NOVEL DEWASA
Fase kedua dalam kehidupan percintaan.
Seberapa mampu kita bertahan dan mempertahankan cinta dan rumah tangga?
Bukankah badai pasti berlalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juliana S Hadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drakula Betina
Tetapi hal itu tak pernah berakhir. Mana mungkin berakhir, kalau diri mereka -- Reza dan Salsya -- adalah inti dari sesuatu yang terus berkesinambungan -- yang tersambung pada seutas benang tak kasat mata, mengaitkan mereka pada masa lalu dan masa depan. Sementara aku sama sekali tidak bisa memutus benang itu, sebab benang itu sebenarnya ada di dalam diri mereka. Memutusnya berarti harus mengakhiri tarikan napas mereka, atau salah satunya, yang berarti akhir dari hidup mereka.
Jadi itu takkan pernah berakhir.
Takkan pernah, sampai kapan pun.
Kau tahu sebab utamanya apa? Karena Salsya tahu bagaimana memanfaatkan kelemahan Reza, sementara Reza terus terikat pada trauma masa lalu. Meski dia pernah mengatakan: apa pun yang kita alami dan apa pun yang kita rasakan, jangan biarkan hal itu menggerogoti diri kita. Hah! Omong kosong!
Malam itu, sewaktu aku terbangun, Reza tidak ada di sisiku. Tapi karena aku kebelet pipis, aku pergi ke toilet dulu. Setelah itu barulah aku keluar dari kamar untuk mencarinya. Dan...
Suara bisik-bisik dari beranda depan menarik perhatianku, dan aku melihat bayang-bayang dua orang di luar sana.
Mas Reza?
"Sya, jangan. Aku tidak ingin ada yang melihat--"
Kata-kata dan suaranya itu menegaskan dugaanku, dan aku mencoba menghampirinya lebih dekat -- diam-diam, aku ingin melihat sendiri bagaimana reaksi suamiku itu jika digoda seorang perempuan jalan*.
"Za, aku menginginkanmu sejak dulu. Kumohon, cintai aku seperti kamu mencintai Nara. Perlakukan aku sehangat perlakuanmu padanya. Sentuh aku. Kumohon...."
Bayangan Salsya mendekat ke Reza, tetapi Reza menghindar, menjauhkan diri. Mereka bergerak ke sudut yang tak bisa kulihat lagi bayang-bayangnya.
"Sya, aku serius. Kubilang--"
Pada saat itu aku keluar menampakkan diri. Salsya sudah menempel pada Reza, perut buncitnya tidak menghalanginya bergelayut pada tubuh suamiku itu. Bahkan, saat itu ia berhasil menjadi drakula betin* yang mengisa* leher suamiku.
"Mas!"
Mereka berdua kaget, terutama Reza. Dia berusaha menjelaskan kepadaku bahwa apa yang baru saja terjadi -- itu tidak seperti apa yang kupikirkan.
Aku tidak peduli!
Aku berjalan cepat-cepat menghampiri mereka, dan perempuan itu, Salsya, si drakula cantik berkelakuan minus, nyaris menanggalkan gaun tidurnya. Kehamilan Salsya sudah hampir memasuki bulan ke tujuh dan perut bawahnya menggelantung ke depan. Dari belakang dia tidak kelihatan hamil. Tapi dari depan dia tampak seperti induk kanguru. Karena kepergok olehku, dia langsung melepaskan Reza dan cepat-cepat merapatkan gaunnya.
Sakit hati, kesal, dan marah. Jauh lebih marah dari sebelumnya, dan lebih menyakitkan daripada melihat video yang dikirimkan Kayla waktu itu. Bukan karena aku mendapati suamiku berselingkuh, bukan karena merasa dikhianati, tapi karena suamiku sebegitu tidak berdayanya di depan perempuan itu. Dia berduaan dengan Salsya di saat semua orang tertidur pulas, itu sama saja dia menyerahkan diri pada si jalan* itu. Aku marah, aku melotot pada mereka. Lalu...
Plak!
Aku menamparnya -- kuat dan keras, hingga ia terjerembab ke lantai. "Berengsek! Jalan*!" Aku berusaha meraihnya untuk menghajarnya lagi. Tetapi Reza menahanku dengan merangkulkan tangannya di pinggangku kuat-kuat. Aku tidak bisa melepaskan diri darinya. Pada akhirnya, suara ribut-ribut itu pun membangunkan semua orang.
"Ada apa?" Mayra yang datang lebih dulu bersama Alfi langsung meraih Salsya dan membantunya berdiri. Salsya meringis kesakitan dan memegangi perutnya, tapi aku tidak yakin itu sungguhan. Aku yakin dia hanya berpura-pura dan melebih-lebihkan supaya orang-orang iba dan tidak ikut mencecarnya.
Dan aku bertambah marah karena Reza masih begitu peduli padanya saat itu, dia meminta Alfi dan Mayra membawa Salsya ke rumah sakit.
"Jangan berani lagi datang ke sini atau aku akan membunuhmu, Pelacu*!" teriakku padanya yang saat itu berada dalam gendongan Alfi. Alfi dan Mayra hendak membawanya ke rumah sakit.
Tapi sebenarnya pertengkaran itu kurang heboh, sebab tidak ada yang membalas teriakanku. Aku hanya ribut sendiri tanpa bisa bergerak bebas, sebab Reza terus memegangiku.
"Aku membencimu!" aku berkata sambil menatap tajam padanya.
Ihsan yang sedari tadi memerhatikan kami dari kejauhan lekas menghampiriku, dia melepaskan tangan Reza yang mencengkeram pergelangan tanganku, lalu memintaku masuk, dia ingin bicara empat mata dengan Reza.
Aku pergi meninggalkan mereka berdua dengan arus gelombang emosi yang kuat di dalam diriku, kutundukkan kepala lalu mulai beranjak, tidak sabar untuk kembali dan menyendiri di kamarku -- membenamkan kepala ke kedua tangan.
Kenyataan yang kulihat memang bukan seratus persen perselingkuhan suamiku, setidaknya aku melihat dia berusaha menghindar dan berusaha menjauhkan Salsya dari tubuhnya, meski Reza tidak mendorongnya kuat-kuat apalagi melempar dan membanting tubuh mungilnya, karena itu sangat tidak mungkin. Tetapi aku marah karena Reza selalu menciptakan peluang sampai hal-hal seperti itu terjadi. Kalau saja dia tidak membiarkan Salsya menginap di rumah kami, tentu itu tidak akan terjadi. Bahkan, kalau dia berusaha menghindarinya dengan tetap berada di dalam kamar bersamaku, keributan itu juga tidak akan terjadi.
Tok! Tok! Tok!
Bukan, itu bukan ketukan, melainkan gedoran keras dari Aarin. "Mbak, buka. Ihsan dan Mas Reza berkelahi."
Ya Tuhan, apa lagi ini? Cepat-cepat aku berdiri dan membuka pintu, berlari ke beranda depan untuk melerai Ihsan.
Yeah, untuk melerai Ihsan. Karena seperti dugaanku, Reza tidak mungkin melawannya. Dia hanya bertahan, menangkis, dan menghindari serangan Ihsan. Dia tidak akan mungkin balas menyerang adikku.
Sesampainya di beranda aku berteriak-teriak meminta Ihsan menghentikan serangannya pada Reza, tapi Ihsan mengabaikanku. Dia terus menyerang Reza yang sudah tidak berdaya. Akhirnya aku terpaksa melindungi Reza dengan mengorbankan diriku sendiri, hingga aku yang menerima hantaman keras dari Ihsan. Setelah itu barulah Ihsan berhenti begitu menyadari bahwa serangannya mengenaiku. Dan itu rasanya sangat sakit, dan pasti meninggalkan jejak lebam di bagian belakang tubuhku.
Melihatku yang jatuh tersungkur, Reza langsung bergegas menghampiriku, namun Ihsan langsung mendorongnya, hingga ia kembali terlempar jauh dariku. Sebagai gantinya, Ihsan yang meraihku dan menanyai keadaanku, dan meminta maaf, dia tidak sengaja katanya.
"Kembalilah ke kamar," kataku. "Jangan khawatirkan aku, ya? Tolong?"
Ihsan mengangguk. Dia berbalik, mengangkat kedua tangannya dan langsung berlalu. Dan walaupun aku masih marah pada Reza, aku tetap membantunya dan mengajaknya ke kamar untuk mengobati luka-lukanya. Kukompres lukanya dalam diam -- diam karena memendam amarah. Tanpa senyum sedikit pun. Hanya sesekali mengusap air mata yang terlahir dari campuran perih. Aku benci, kekacauan yang ditimbulkan Salsya merembet pada banyak hal, tidak hanya mengacaukan hubunganku dengan Reza, tapi juga antara Reza dan Ihsan.
See, hanya karena satu mantan, banyak hati yang terluka.