"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Daddy Datang
"Hah ... Kapan kita bebas mengumbar kedekatan seperti ini?" gumam Justin
Ia merebahkan kepalanya di pangkuan Jessy. Keduanya tengah menikmati senja di tepi pantai yang lumayan jauh dari pusat kota. Sengaja mereka pilih tempat itu agar tidak berpapasan dengan orang yang mereka kenal.
"Kalau ibumu tahu, sepertinya hubungan kita akan langsung disuruh untuk diakhiri," kata Jessy.
Matahari yang hampir terbenam memancarkan semburat warna jingga yang dibiaskan indah oleh air laut. Sore ini masih banyak orang yang menghabiskan waktu di tepi laut bersama teman, pasangan, maupun keluarganya.
"Jessy aku akan tetap berusaha untuk memperjuangkanmu. Tunggu aku sampai lulus dan mandiri. Aku akan melamarmu," kata Justin sembari mengusap pipi Jessy dengan penuh kelembutan.
Jessy hanya bisa tersenyum kaku. Ia tak tahu apakah kelak Justin masih menerima kondisi dirinya yang sudah tidak lagi sepolos dulu. Ia juga tak tahu kapan Mark akan melepaskannya.
"Bagaimana kalau ibumu tetap tidak bisa menerimaku?"
"Aku akan berusaha membuatmu untuk diterima di keluargaku, Jessy. Kamu harus percaya padaku," kata Justin.
Jessy tak terlalu yakin dengan Justin. Ia tahu seberapa tingginya derajat keluarga Justin sampai rasanya tidak akan mampu masuk menjadi bagian keluarga itu.
Ibu Magda memang berprofesi sebagai seorang dosen. Di luar profesi tersebut, beliau juga mengurusi beberapa perusahaan keluarga. Kakek dan nenek Justin orang yang sangat terpandang dengan bisnis yang ada dimana-mana. Bahkan kampus yang menjadi tempat Jessy kuliah, salah satu pendirinya adalah pihak keluarga Justin.
"Bagaimana kalau weekend depan kita staycation ke luar kota? Aku suka bisa lebih bebas berduaan denganmu seperti ini," kata Justin.
"Akan aku pertimbangkan dulu," kata Jessy.
"Ayolah, kita hampir belum pernah jalan berdua ke luar kota. Aku bahkan kalah dari Fika yang pernah mengajakmu ke luar negeri," rayu Justin.
"Kita sudah masuk semester 5, Justin. Kamu tahu sendiri seperti apa tugas yang dosen-dosen berikan. Kita juga harus mulai punya gambaran bagaimana nanti menghadapi PKL."
Drrtt .... Drrtt ....
Ponsel Jessy berbunyi. Ia mengecek ponsel yabg sejak tadi terus bergetar di dalam tasnya. Tubuh Jessy seakan membeku saat mengetahui nomor yang muncul di layar ponselnya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Justin keheranan melihat Jessy tertegun.
"Ah, ini telepon dari Fika. Kayaknya dia mau curhat," kilah Jessy.
"Kalau begitu angkat saja," kata Justin.
"Ini pembahasan rahasia. Kata Fika jangan sampai ada yang tahu. Apa boleh aku ke toilet sebentar untuk mengangkat teleponnya?" tanya Jessy.
Meskipun kurang senang kebersamaan mereka terganggu, Justin memilih bangkit dari pangkuan Jessy. "Pergilah! Jangan lama-lama, ya!" pinta Justin.
"Iya, Sayang. Thank you!" Jessy mencium sekilas pipi Justin sebelum berlari ke arah yang sepi.
Jessy memilih area dekat toilet yang sepi pengunjung. Teleponnya kembali bergetar.
"Halo, Daddy ...," katanya dengan nada lirih. Matanya terus melirik ke segala arah takut ada yang akan mendengarnya.
"Baby, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?" protes Mark.
"Maaf, tadi baru dari toilet," kilah Jessy.
"Kamu dimana sekarang? Aku akan menjemputmu," kata Mark.
Jessy terdiam sesaat mencoba mencerna perkataan Mark. "Menjemputku?" tanyanya.
"Aku baru saja tiba di bandara, Baby. Sebentar lagi kita akan bertemu."
Jessy terkejut mengetahui Mark datang dari Inggris untuk menemuinya. "Kenapa Daddy tidak bilang dulu padaku?"
"Kalau aku bilang namanya bukan kejutan, Baby. Kamu senang, kan?" tanyanya.
Jessy terdiam.
"Sekarang katakan, kamu ada dimana? Apa di tempat kos?"
"Ah, tidak! Aku sedang ada di luar bersama teman. Biar aku saja yang datang ke tempat Daddy," kata Jessy.
"Baiklah, temui aku di hotel XXX. Hubungi aku lagi kalau kamu sudah tiba di sana," kata Mark.
"Iya, aku akan ke sana."
Jessy mengakhiri sambungan telepon. Tangannya terlihat gemetar. Ia sampai menyandarkan tembok saking merasa lemas mendengar kedatangan Mark. Ia tidak menyangka lelaki itu benar-benar akan datang menemuinya.
"Jessy, kamu lama sekali. Aku khawatir padamu," kata Justin yang tiba-tiba datang menyusulnya.
"Ah, maaf Justin. Fika sepertinya sedang butuh didengarkan."
Jessy tersenyum seolah ia baik-baik saja.
"Kita pulang sekarang?" tanya Justin.
Jessy tak menjawab. Ia justru memeluk Justin dengan sangat erat. Rasanya ia ingin mengatakan semuanya, bahwa ia ada masalah. Namun, ia takut Justin akan membencinya.
"Justin, kita pulang sendiri-sendiri, ya! Aku mau langsung ke tempat Fika," kata Jessy.
Justin merengut. "Memangnya kenapa? Aku bisa mengantarmu."
"Kita kan sudah sepakat untuk meminimalisir kebersamaan kita supaya tidak ada yang tahu kalau kita pacaran," ucap Jessy.
Justin agak kecewa dengan keinginan Jessy. "Baiklah, kita pulang masing-masing saja," jawabnya.
Justin menemani Jessy mencari taksi. Setelah mendapatkannya, ia membiarkan Jessy pulang lebih dulu.
Jessy mengubah alamat tujuan yang semula ke tempat Fika menjadi hotel tempat Mark berada. Ia menguncir rambutnya, memakai tobi dan masker agar tidak ada yang mengenalinya.
Sesampainya di hotel, Todd menunggunya di lobi. Lelaki itu mendampinginya menuju kamar Mark menginap.
realistis dunk