NovelToon NovelToon
Obsesi Om Duda

Obsesi Om Duda

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / Duda / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Cinta Lansia / Tamat
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.

Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.

Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.

Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.

Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.

Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 1. Bagaikan Anak Pungut

“Naina!?” teriak Bu Rahayu dari bawah, suaranya memantul di dinding rumah dua lantai itu.

Di lantai atas, Naina yang sedang fokus mengerjakan tugas sekolah hanya menggeleng pelan. “Astagfirullahaladzim, kenapa Mama tiap hari teriak terus, padahal Papa di Surabaya sudah kirim uang belanja,” gumamnya pelan.

Biasanya bu Rahayu akan marah-marah dan teriak-teriak seperti saat ini, kalau uang belanjanya semakin menipis sedangkan papanya Pak Aditya bekerja di Surabaya belum gajian untuk transfer uang belanja.

“Naina, kamu dengar nggak Mama manggil!”

“Sabar, Ma… aku udah jalan ke bawah,” sahut Naina sambil turun tangga perlahan.

Begitu sampai di ruang tamu, tatapan Bu Rahayu menusuk seperti pisau. Sorot matanya membuat dada Naina menciut, seolah ia baru saja melakukan dosa besar.

“Maaf, Ma… tadi aku lagi kerjain tugas sekolah,” ujarnya pelan, berusaha menahan nada suaranya agar tidak ikut meninggi.

“Papa tadi pagi sudah transfer uang buat kamu beli motor. Mama sudah beli, tapi motornya untuk adikmu. Kamu pakai motor bekasnya Namirah,” tegas Bu Rahayu.

Naina mengerutkan dahi. “Tapi, Ma… bukannya Papa bilang itu buat aku ke sekolah? Lagian motor Namirah masih baru, kan?”

Dari samping, Namirah yang sejak tadi sibuk main ponsel ikut menimpali. “Kakak kan cuma sekolah biasa, sedangkan aku di sekolah elit. Masa aku pakai motor butut?” ujarnya sambil tersenyum miring.

Bu Rahayu mengangguk mantap. “Betul kata adikmu. Di mana-mana, kakak itu harus ngalah sama adiknya kalau mau jadi anak penurut dan berbakti.”

Kata-kata itu menusuk hati Naina. Ia menunduk, mencoba menelan perasaan pahit yang sejak kecil sudah terbiasa ia rasakan.

Dari dulu, ia tahu dirinya berbeda di mata Mama. Sejak ia dan Namirah lahir, jarak usia hanya setahun, tapi jarak kasih sayang terasa seperti jurang.

“Mama nggak pernah adil sama aku,” lirihnya nyaris tak terdengar.

“Apa?!” Bu Rahayu langsung menatap tajam. “Kamu bilang Mama nggak adil? Mama capek nyekolahin kamu, ngurusin kamu. Kalau bukan karena Mama, kamu nggak bisa sampai kayak sekarang!”

Naina mengangkat wajahnya, air mata sudah menggenang. “Iya, Ma… aku tahu Mama capek. Tapi pernah nggak Mama mikirin aku? Sekali aja, Ma…”

Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan suara televisi yang menyala di sudut ruangan terasa jauh. Namirah hanya memutar bola mata, sementara Bu Rahayu berdiri mematung, seperti tidak percaya anak sulungnya berani bicara begitu.

Di dalam hati Naina, ada rasa sesak bercampur lega. Ia lelah menelan semuanya sendirian. Hari ini, untuk pertama kalinya, ia berani bicara.

Ruang tamu sore itu terasa panas walau kipas angin berputar kencang. Suara televisi dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton. Naina berdiri mematung di dekat meja, tangan gemetar menahan amarah yang bercampur sedih.

“Oh, jadi kamu sudah pintar melawan aturan Mama, ha!?” bentak Bu Rahayu sambil melangkah cepat mendekat.

Plak!

Tamparan itu mendarat keras di pipi Naina. Rasanya bukan cuma sakit di kulit, tapi sampai menusuk ke dalam dada.

“Mama…” suara Naina bergetar, tapi belum sempat ia bicara lebih jauh, bentakan itu kembali menghantam telinganya.

“Kalau kamu nggak terima sama apa yang Mama putuskan, mulai besok kamu berhenti ikut sanggar tari!” ucap Bu Rahayu dengan nada ancaman yang dingin.

Naina memejamkan mata, mencoba menelan ludah yang terasa pahit. Sanggar tari bukan sekadar hobi, itu tempat ia merasa hidup, merasa dihargai, merasa dirinya berarti.

“Mama…” katanya pelan, berusaha tetap sopan walau hatinya perih, “Naina nggak pernah niat melawan. Naina cuma pengen Mama dengar dulu, sebelum Mama mutusin.”

Bu Rahayu menatap tajam, seolah kata-kata itu hanya angin lewat.

“Sejak kapan anak ngajarin orang tua?” ujarnya ketus.

Naina menunduk, mengusap air mata yang jatuh tanpa bisa ia tahan. “Naina cuma mau Mama tahu… nari itu satu-satunya alasan Naina kuat jalanin hari. Kalau Mama larang, Naina nggak tahu harus ke mana lagi.”

Hening sesaat. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Tapi hati keduanya sama-sama gaduh.

Bu Rahayu mengalihkan pandangan, sementara Naina berdiri dengan dada sesak, berharap sedikit saja pintu pengertian terbuka dari wanita yang paling dicintai, meski hari itu terasa seperti jurang di antara mereka makin lebar.

Baik, aku gabungkan dialog itu ke dalam adegan yang menyentuh, tetap realistis, dan seimbang antara narasi serta dialognya supaya emosinya lebih terasa.

Dapur sore itu penuh aroma bawang goreng yang belum sempat dirapikan. Piring kotor menumpuk di wastafel, sisa makan siang masih berserakan di meja.

“Tidak usah cengeng, kamu bereskan dapur. Mama capek,” ujar Bu Rahayu sambil meletakkan tas belanja ke kursi dengan suara berat.

Naina menahan napas dan kebas. Pipi kirinya masih terasa panas bekas tamparan tadi, tapi ia memilih diam.

Dari arah ruang tengah, Namira, adiknya, muncul sambil tersenyum penuh arti.

“Maaf yah, Kak seperti biasanya aku juga capek dari les bahasa Inggris sama piano,” ucapnya sambil menghela napas panjang.

Naina hanya menatap sebentar, lalu kembali menunduk. Ia tahu adiknya tidak bermaksud jahat, tapi entah kenapa kata-kata itu terasa seperti beban tambahan di pundaknya.

Sendok-sendok ia masukkan ke ember cucian, air keran terus mengalir, menenggelamkan suara hatinya yang ingin berteriak.

Di balik wajah pasrah, ada rasa ingin berhenti dari semua ini, tapi ia tahu tak ada tempat lain untuk pulang selain rumah ini.

Air keran terus mengalir, membasahi tangan Naina yang sudah mulai pucat. Suara gesekan spons di piring terdengar samar di telinganya, tertutup oleh suara detak jantung yang makin cepat.

Air matanya jatuh satu per satu, menyusuri pipi yang masih terasa perih bekas tamparan tadi. Ia tidak berusaha menghapusnya, membiarkan bercampur dengan cipratan air cucian.

“Apa salahku, ya Allah…? Kenapa Mama selalu membedakan aku sama Namira?” bisiknya dalam hati, begitu pelan sampai hanya Tuhan yang bisa mendengarnya.

Matanya buram, tapi tangannya tetap bergerak, seolah kalau ia berhenti sedikit saja, air mata itu akan berubah menjadi tangis yang pecah. Di dadanya, rasa sesak menumpuk, seperti ada batu besar yang menekan dari dalam.

Ia mengingat lagi semua hari di mana ia mencoba sebaik mungkin, membantu pekerjaan rumah, mengalah saat Namira mendapat perlakuan istimewa, menahan kecewa tanpa pernah bersuara.

Tapi malam ini, rasa itu menumpuk terlalu tinggi, dan ia mulai bertanya-tanya apakah cintanya kepada Mama benar-benar cukup untuk bertahan?

Suara Namira dari ruang tengah terdengar samar, disusul langkah Mama menuju kamarnya. Naina berdiri sendirian di dapur, dengan punggung membungkuk di hadapan wastafel, seakan seluruh dunianya menyempit hanya jadi satu sudut kecil yang basah oleh air cucian dan air mata.

Air cucian terus mengalir, membasahi tangan Naina yang mulai pucat. Spons di genggamannya terasa ringan, tapi hatinya berat. Air matanya sudah bercampur dengan cipratan air wastafel.

“Apa salahku, ya Allah…? Kenapa Mama selalu membedakan aku sama Namira?” batinnya lirih.

Suara notifikasi ponselnya tiba-tiba terdengar dari meja makan. Naina buru-buru mengeringkan tangannya di celemek, lalu meraih ponsel itu. Nama Papa muncul di layar Pak Aditya yang sedang bekerja di Surabaya.

“Assalamualaikum, Nak…” suara Papa terdengar berat tapi hangat dari seberang. “Papa dengar kamu habis ribut sama Mama?”

Naina menggigit bibir, menahan suara yang hampir pecah. “Naina nggak ribut, Pa. Cuma Naina capek.”

Hening sebentar. Lalu Papa berkata pelan, “Naina jangan pernah benci atau dendam sama Mama dan adikmu. Mereka itu sayang sama kamu, cuma caranya yang berbeda. Kadang cara orang nunjukin sayang nggak selalu sesuai sama yang kita mau.”

Air mata Naina jatuh lagi, kali ini tanpa ia tahan. “Tapi, Pa… rasanya Naina selalu salah di mata Mama.”

Papa menghela napas dari seberang. “Papa tahu… Papa juga nggak suka kamu sedih begini. Tapi percayalah, Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Nanti Papa pulang, kita ngobrol panjang, ya.”

Panggilan itu berakhir, tapi suara Papa masih bergema di kepalanya. Naina kembali ke wastafel, melanjutkan cucian piring dengan hati yang masih sesak, tapi ada sedikit hangat yang menahan supaya ia tidak sepenuhnya runtuh malam itu.

1
sunshine wings
😍😍😍😍😍♥️♥️♥️♥️♥️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak 🥰😘
total 1 replies
sunshine wings
Kan Nai.. Penuh dengan rasa cinta.. ♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings: 🥰🥰🥰🥰🥰
total 2 replies
sunshine wings
Support paling ampuh.. ♥️♥️♥️♥️♥️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak kakak soalnya suamiku lebih muda aku 😂🤭
total 3 replies
sunshine wings
♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings: ♥️♥️♥️♥️♥️
total 2 replies
sunshine wings
Yaaa.. Kirain apa Nai.. Sudah pasti Ihsan akan ngelakuin.semua itu dengan senang hati karna itu maunya kan.. ♥️♥️♥️♥️♥️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hahaha 😂 betul banget tuh kak nantangin lagi 🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
bertemanlah Ruby dengan naina,tertawalah bersama
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: setuju tapi yah keegoisan Rubi menutupi sisi baiknya
total 1 replies
Fadila Bakri
teman saingan jadi calon anak tiri
Eva Karmita
sesakit dan sebenci apapun naina tetap anakmu dan darah daging mu Bu ..😤😏
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
😏😏😏😏😏
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: mampir Baca novel aku ini kakak judulnya Pawang Dokter Impoten ceritanya seru sudah banyak babnya
total 1 replies
sunshine wings
Dan menjauh dari mamanya.. 😬😬😬😬😬
sunshine wings
Ya Allah.. 🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️
sunshine wings
pikiran licik.. 🤭🤭🤭🤭🤭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hahaha 😂
total 1 replies
sunshine wings
Sepatutnya jangan di bedain kerana anak itu rezeki yg tidak ternilai oleh apapun.. Kasian banget hidupmu Naina.. 🥹🥹🥹🥹🥹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sedih yah
total 1 replies
Maulida greg Ma
kejamnya
sunshine wings
Ditukar judulnya author ya.. 👍👍👍👍👍😍😍😍😍😍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: aku ganti kak mumpung ada cover nganggur 🤭😂🙏🏻
total 1 replies
sunshine wings
😲😲😲😲😲
sunshine wings
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Sialan emangnya..
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: akan terjawab nanti Kak ☺️
total 1 replies
sunshine wings
Ayo pak semangat 💪💪💪💪💪
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: yah yah
total 1 replies
sunshine wings
🙄🙄🙄🙄🙄😏😏😏😏😏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!