Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menanti sebuah berita
Kabar yang Tak Pasti
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kampung, aroma kopi yang baru saja diseduh menguar di udara.
Namun tidak ada senyum atau tawa yang biasanya mengiringi pagi di rumah itu.
Bu Ani duduk di lantai, bersandar pada tiang rumah, tangannya sibuk memegang tasbih, tetapi matanya kosong. Suara ketukan butiran tasbih beradu pelan, berpadu dengan suara televisi di ruang tengah yang menyiarkan berita pagi.
Di sudut ruangan, Siti, Rudi, dan Ayu duduk diam. Biasanya mereka akan berebut menonton acara kartun, tapi kali ini mata mereka terpaku pada layar TV yang menayangkan gambar kapal, ombak besar, dan cuplikan video para anggota tim SAR di dermaga. Teks berita berjalan cepat di bawah
"Pencarian korban kapal KM Laut Jaya 08 masih berlangsung. Tim SAR melaporkan medan pencarian sulit dan berbahaya.
Beberapa korban berhasil ditemukan, sebagian masih hilang."
Bu Ani menarik napas panjang, menunduk.
“Ya Allah...semoga suamiku selamat…”
bisiknya hampir tak terdengar.
Di teras rumah, suara langkah-langkah mulai terdengar.
Beberapa tetangga berdatangan, membawa termos air panas, kue, dan sebungkus roti. Mereka masuk dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan memecahkan ketegangan di rumah itu.
“Bu Ani...sabar ya. Kita doakan bersama agar keselamatan selalu menyertai pak jono!”
ucap Mak Suminah, tetangga yang sudah seperti saudara sendiri.
Ia duduk di samping Bu Ani, memegang tangannya erat.
“Saya nggak ngerti lagi, Mak..TV bilang yang ditemukan baru sedikit. Kadang ada yang bilang sudah ketemu beberapa korban, tapi nggak pernah jelas siapa...Saya takut kalau...”
Bu Ani menghentikan ucapannya, menutup mulut dengan tangan.
Air matanya sudah menggenang.
Mak Suminah menggeleng cepat.
“Jangan mikir yang jelek-jelek, Bu. Kita doa saja. Suamimu itu orang kuat. Dia pasti berusaha pulang.”
Dari dalam, Siti berjalan pelan ke arah ibunya, lalu duduk di pangkuan Bu Ani. Anak itu memeluk ibunya erat.
“Bu...Bapak nggak papa kan?”
tanyanya dengan suara lirih.
Pertanyaan polos itu menusuk hati Bu Ani. Ia mengangguk, berusaha tersenyum meski bibirnya bergetar. “Iya, Nak. Bapakmu pasti pulang.”
Di luar rumah, beberapa bapak-bapak duduk di bangku kayu, membicarakan berita yang mereka
dengar dari radio dan ponsel masing-masing.
“Aku dengar dari berita tadi subuh, katanya ada yang selamat ditemukan di pulau, tapi nggak disebut siapa. Kalau saja kita bisa langsung tanya tim SAR-nya”
ucap Pak Man, sambil mengisap rokok.
Pak Darso menimpali,
“Iya, tapi tadi ada kabar juga kalau medannya susah sekali. Katanya ada lembah yang angker, nggak semua tim berani masuk. Entah benar atau nggak..”
Obrolan itu sampai ke telinga Bu Ani. Kata “angker”
membuat tubuhnya merinding. Ia tidak pernah percaya penuh pada cerita mistis, tapi di tengah situasi seperti ini, semua hal terasa mungkin.
Televisi kembali menyiarkan liputan langsung dari pelabuhan.
Seorang reporter berdiri di dekat perahu karet, melaporkan bahwa ada satu korban asing yang baru saja diselamatkan tim SAR.
Wajahnya tidak ditunjukkan, hanya tubuh yang terbaring dengan selimut menutupi sebagian badan. Reporter menyebutnya sebagai
“warga negara asing yang diduga misionaris dan peneliti lingkungan.”
“Bukan suamiku...”
Bu Ani bergumam, setengah lega tapi juga kecewa karena masih belum ada kabar tentang suaminya.
Suasana rumah semakin ramai seiring siang menjelang.
Beberapa tetangga datang silih berganti, sebagian menawarkan bantuan mengurus anak-anak, sebagian lagi membawa makanan.
Meski begitu, Bu Ani tetap duduk di tempat yang sama, menunggu, seperti berharap setiap detik akan ada telepon dari pihak berwenang yang mengatakan Jono sudah ditemukan.
Di ruang tengah, Rudi mencoba bersuara,
“Bu, aku mau berdoa sama teman-teman di mushola habis Dzuhur nanti. Biar Bapak cepat pulang!”
Bu Ani mengusap kepala anaknya.
“Bagus, Nak...Doa kalian pasti didengar Allah.”
Suasana itu seperti sebuah ruang tunggu yang tidak pernah tahu kapan panggilan akan datang. Di luar, langit mulai berawan, menambah rasa muram yang menggantung di rumah itu.
Langit sore di kampung Pak Jono diselimuti awan gelap. Rintik hujan tipis turun, menambah suasana muram di rumah kayu sederhana itu.
Di ruang tengah, Bu Ani duduk termenung di kursi rotan, tangannya memegang erat-erat sajadah yang tadi siang dipakai untuk salat.
Tatapannya kosong, seolah setiap tetes hujan yang jatuh membawa kabar dari laut yang tak pernah benar-benar datang.
Di sudut ruangan, Rudi dan Ayu sudah tertidur pulas, kelelahan setelah seharian bertanya kapan ayah mereka pulang.
Siti, anak sulung mereka, masih duduk di samping ibunya. Bocah kelas 3 SD itu menggenggam buku gambar, coretannya tak lagi berbentuk kapal seperti biasanya,kali ini hanya garis-garis acak, penuh warna gelap.
“Bu....kalau Bapak nggak pulang-pulang, kita harus nyusul nggak?”
suara Siti lirih, tapi cukup untuk membuat hati Bu Ani terasa diremas.
Pertanyaan itu menusuk. Bu Ani menunduk, matanya panas.
“Bapak pasti pulang, Nak. Bapak itu orang kuat...kuat sekali.”
Ucapannya tegas, tapi suaranya bergetar. Dia tak berani membayangkan kemungkinan lain.
Suara TV di ruang sebelah kembali memecah keheningan.
Seorang reporter berdiri di bibir dermaga, angin laut menerbangkan rambutnya.
“hingga saat ini, operasi SAR di sekitar perairan kepulauan Andaman masih terus dilakukan. Beberapa korban selamat telah ditemukan, namun sebagian besar awak kapal KM Laut Jaya 08 masih belum diketahui nasibnya.
Informasi terbaru menyebutkan bahwa tim SAR kini menemukan petunjuk baru,berdasarkan dari keterangan WNA Amerika yang juga terdampar di pulau itu ,tentang ‘Lembah Kematian’.”
Seketika tubuh Bu Ani menegang. Ia melirik ke layar TV, tapi reporter itu hanya melanjutkan dengan kalimat ambigu yang tak memberi kepastian. Siti ikut memandang, mencoba memahami istilah-istilah yang bahkan untuk orang dewasa pun terdengar mengerikan.
Pintu rumah diketuk.
Pak Slamet, tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri, masuk sambil membawa termos berisi teh panas.
“Bu Ani, jangan lupa makan. Bapak harus sehat kalau mau nunggu Pak Jono pulang,”
ujarnya dengan suara lembut.
Bu Ani hanya tersenyum tipis.
“Saya...nggak kepikiran makan, pak. Setiap dengar berita, rasanya jantung mau copot.”
Pak Slamet duduk di kursi tamu.
“Saya ngerti. Tapi kabar di TV itu belum tentu semuanya benar. Kadang malah bikin tambah ruwet”
“Justru itu, pak...kalau nggak lihat berita, saya nggak tahu apa-apa. Kalau lihat, malah tambah cemas.”
Bu Ani menarik napas panjang.
“Kata orang-orang, kalau sudah masuk ‘pulau itu’ itu..susah pulang. Tapi saya percaya, kalau Allah sudah berkehendak bukan tidak mustahil suamiku bisa selamat.”
Di luar, beberapa tetangga berkumpul di teras rumah, membicarakan simpang siur berita yang mereka dengar.
Ada yang bilang kapal bantuan sudah merapat ke pulau, ada pula yang mengatakan tim SAR menemukan mayat.
Suara-suara itu merembes masuk ke telinga Bu Ani, membuat kepalanya berputar.
Siti memeluk ibunya lebih erat.
“Bu, kalau Bapak pulang, aku mau gambar kapal lagi. Kapalnya harus besar, biar bisa bawa kita semua jalan-jalan.”
Bu Ani tersenyum sambil menahan air mata.
“Iya, Nak....nanti kita gambar sama-sama.”
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Listrik sempat padam sebentar, membuat rumah gelap gulita, lalu menyala lagi. TV kembali menampilkan berita terbaru:
“....hingga malam ini, kondisi cuaca di sekitar lokasi pencarian semakin memburuk. Tim SAR terpaksa menunda sebagian operasi, namun sebagian anggota masih berada di dalam pulau untuk melanjutkan pencarian.”
Kamera menyorot perahu karet di laut yang terombang-ambing diterpa ombak. Bu Ani tak bisa menahan lagi air matanya. Pak Slamet menepuk pelan bahunya.
“Bu, kita semua di sini mendoakan. Kalau ada apa-apa, saya bersama warga siap membantu.”
Di luar, hujan mulai reda. Tapi di hati Bu Ani, badai justru makin kencang.
Ia menatap foto keluarga di dinding,Pak Jono tersenyum lebar, memeluk anak-anaknya di pantai. Foto itu kini terasa seperti janji yang harus ditepati.
Entah berapa lama lagi ia harus menunggu. Tapi satu hal pasti,ia akan tetap duduk di kursi rotan itu, memandang pintu rumah, berharap suatu hari terdengar ketukan yang ia rindukan,dan bukan kabar yang selama ini ia takutkan.