sialnya, pintu ruangan Britania tidak tertutup rapat, dan waktunya bertepatan dengan jam pulang kerja karyawan, beberapa dari mereka yang sempat lewat tentu saja melihat insiden kecupan dari Nathan tadi.
"Ada yang lihat tahu, Mas," buru-buru Brii mendorong pelan bahu Nathan, sesaat setelah ia merasakan panas menjalar ke pipinya. Jantungnya berdetak kencang, antara efek dari ciuman Nathan dan kepergok karyawan.
"Kalau gitu hukumannya kita lanjut di apartemen kamu, kamu siap-siap kita pulang sekarang yaa?" Nathan tidak memberinya waktu untuk membantah, tak peduli dengan orang-orang yang mungkin memergokinya tadi.
"Mmm... Mas, Kamu duluan aja yaa kalau mau pulang. Aku mau mampir dulu, aku mau nemenin Chacha belanja. Udah janjian semalam, hehehe, maaf yaa?" Britania mencoba beralasan.
"Ck, Kamu lebih milih Chacha daripada Aku? Hmm..." Nathan berdecak kesal, lagi-lagi Britania terkesan tak ingin bersamanya, padahal mereka sudah tidak bertemu selama seminggu, apa hanya Nathan yang merindukannya?
"Ya nggak gitu, Mas, udah janjian duluan kita. Kulkas aku kosong juga udah jadwalnya belanja bulanan nih." Dengan enggan dan sedikit kesal, Nathan akhirnya keluar ruangan Britania. Dia tidak mau karyawan di sana akan memandang sebelah mata pada hubungannya dan Nathan. Meski mungkin, saat ini memang sudah seperti itu.
Briella menyusul keluar ruangan beberapa menit setelahnya, namun ia memilih turun lewat tangga, dari lantai dua.
Yang Britania khawatirkan benar saja terjadi, dari kaki tangga paling bawah, kakinya berhenti melangkah. Tak sengaja indera pendengaaranya sempat menangkap pembicaraan beberapa orang, yang sepertinya sedang berbisik menyebut namanya.
"Heh! Tadi Gue nggak salah liat kan kalau Pak Nathan lagi cium Bu Britania di ruangannya?"
"Iya, Gue juga lihat. Pantesan Bu Britania selama ini menolak banyak pria di sini ternyata dia cari yang levelnya lebih tinggi."
"Wajar sih! Pak Nathannya ganteng bu Brii cantik, perfect."
"Lagian siapa yang mampu menolak pesona pak CEO kita? huhuu,,"
"Tapi Bu Britania bukan tipe cewek penggoda sepertinya, tadi dilihat dari kissing-nya dia diam aja nggak respon Pak Nathan. Dia kan memang nggak pernah pacaran, mana tahu perkara kissing, hahaha... Bisa aja Pak Nathan yang sudah lama menduda sedang haus kasih sayang jadi menghampiri Bu Bri.."
"Bener jugaa, nggak mungkin Bu Britania bisa menggoda Pak Nathan, dia ciuman aja kaku gitu, hahahaha. Badan sih seksi, cantik hampir sempurna malah, tapi sayang nggak bisa cara pakainya, hahaha. Kalau Gue dicium Pak Nathan gitu langsung gue sosor balik aja siapa tahu langsung bisa promosi jadi manajer. Haha..."
Britania membeku di tempat, lidahnya kelu. Tangannya mengepal erat mendengar cemoohan mereka di bawah sana. Memang sejauh ini Nathan yang selalu mendominasi, tiap kali dia mencium, Britania hanya membalas sebisanya saja. Karena yaa Briella memang belum se-pro itu. Kissingnya dengan Nathan waktu itu benar-benar First kiss untuknya. Ucapan mereka menusuk relung hatinya, menghidupkan kembali rasa insecure yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Ini semua terjadi begitu mendadak untuknya. Briella masih sangat gugup tiap kali di dekat Nathan. Kerap kali saat Nathan sudah mendaratkan bibirnya, Briella hanya sibuk menenangkan degup jantungnya yang makin belingsatan tidak karuan. Tidak terpikirkan lagi apa Nathan menuntut responsnya atau tidak, dan Briella berpikir respons itu naluri saja, memang harus mahir ya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di benaknya, menambah rasa malu dan ketidaknyamanan yang merubah moodnya sore ini.
"Kenapa, Brii? Ada yang Lo pikirin? Diem aja dari tadi," seru Chacha saat melihat makanan di depan Britania masih utuh. Sepulang dari kantor tadi mereka belanja lalu lanjut untuk makan malam.
"Hufh! Aku ketahuan sama anak-anak staf, Cha, Nathan main cium-cium aja sebelum nutup pintu ruangan tadi." Britania menghela napas panjang.
"Wahh, si Boss suka nyosor yaa, Brii?"
"Dia kesal gara-gara aku ninggalin makan siang yang udah dia siapin. Ya kali aku bisa enak-enakan makan sedang di ruang meeting lagi ribet karena ada klien dari Paris. Kasihan Oliv kan aku tinggal, jadi aku ngurusin rapat sampai lupa nggak balik lagi ke ruangannya. Akhirnya Dia susulin ke ruangan aku langsung dehh."
"Para staf itu pasti gunjingin Lo yaa?"
"As you know... Secara dia atasan dan aku jauh di bawahnya. Otomatis kejadian itu bikin aku diejek habis-habisan karena tidak pantas untuk dapetin Nathan." gerutu Britania, ada rasa pahit dan frustrasi dalam suaranya. Sebenarnya Brii sudah sangat tahu dengan resiko ini kalau memaksakan dekat dengan Nathan, tapi perasaaanya pada Nathan memang sungguh di luar kendalinya.
Jam sembilan malam mobil Britania baru saja terparkir manis di basement apartemen. Kakinya melangkah gontai menuju lift untuk naik ke lantai tempat unitnya berada. Di kepalanya masih saja terngiang-ngiang ucapan orang-orang di kantor tadi. Memang sih Brietania hampir tidak punya pengalaman berciuman, tapi apa iya dia sepayah itu? Hufh... Rasa malu dan harga diri Brii terasa tercabik-cabik.
Sejauh ini Brii sudah sangat hebat, ia terus bertahan dengan berusaha keras agar bisa nampak berkelas, cerdas, perfect, menawan tanpa cela. Ia tidak pernah membiarkan orang lain merendahkannya, namu sama sekali ia tidak pernah memburu perkara cinta-cintaan, sampai akhirnya sekarang baru saja ia ingin membuka hati, memulai membiarkan dirinya menikmati sesuatu yang normal dirasakan oleh wanita. Namun semesta masih enggan berpihak padanya, semua rasa itu terpatahkan begitu saja.
Sampai di unit miliknya, tujuan Brii adalah kamar mandi. Guyuran deras air hangat dari showernya mungkin bisa meredam keberisikan di kepala. Brii tidak ingin terus larut dengan rasa sesak yang menyiksa batinnya.
Lima belas menit berlalu, selesai mandi, Brii segera meraih ponsel di tasnya untuk menghubungi Rayyan. Tiba-tiba terpikirkan sesuatu padanya.
"Iya, Kak Bri, ada apa?" Suara Rayyan berisik seperti dia sedang di jalan.
"Ray, kamu lagi di mana?"
"Di jalan, Kak, mau balik ke rumah, kenapa? Butuh sesuatu?"
"Ke apartemen bisa nggak?"
"Bisaa, bentar lagi sampai situ. Tunggu yaa..."
"Oke..."
Terima kasih untuk supportnya teman-teman. Kira-kira Britania meminta tolong apa pada Rayyan? Adakah hubungannya dengan Nathan?