Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 - Wifi Sekolah
Hari pertama masuk sekolah setelah studi tur terasa seperti berjalan di atas panggung.
Begitu Icha memasuki gerbang, pandangan puluhan mata langsung tertuju padanya. Beberapa senyum-senyum, sebagian berbisik-bisik, dan sisanya memberi tatapan penuh rasa ingin tahu.
Dinda yang berjalan di samping Icha terkikik. “Wah, popularitas lo naik drastis, Cha. Rasanya kayak gue jalan sama artis.”
Icha mendengus. “Artis apaan, artis gosip? Semua gara-gara video itu.”
Belum sempat ia melangkah lebih jauh, terdengar suara dari gerombolan siswa di pinggir lapangan.
“Eh, itu pasangan wifi!”
“Cha, sinyalnya masih kuat nggak?”
“Bar, bagi tethering dong!”
Icha menahan tawa sekaligus rasa malu, sementara Dinda benar-benar tertawa terbahak.
Di kelas, suasana tidak jauh berbeda. Rio, yang sudah tahu hubungan mereka, malah ikut-ikutan menggoda.
“Pagi, Wi-Fi Couple! Hari ini paket unlimited atau kuota terbatas?” katanya sambil menyerahkan buku catatan.
Albar, yang duduk di kursi belakang Icha, mencondongkan badan. “Buat lo, Cha, paket premium selamanya.”
Beberapa teman yang mendengar langsung berteriak, “Wuih, manis banget!”
Icha memutar bola mata, pura-pura sibuk menulis. “Lo nggak ada kerjaan lain selain ngegombal?”
“Kerjaan utama gue memang ngegombalin sumber sinyal,” jawab Albar santai.
Saat istirahat, Icha sedang mengambil air minum di kantin ketika Reina lewat sambil membawa ponsel. Tatapannya penuh sindiran.
“Gue kira lo nggak mau semua orang tahu, Cha. Tapi ternyata lo seneng-seneng aja ya,” katanya dengan nada datar.
Icha menatapnya sebentar. “Gue nggak seneng sama videonya, tapi gue nggak mau juga sembunyi cuma karena orang kayak lo.”
Reina tersenyum miring. “Kita lihat aja nanti. Nggak semua orang di sekolah ini seneng liat lo berdua.”
Ucapan itu membuat Icha sedikit kesal, tapi ia memilih pergi tanpa membalas lebih lanjut.
Sore harinya, setelah pelajaran selesai, Albar memanggil Icha dari lorong.
“Cha, bentar!”
Begitu Icha mendekat, Albar meraih tasnya. “Lo kelihatan nggak nyaman gara-gara gosip ini?”
Icha menghela napas. “Ya nggak nyaman sih… tapi gue nggak mau semuanya jadi masalah besar. Gue cuma mau kita tetep belajar kayak biasa.”
Albar mengangguk, lalu tersenyum nakal. “Oke, tapi kalo belajar bareng lo, gue bisa sambil colok kabel data langsung ke otak gue nggak?”
Icha nyaris tertawa, tapi buru-buru memukul pelan bahunya. “Bego!”
Malam itu, di grup chat kelas, gosip mereka masih saja dibicarakan.
Salah satu teman mengunggah meme bergambar dua ponsel dengan tulisan ‘Sinyal paling kuat di SMA ini’.
Rio malah menambahkan stiker Albar tersenyum lebar.
Albar, tanpa ragu, membalas di grup:
“Ya emang kuat. Provider-nya spesial, namanya IchaNet Unlimited.”
Icha membaca itu sambil menutup wajah dengan bantal.
“Dasar Albar… nggak bisa diem,” gumamnya, tapi senyum tak bisa disembunyikan.
Keesokan harinya, suasana gosip mulai sedikit mereda, tapi tetap ada saja yang iseng.
Di jam olahraga, saat mereka duduk di tribun, Dinda memberi kode dengan mengangkat alis. “Cha, liat deh. Albar nggak bisa berhenti nyari lo di lapangan.”
Benar saja, meski sedang main futsal, pandangan Albar sesekali mencari ke arah tribun, seolah memastikan Icha masih di sana. Saat mata mereka bertemu, Albar mengacungkan jempol dan senyum lebarnya.
Reina, yang juga duduk tak jauh dari Icha, memperhatikan interaksi itu dengan wajah masam. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kini gosip itu justru membuat banyak teman mereka gemas, bukan menentang.
Sepulang sekolah, Albar berjalan berdampingan dengan Icha ke gerbang.
“Lo sadar nggak, Cha? Sekarang kita bisa jalan bareng tanpa nyari cara buat sembunyi di balik kantin,” katanya.
Icha mengangguk pelan. “Iya sih… tapi gue tetep nggak mau kita jadi pusat perhatian setiap hari.”
“Deal. Tapi kalo orang nanya, gue tetep jawab lo sumber wifi gue.”
Icha tak kuasa menahan tawa. “Ya udah, tapi jangan berlebihan, Bar.”
Albar menatapnya dalam. “Cha, buat lo, nggak ada istilah berlebihan.”
Icha terdiam sebentar, lalu hanya menggeleng sambil tersenyum. Meski awalnya gosip itu membuatnya risih, ia mulai menyadari bahwa bersama Albar, rasa malu bisa berubah jadi rasa hangat.