Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Pagi itu kembali datang, Regi bangun lebih cepat dari alarm biasanya. Pria itu segera bergegas membangunkan sang anak yang masih terlelap.
Dona mengerjapkan mata ketika suara Regi menggema pelan di telinganya. Gadis kecil itu langsung menguap dan menyapa sang ayah.
“Selamat pagi Papa,” ucap Dona dengan senyum kecilnya.
“Selamat pagi juga, Nak,” sahut Regi.
Dona menatap penampilan sang ayah yang sudah rapi, gadis kecil itu langsung bertanya, “Pa, kita mau ke mana?”
“Kita mau ke ibumu, Nak,” jawab Regi.
Dona terlonjak bahagia, seolah menemukan harta karun ketika nama ibunya disebut. “Hah! Bertemu Ibu? Dona mau!”
“Ya sudah, mandi dulu ya,” ucap Regi.
Dona mengangguk, lalu berlari kecil menuju kamar mandi.
Satu jam kemudian, Dona keluar dengan penampilan yang segar kaos putih bergambar beruang dan celana jins yang membuatnya tampak manis. Regi menggenggam tangan kecil Dona sambil menuntunnya keluar kamar. Udara pagi masih dingin, membuat Dona merapat pada ayahnya.
“Pa… Dona gugup,” gumamnya pelan.
Regi menunduk, tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Ibumu pasti senang sekali ketemu kamu.”
Dona mengangguk, namun jemarinya semakin erat menggenggam tangan Regi. Ia takut… takut jika ibunya marah karena ia datang tanpa membawa Hakim lelaki yang selama ini selalu dipanggil ibunya.
Regi melihat kegelisahan itu, lalu mencoba menenangkan. “Sayang, jangan takut.”
“Aku takut… kalau Ibu masih nunggu Ayah Hakim,” bisik Dona.
Kata-kata itu menghantam keras hati Regi. Ia teringat jelas kondisi Dina dulu terkungkung delusi, terus memanggil seorang pria yang bahkan tak pernah kembali untuk melihat anaknya.
“Kita doakan saja ya, semoga Ibu makin sembuh,” ucap Regi, meski hatinya sendiri belum setenang wajahnya.
Mereka akhirnya memasuki mobil, setelah Regi berhasil menenangkan hati anaknya, yang masih dihantui rasa cemas dan khawatir terhadap ibunya, sama halnya dengan dirinya yang khawatir bukan dengan kondisi melainkan dengan rasa bersalah yang terlalu besar terhadap wanita yang sudah membuatnya menjadi seorang ayah.
Perjalanan menuju RSJ dipenuhi keheningan. Regi beberapa kali menarik napas panjang, sementara Dona memeluk boneka kecilnya tanpa suara.
Begitu sampai di halaman RSJ, langkah Dona terhenti mendadak. Bangunan putih itu berdiri sunyi dengan halaman luas dan bangku besi yang tampak dingin tertiup angin pagi.
“Pa…” panggil Dona dengan suara kecil.
“Iya sayang, Papa di sini. Kamu nggak sendiri.” Regi mengelus kepala putrinya.
Dona terus menggenggam tangan Regi, seolah itu satu-satunya pegangan hidupnya. Mereka melangkah masuk ke koridor RSJ. Aroma obat dan lantai desinfektan langsung menyambut, membuat suasana semakin dingin.
Tak lama, seorang perawat menghampiri.
“Pak Regi? Silakan. Ibu Dina sudah siap menerima kunjungan. Kondisinya juga lebih stabil sekarang. Dia sudah mulai berhenti memanggil nama suaminya….” Perawat itu menahan kalimatnya, lalu melanjutkan pelan. “Ibu Dina lebih banyak diam, tapi sudah bisa diajak bicara. Ia sering menyebut nama Dona dan… dan Anda.”
Regi terdiam. Ada rasa lega, tapi juga nyeri. “Ayo Nak,” ucapnya sambil mengusap punggung Dona.
Perawat membuka pintu ruang perawatan perlahan. Di dalam, Dina duduk di tepi ranjang, menatap jendela dengan tatapan kosong namun tidak lagi gelisah. Rambutnya tergerai, wajahnya pucat… tapi lebih tenang daripada terakhir kali Regi datang.
Tidak ada teriakan, tidak ada panggilan nama Hakim yang dulu selalu digaungkan, saat ini wanita itu sudah mulai bisa tenang dan diajak berbicara.
Begitu mendengar pintu terbuka, Dina menoleh. Matanya langsung membeku ada jeda panjang, sejenak seolah dunia berhenti.
“Ibu…” suara Dona sangat kecil, tetapi cukup untuk memecahkan sisa keheningan.
Dina menutup mulutnya, tubuhnya bergetar. “D… Dona?”
Dona melepaskan tangan Regi dan berjalan pelan. “Dona datang, Bu.”
Sekejap kemudian, isak pecah. Dina bangkit dengan langkah goyah, lalu merengkuh putrinya erat-erat.
“Ibu kangen… Ibu kangen sekali…” suaranya pecah, parau, tapi tidak lagi kacau seperti dulu.
Dona memeluk balik. “Dona juga kangen Ibu.”
Dina mengusap kepala putrinya, menangis sesenggukan seperti seorang ibu yang baru menemukan separuh jiwanya kembali.
Lalu matanya beralih ke Regi, Ardina menatapnya dalam-dalam tatapan itu bukan tatapan orang linglung, bukan juga tatapan wanita yang kehilangan arah, namun tatapan itu seperti tatapan seseorang yang mengingat penuh masa lalunya dan serpihan luka dari pria dihadapannya.
“Regi…” suaranya serak, lirih, tetapi sadar.
Regi hampir tidak bisa bernapas, tatapan wanita itu bukan amarah melainkan rasa sakit dan kekecewaan yang begitu dalam, sampai-sampai tidak perlu suara yang menjelaskannya.
“Terima kasih… sudah bawa Dona,” katanya akhirnya.
Regi menunduk. “Aku… seharusnya datang jauh lebih awal," ucapnya bergetar seolah mulutnya terkunci.
"Kau tidak perlu datang, aku sudah bisa hidup tanpamu," sahut Ardina dengan tatapan nanar.
Regi tertegun pria itu hanya bisa pasrah mendengar ucapan wanita yang pernah ia sakiti dulu. "Maaf ....," ucapnya menggantung.
Ardina membuang muka tatapannya beralih ke arah jendela, dimana angin pagi menyapu rambut panjangnya. "Aku sudah hancur, bahkan sampai ada di tempat ini."
Regi menelan napas berat. Ia maju satu langkah, namun berhenti di tengah jalan, takut melukai lagi, takut salah gerak.
“Aku tahu…” suaranya pecah. “Dan semua itu salahku.”
Ardina menggeleng, samar, sembari mengusap pipi Dona. “Dulu waktu aku teriak-teriak di sini, aku selalu panggil nama Hakim… aku selalu pikir dia penyelamatku.” Ia tersenyum getir. “Padahal dia yang meninggalkan aku lebih dulu.”
Regi terdiam. Hatunya mencengkeras.
“Tapi di kemudian hari …” Ardina menarik napas, jari-jarinya meremas pelan baju Dona, “…untuk pertama kalinya, aku nggak panggil dia lagi.”
Regi terangkat sedikit kepalanya, mendengar dan mencerna ucapan wanita yang sedang terluka itu.
“Aku… ingat Dona.” Ardina tersenyum samar menatap putrinya dengan cinta yang utuh. “Dan aku ingat kau, Regi… dengan jelas.”
Regi memejamkan mata, terlalu menyakitkan mendengar ungkapan hari Ardina.
“Tapi ingat,” Ardina menambahkan, suara itu kini lebih dingin. “Ingat bukan berarti aku sudah memaafkan.”
Regi mengangguk pelan. “Aku nggak minta itu sekarang.”
“Kau tak perlu minta apa pun.” Ardina kembali membuang pandangan ke jendela. “Aku cuma ingin tenang. Itu saja.”
Dona memegang tangan ibunya. “Ibu, nanti Ibu bisa pulang sama Dona, ya? Papa bilang Ibu akan sembuh.”
Ardina menatap anaknya, mata yang tadinya redup berubah menjadi embun yang hangat.
“Kalau Ibu kuat… kalau Ibu benar-benar sembuh… Ibu janji akan pulang.”
Regi menahan getaran di tenggorokannya.
“Aku akan bantu,” katanya lirih. “Apa pun yang kau butuhkan.”
Ardina menoleh perlahan. Tatapan mereka bertemu, dua jiwa yang pernah bertabrakan dan sama-sama patah. Namun untuk pertama kalinya, Ardina tidak mengalihkan pandangan.
“Kalau kau ingin benar-benar membantu,” ucap Ardina, nada suaranya pelan tapi berat.
Regi menahan napas, berusaha untuk kuat.
“Jangan pernah sakiti Dona. Itu saja.”
Ardina menunduk, mengusap rambut anaknya dengan lembut. “Hanya itu yang tersisa dari diriku.”
Kata-kata itu menusuk Regi lebih dalam dari amarah mana pun. “Aku janji,” suara Regi bergetar. “Aku akan jaga dia… dengan seluruh hidupku.”
Untuk pertama kalinya, Ardina tidak membantah. Ia hanya mengangguk, perlahan sebuah isyarat kecil bahwa dinding di hatinya mulai retak, meski belum runtuh.
"Tapi aku butuh bantuanmu," ucap Regi seketika membuat Ardina menatap wajah pria itu.
"Bantuan apa?" tanya Ardina datar.
"Sembuhlah, karena Papa ingin merebut Dona dari tanganku," jelas Regi dengan nada ragu.
"Apa!" Ardina tersentak, seketika wajah Halik membayangi pikirannya.
"Iya, kau harus sembuh, karena hanya Kamu yang pantas untuk menjaga Dona bukan siapapun," ucap Regi.
Ardina mengangguk faham, ia tahu semua tentang Halik dan dendam keluarganya, begitu Regi berbicara seperti itu, entah kenapa naluri keibuannya yang ingin menjaga Dona semakin kuat.
Bersambung ....
ku harap regi ketemu orang yg status d powery yg lbh tinggi dr halik y bisa menolong dona,regi d mamay dona. d mereka bs bangkit d pya segalay yg tk bs bpny tandingi.
klo g biarlah regi ma dona tinggal di plosok desa yg nyaman d orgy lebh manusiawi d kekeluargaany kentl bgt.biar g mempan di sogok pake duit ma halik.hidup dg kesederhanaan tp bahagia hdp bersama dona d mamay mjd keluarga .