"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3 Terserah Mama
"Aku dengar Mama mau jodohin Arka sama salah satu pegawai Mama. Apa itu benar?" Aditya yang baru saja menyeruput kopi, tak sabar menanyakan hal ini pada sang istri. Setelah semalam ia mendengar kabar dari anak buahnya.
Rosmala yang tadinya sibuk membaca laporan dengan macbook, mengalihkan sebentar perhatiannya. Ia meletakkan benda pipih nan canggih itu di atas meja, lalu melepas kaca mata yang sering ia gunakan untuk membaca laporan.
Ia menatap sang suami yang tengah menunggu jawaban darinya. "Iya, apa ada masalah?"
"Apa tidak ada wanita lain yang setara dengan kita untuk Arka nikahi. Kenapa harus karyawan kamu?"
"Apa ada wanita lain yang berkelas seperti yang Papa maksud mau dengan Arka?"
Aditya mengernyit, tidak paham pertanyaan istrinya. Memangnya siapa yang bisa menolak putranya. Selain tampan, Arka juga punya pekerjaan yang menjanjikan. Arka juga calon pewaris dari dua perusahaan besar yang dimiliki oleh dirinya dan sang istri. Sudah bisa dibayangkan bukan berapa banyak kekayaan Arka. Jadi wanita mana yang bisa menolak pesona Arka.
"Pa, Arka itu saat ini sedang di fase patah hati. Dia bahkan tak pernah melirik wanita mana pun yang Mama kenalkan padanya. Dan wanita kelas atas yang Papa maksud tadi, mana mungkin mau meladeni Arka yang patah hati itu. Sementara mereka punya value yang bisa mereka gunakan untuk menarik perhatian pria yang juga sekelas dengan mereka dari pada menunggu Arka sembuh dari patah hatinya."
Aditnya terdiam. Memikirkan apa yang istrinya ucapakan.
Memang, sejak kehilangan istri, putra semata wayangnya itu menjadi orang yang sangat berbeda. Tak pernah lagi tersenyum. Menjadi lebih tertutup dan tak mau mengenal orang baru.
Melihat diamnya sang suami, Rosmala kembali berucap, "Sekarang Papa ngerti, kan, kenapa Mama memilih Maira untuk jadi istrinya Arka?"
Aditya tetap diam. Sejujurnya ia tidak rela anaknya menikah dengan wanita sembarangan, sebab wanita yang akan Arka nikahi, adalah calon ibu dari penerusnya kelak. Jadi mana boleh asal pilih wanita tanpa melihat bibit, bebet dan bobotnya.
"Lagi pula, Mama juga tidak asal pilih. Mama sudah mempertimbangkan semuanya. Maira, calon yang Mama pilih itu adalah wanita baik-baik. Selama bekerja dengan Mama, dia adalah orang yang jujur dan kompeten. Dia selalu bisa Mama percaya untuk hal-hal urgent yang tidak bisa Mama wakili. Jadi, Maira adalah calon yang tepat untuk Arka."
Aditya masih belum ingin memberi tanggapan. Ia masih saja diam menunggu apa lagi yang ingin istrinya katakan.
"Satu lagi, Maira adalah orang yang begitu sayang pada keluarga. Mama yakin, Maida juga bisa menyayangi Zara dan juga Arka nantinya."
Setidaknya begitulah penilaian Rosmala terhadap Maira selama ini.
"Lalu, bagaimana dengan uang yang Mama berikan padanya. Dia menerima tawaran Mama untuk menikah dengan Arka hanya karena uang, kan? Apa itu bukan suatu indikasi, jika yang dia lakukan ini hanya sebuah transaksional. Bagaimana Mama bisa menjamin kalau dia akan sayang pada Zara dan Arka. Sementara niatnya menikah bukan karena cinta dan ketulusan, melainkan uang." Aditya sudah menerima semua laporan dari anak buahnya.
Rosmala tertawa. "Papa ... Papa, sampai hal itu Papa juga tahu. Padahal Mama sengaja pakai uang Mama sendiri agar tidak tercium oleh Papa. Sebenarnya orang suruhan Papa itu yang mana. Yang bisa kasih informasi lengkap seperti itu."
Aditya ikut tertawa. Ia sengaja memperkerjakan orang untuk mengawasi istri dan anaknya. Dan siapa orang itu, tak pernah Rosmala dan Arka ketahui. Semua demi keamanan istri dan anaknya. Ia belajar semua dari orang tuanya dulu. Hidup dalam lingkungan pengusaha, nyatanya tak seaman yang dibayangkan. Justru dunia pengusaha sangat berbahaya bagi yang tidak waspada.
Rosmala tahu, suaminya tak akan menjawab, karena itu ia pun langsung memberikan pendapatnya. "Maira menerima tawaran Mama karena ia butuh uang untuk ibunya. Papa lihat sendiri, demi orang tuanya, ia rela korbankan kehidupan pribadinya. Padahal kalau dia mau, dia bisa saja tak peduli. Biarkan saja ibunya mati, orang kenyataannya dia nggak punya uang untuk biaya berobat ibunya. Tapi Maira nggak melakukan itu, dia memilih untuk menyelamatkan ibunya meski masa depan dan hidupnya yang jadi taruhannya. Apa itu belum cukup untuk menggambarkan ketulusan dia."
Aditya manggut-manggut. Mulai menerima alasan istrinya.
"Dan Mama yakin, ketulusan Maira juga akan ia berikan pada Arka dan Zara kelak."
Aditya menarik napas dalam. "Semoga saja semua benar."
Rosmala melihat Arka yang baru saja turun dari tangga. Pria itu hampir berlaku begitu saja saat Rosmala memanggilnya. "Arka!"
Si empunya nama, berhenti.
"Sini, duduk dulu. Mama mau bicara."
Arka hanya menurut. Ia langkahkan kakinya dengan malas ke meja makan. Arka sudah tahu pasti jika Mamanya pasti akan menanyakan tentang pertemuan ya semalam.
"Bagaimana, kamu sudah ketemu dengan Maira, kan?" tanya Rosmala begitu Arka duduk. Persis seperti dugaan Arka.
"Hemm ...."
"Terus, tanggapan kamu gimana?" Rosmala terlihat antusias, ingin mendengar respon Arka tentang Maira.
"Nggak gimana-gimana."
Mendengar jawaban Arka, kontan Rosmala dan Aditya saling menatap.
"Maksud kamu itu gimana, yang jelas dong kalau memberi jawaban."
Arka menegakkan badannya. Ia menatap Mamanya serius. "Ma, berapa kali sih Arka bilang, Arka nggak mau menikah lagi. Jadi nggak usah Mama repot-repot cariin calon buat Arka. Ini terakhir kali, Ma. Jangan ada lagi."
Rosmala kecewa dengan ucapan Arka, tapi ia akan lebih kecewa jika Arka berlarut-larut dalam kedukaan. "Ok, ini terakhir kali. Karena setelah ini kamu akan menikah dengan Maira. Tentu Mama nggak akan cariin kamu calon lagi."
"Ma ...!" protes Arka. "Kenapa sih, Mama nggak ngerti-ngerti. Arka nggak mau ...."
Rosmala menyela dengan dengan cepat. "Arka, kamu jangan egois. Kamu juga harus memikirkan Zara. Dia putri kamu. Dia buah cinta kamu dengan Raswa. Mungkin kamu nggak butuh istri, tapi Zara butuh seorang ibu."
"Zara nggak butuh ibu, dia sudah ada pengasuh." Arka tak mau kalah, dia sudah bosan dengan usaha ibunya yang terus saja ingin ia menikah lagi.
"Pengasuh dengan ibu itu beda, Arka. Ibu bisa lebih menyayangi Zara seperti anaknya sendiri. Mendidik Zara, menjadi teman Zara. Kalau pengasuh, mereka hanya akan merawat Zara secara lahir, tapi tidak bisa memenuhi cinta di hati Zara." Begitulah pemikiran Rosmala. Kenapa ia ingin anaknya menikah lagi. Ia ingin Zara ada yang merawat. Bukan hanya sekadar pengasuh.
Arka tak tahu lagi bagaimana memberitahu ibunya tentang perasaannya. Perasaan kehilangan, perasaan cinta sekaligus perasaan bersalah yang ia rasakan pada mendiang Raswa. Semua berbaur jadi satu, sampai ia mati ras pada wanita mana pun.
"Kamu dengerin Mama kali ini. Maira itu gadis baik, dia akan jadi istri yang baik buat kamu, juga ibu yang baik untuk Zara," bujuk Rosmala.
Rasanya percuma mengatakan apa pun pada mamanya.
"Terserah Mama aja!" Arka berdiri. Lalu meninggalkan meja makan begitu saja.
Rosmala menatap suaminya. "Itu artinya Arka setuju dengan pernikahan yang Mama rencanakan, kan, Pa?"