Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2
Jam istirahat tiba. Alleta dan Aru melangkah cepat menuju kantin yang mulai sesak oleh siswa-siswa yang lapar. Bau gorengan, suara gelak tawa, dan antrean panjang menambah semarak suasana.
Setelah berhasil mendapatkan dua piring somay, kedua gadis itu menoleh ke segala arah, mencari tempat duduk.
“Eh, itu di pojok!” Aru menunjuk meja di sudut dekat tembok yang memiliki dua kursi kosong.
“Ayookk! Ntar keduluan!” Alleta tanpa ragu menarik tangan Aru, berlari kecil melintas di antara kerumunan.
Namun…
Bruukk…!
Tubuh Alleta menabrak sesuatu atau seseorang yang jauh lebih kokoh darinya. Seketika cup minuman es yang dipegang pemuda tersebut terlempar dan isinya tumpah mengenai rok abu-abu Alleta.
“Aduhh!” Alleta mundur setengah langkah, matanya langsung menunduk memandangi rok yang kini basah dingin.
“Yaampun…” Aru langsung panik.
Dengan kesal, Alleta mendongakkan kepala. Mata bulatnya membelalak begitu wajah yang ia lihat benar-benar familiar.
“Lo lagi…??” serunya tak percaya.
Sagara memasukkan satu tangan ke saku celananya, mengangkat alis dengan ekspresi menyebalkan.
“Lah, si pendek…” balasnya santai tapi memancing emosi.
“Maksud lo apa?! Lo nih emang tukang bikin masalah ya!” Alleta langsung maju selangkah, tangan kirinya terangkat seolah siap menampar pemuda itu.
Untung Aru cepat-cepat memeluk bahu Alleta dari belakang. “Al, udah… jangan cari gara-gara sama dia…” bisiknya mencoba menenangkan.
“Tapi rok gue basah gara-gara dia!!” Alleta membalas dengan suara bergetar menahan emosi.
Sagara mendengus pendek. “Gara-gara gue? Lo tuh yang main nyelonong sembarangan, malah nyalahin orang.”
Alleta menatapnya tajam. “Bener-bener ya lo!”
Ia kembali hendak melangkah maju, tapi kali ini suara berat yang familiar menghentikan semuanya.
“Ada apa nih…?”
Tristan muncul di samping mereka, wajahnya datar namun matanya jelas tak suka melihat Alleta dalam keadaan kacau.
“Ini tadi Alleta nggak sengaja nabrak Sagara, terus roknya ketumpahan minuman…” jelas Aru cepat, takut suasana makin panas.
Tristan mengalihkan fokusnya pada Alleta yang sedang mengibas-ngibaskan rok abu-abunya yang basah. “Al, lo nggak apa-apa?” tanyanya, nada khawatir sangat jelas terdengar.
“Gapapa…” jawab Alleta pelan, meski dari wajahnya terlihat jelas ia masih kesal setengah mati.
Tanpa banyak bicara, Tristan merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan sapu tangan kecil berwarna navy. Ia menyodorkannya pada Alleta. “Nih, pake aja…”
Alleta sempat terdiam satu detik,sikap perhatian Tristan itu selalu berhasil sedikit melembutkan mood-nya, namun kali ini ia masih terlalu kesal untuk menunjukkannya.
“Makasih…” ucapnya singkat, lalu langsung berjalan menuju meja yang tadi mereka incar. Namun sebelum benar-benar pergi, Alleta sempat melayangkan satu tatapan tajam menusuk ke arah Sagara, seolah berkata awas kalau kita ketemu lagi.
Tristan memandang kepergiannya sambil mengerutkan dahi. Ia tak mengerti kenapa emosinya bisa meledak begitu cepat. Ia pun menoleh pada Aru, meminta penjelasan lewat tatapan.
Aru hanya tertawa kikuk, menggaruk kepala sendiri. Ia lalu menatap Sagara sambil menyengir canggung.
“Hehe… maafin temen gue ya. Kayaknya dia lagi… ya gitu deh… lagi mens,” bisiknya pelan namun jelas terdengar.
Sagara mendengus pelan sambil memutar mata malas. Seolah semua ini terlalu sepele untuk ia urus.
“Drama,” gumamnya lirih, lalu berbalik hendak pergi.
“Eh, tunggu…” panggil Tristan tiba-tiba.
Sagara menoleh setengah, ekspresi tetap datar dan dingin.
“Minuman lo… biar gue yang ganti,” ucap Tristan sopan, tetap menunjukkan itikad baik meski suasana tegang.
Sagara menatap Tristan sejenak… seakan menilai orang yang berdiri di depannya.Lalu dengan nada pendek, ia menjawab, “Gausah.” Tanpa menunggu respon lagi, ia langsung melangkah pergi meninggalkan keramaian kantin.
......................
Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Gerbang SMA Pandegha Cakrabuana dipadati para siswa yang berhamburan keluar, namun di tengah keramaian itu, Tristan dan Alleta sudah duluan melaju menjauhi sekolah dengan motor merah milik Tristan.
Sore itu jalanan cukup lengang. Langit mulai berubah jingga, dan angin yang berhembus lembut membuat ujung rambut Alleta bergerak pelan di balik helmnya. Tapi tidak seperti biasanya yang akan bercerita banyak dan tak henti-hentinya bersuara, Alleta hanya diam. Tangannya memegang bagian belakang motor tanpa usaha berbicara sama sekali.
Tristan melirik lewat spion, menyadari perubahan suasana. “Lo masih kesel?” tanyanya ringan, berusaha membuka obrolan.
“Engga…” jawab Alleta singkat, terlalu cepat untuk bisa dipercaya.
Tristan menghela napas, namun bibirnya tetap terangkat geli. “Lo kayaknya nggak suka banget sama tuh anak baru?”
Alleta memutar bola matanya, meski Tristan tidak bisa melihatnya langsung. “Asal lo tau ya…” suaranya mulai naik sedikit. “Yang gue bilang nabrak gue di Gramed, terus ngatain gue pendek kemarin… itu dia.”
Tristan terdiam sejenak, mencerna keterkaitan itu.
“Oh… pantesan,” gumamnya sambil mengangguk-angguk.
Tapi tentu saja ia tidak membiarkan kesempatan menggoda itu lewat begitu saja.
“Tapi hati-hati…” katanya sambil menaikkan nada suaranya dramatis, “yang bikin kesel kayak gini nih… biasanya ujung-ujungnya bikin cinta.”
Alleta hampir tersedak udara. “Dih! Apaan sih!” serunya kesal. “Liat tampangnya aja bikin gue muak!”
Tristan tertawa ngakak tanpa sedikitpun berusaha menutupinya.
Motor itu terus melaju melewati perempatan, tidak seperti biasanya Tristan mengambil jalan yang bukan menuju perumahan mereka.
“Kok ke sini?” tanya Alleta, alisnya terangkat heran.
“Ikut aja dulu…” jawab Tristan santai.
Beberapa menit kemudian, motor itu berhenti di sebuah warung makan sederhana. Aroma masakan rumahan langsung menyergap hidung Alleta. Ia mengenali tempat itu dengan sangat baik, warung makan milik Bunda Rani, ibu Tristan.
“Yok makan dulu, gue laper…” ujar Tristan sambil melepas helm dan turun lebih dulu.
Alleta hanya menggeleng pelan, tapi bibirnya terangkat menyadari betapa khasnya tingkah Tristan. Ia turun dan mengikuti Tristan masuk ke dalam warung. Begitu masuk, dua suara ceria langsung menyambutnya.
“Kak Alleta!!” sorak seorang gadis berusia 13 tahun sambil berlari kecil mendekat. Ia adalah Aluna Samhita Raharja, atau Luna, adik perempuan Tristan. Di belakangnya, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, Narendra Mahasura Raharja atau Naren, ikut melambai antusias.
“Haii Luna, hai juga Naren!” sahut Alleta dengan senyum lebar. Seketika saja suasana hatinya yang tadinya buruk menguap begitu saja.
Selain dekat dengan Tristan, Alleta memang sudah seperti bagian dari keluarga ini. Luna dan Naren selalu menaruh rasa suka padanya, Alleta sudah seperti kakak tambahan bagi mereka.
Sementara Alleta larut dalam obrolan bersama dua adik Tristan itu, Tristan sendiri langsung menuju dapur.
“Bun…, lauk masih?” serunya sambil mengintip dari daun pintu.
Di dapur, terlihat Bunda Rani yang tengah mencuci sendok. Ia menoleh sambil tersenyum hangat.
“Masih dikit tuh…” balasnya lembut. “Kamu sendiri?”
“Enggak, sama Alleta,” jawab Tristan sambil menunjuk ke luar.
Bunda Rani langsung menghentikan pekerjaannya. Ia mengambil piring dan mulai menata lauk dengan cekatan.
“Bilang dong dari tadi…” ucapnya seraya menambahkan sambal dan sayur ke piring tersebut.
Tristan mengendus aroma masakan itu, matanya langsung berbinar. “Wih, tau aja anaknya lagi laper..”
Tangan Tristan yang hendak menyambar piring itu langsung ditepis halus oleh Bunda Rani.
“Ini buat Alleta. Kamu ambil sendiri sana…” tegurnya sambil tersenyum, lalu membawa sepiring nasi Padang lengkap itu keluar dari dapur.
Tristan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, melihat bagaimana Bunda Rani selalu memberi perlakuan spesial untuk Alleta. Ia tahu, Bundanya benar-benar menyayangi gadis itu seperti anak sendiri.
Di luar, Alleta masih larut mengobrol dengan Luna dan Naren saat langkah Bunda Rani mendekat.
“Alleta… ayo makan. Bunda sudah siapin khusus buat Alleta,” serunya penuh semangat, lalu meletakkan piring berisi nasi dan lauk hangat di atas meja.
“Yaa ampun, Bunda… nggak usah repot-repot juga kali…” ucap Alleta sambil tersenyum canggung.
“Ah, nggak repot… ayo makan dulu,” balas Bunda Rani tetap bersikeras.
“Iya Kak, nggak repot kok! Biar Naren ambilin air buat Kak Alleta!” seru Naren, langsung berlari kecil menuju dapur tanpa menunggu jawaban.
“Eh, Naren! Nggak usah..” Alleta mencoba menghentikannya, tapi terlambat. Anak itu sudah menghilang di balik pintu dapur.
Mau tidak mau, Alleta hanya bisa menurut. Dengan rasa kikuk namun senyum yang tak mampu hilang dari wajahnya, ia mulai menyuap makanan yang terhidang. Hangatnya bumbu, aroma nasi yang baru matang… semuanya terasa berbeda dibandingkan makanan di rumahnya sendiri.
Meski sudah cukup sering datang ke sini, Alleta tetap merasa sungkan. Ia selalu khawatir keberadaannya hanya merepotkan. Namun di saat yang sama, hatinya turut melebur oleh kehangatan keluarga ini.
Keluarga Tristan mungkin bukan keluarga berada. Ayahnya seorang tentara yang selalu menyempatkan waktu untuk pulang, dan Bundanya mengelola warung makan yang buka sejak pagi buta. Jauh berbeda dengan kedua orang tua Alleta yang memiliki perusahaan besar dengan aset miliaran.
Tapi justru di rumah sederhana ini, Alleta menemukan hal yang tak pernah ia dapatkan di rumah megahnya, Cinta. Kebersamaan. Tawa yang memenuhi ruangan dan bukan sekadar gema kesepian.
Di sini… Alleta merasa hidup. Merasa berarti. Merasa punya tempat untuk pulang.
Tak lama kemudian, Naren muncul kembali sambil mengangkat segelas air dengan dua tangan, seolah takut airnya tumpah sedikit pun. Di belakangnya, Tristan ikut keluar membawa sepiring nasi untuk dirinya sendiri, lalu duduk di samping Alleta.
Suasana meja makan mendadak ramai oleh canda tawa keluarga itu. Luna bercerita tentang drama teman sekelasnya, sementara Naren sibuk memamerkan nilai ulangan matematikanya yang naik drastis. Sesekali Tristan menggoda adik-adiknya, membuat Alleta tak bisa menahan senyum.
Di tempat sederhana itu… Alleta merasa begitu hangat.
Setelah mereka selesai makan, Alleta langsung membantu Bunda Rani merapikan warung karena sudah waktunya tutup. Meskipun awalnya Bunda Rani menolak,
“Udah-udah, kamu pulang aja, nanti Bunda yang beresin…”
Namun Alleta bersikeras tetap membantu, “Gapapa Bun, aku bantu dikit aja. Masa aku cuma makan terus pulang.”
Bunda Rani akhirnya menyerah dan mengusap kepala Alleta dengan sayang.
Tak lama kemudian, semua sudah rapi. Bunda Rani dan kedua adik Tristan pulang lebih dulu dengan taksi. Tristan dan Alleta menyusul naik motor.
Perjalanan pulang terasa sunyi namun nyaman. Hanya suara angin sore yang menemani mereka. Hingga akhirnya motor memasuki pekarangan rumah besar milik keluarga Alleta, gerbang megah, taman luas, lampu indah di setiap sudut… tapi terasa dingin dan hampa.
“Thanks ya…” ucap Alleta seraya melepas helmnya.
Tristan menaikkan kaca helmnya, “Kayak sama siapa aja.”
“Hehe… nggak mampir dulu?” tawar Alleta.
“Nggak deh, udah mau malam. Gue balik dulu.” Tristan menolak dengan halus namun tetap hangat.
“Yaudah… hati-hati.” ujar Alleta sambil tersenyum kecil.
Tristan hanya mengangkat jempol dan melaju pergi, meninggalkan jejak suara mesin yang perlahan memudar.
Ketika motor itu benar-benar menghilang, Alleta berdiri sejenak menatap rumah megahnya. Rumah yang terlihat indah… tapi tak pernah benar-benar terasa seperti rumah. Ia menarik napas, lalu melangkah masuk ke dalam, menghilang di balik pintu besar yang menutup kembali keheningan hidupnya.
......................
Di sisi lain, di sebuah rumah modern dengan halaman luas, seorang pemuda duduk santai di kursi dekat kolam renang. Jemarinya lincah memetik senar gitar, menghasilkan melodi pelan yang terdengar memantul di permukaan air. Sagara menunduk sedikit, seperti terbawa oleh musiknya sendiri.
“Gimana sekolah barunya..?”
Sebuah suara memecah lamunannya.
Seorang wanita paruh baya dengan potongan rambut pendek rapi, khas wanita karir yang sibuk, berdiri tak jauh dari sana. Dalam kemejanya yang masih lengkap, Bu Sofi memandang putranya dengan penuh harap.
Sagara menghentikan petikan gitarnya, menoleh sambil mengangkat satu alis.
“Ya gitu-gitu aja…” jawabnya datar, tanpa minat untuk memperpanjang percakapan.
“Mama harap kali ini kamu jangan berulah lagi.” Nada suara Bu Sofi mulai terdengar tegas. “Ini kesempatan terakhir kamu. Kalau sampai kamu di-DO lagi, nggak ada sekolah yang bakal nerima kamu.”
Sagara mendengus pelan. “Ckk… iya, tau.” Ia meletakkan gitarnya asal di kursi lalu berdiri. Tanpa melihat wajah ibunya lagi, ia berjalan masuk ke dalam rumah.
Bu Sofi hanya bisa memandangi punggung putranya yang menjauh. Napas panjang terhembus dari bibirnya, campuran antara lelah dan cemas.
“Apa yang harus Mama lakukan supaya kamu bisa berubah, nak…” gumamnya lirih, menatap air kolam yang kembali tenang setelah kepergian Sagara.
Bersambung...
“Kesederhanaan seringkali menyimpan kebahagiaan yang tak mampu dibeli oleh harta.”