Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mirip Dengannya
Hari telah berganti ke esok pagi. Cahaya matahari menembus masuk melalui celah kecil di dinding batu gua, menimpa wajah Gao Rui yang masih terlelap. Udara pagi terasa sejuk, dan suara burung-burung kecil mulai terdengar samar di kejauhan.
Gao Rui perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan dibandingkan malam sebelumnya. Luka-luka di dadanya sudah menutup, dan rasa nyeri di bahunya hampir hilang sepenuhnya. Ia mengangkat tangannya perlahan, menatap kulitnya yang tak lagi membiru seperti kemarin.
“Benar-benar… sembuh.” pikirnya takjub. Ia menatap ke sekeliling, mencari sosok yang semalam menolongnya.
Matanya kemudian tertuju pada Boqin Changing yang tengah duduk di dekat pintu gua. Pemuda itu tampak begitu tenang, menyiapkan sarapan dengan peralatan masak yang bahkan lebih lengkap dari semalam. Ada panci kecil, pisau tajam, beberapa bumbu yang tersusun rapi di atas kain, dan sebatang kayu yang digunakan sebagai pengaduk. Asap tipis mengepul dari panci, membawa aroma wangi bubur daging yang lembut dan gurih.
Gao Rui hanya bisa menatap terpana. Ia tak pernah melihat seorang pendekar berpergian serumit ini. Biasanya para pengembara hanya membawa pedang dan pil obat, tapi pemuda di hadapannya ini tampak seperti seseorang yang sudah hidup ratusan tahun di alam liar.
Boqin Changing melirik sedikit ke arah Gao Rui, lalu tersenyum tipis.
“Kau sudah bangun rupanya,” katanya pelan. “Bagus. Tubuhmu jauh lebih baik sekarang. Kau sudah bisa makan sesuatu yang hangat.”
“Se-Senior…” Gao Rui berusaha duduk tegak, wajahnya masih menyimpan rasa kagum. “Aku tidak menyangka… kau benar-benar bisa menyembuhkan lukaku dalam semalam.”
Boqin Changing hanya mengangkat bahunya ringan.
“Aku hanya mempercepat proses yang seharusnya terjadi.” Ia mengaduk bubur di dalam panci, lalu melanjutkan, “Tubuhmu memang lemah, tapi masih memiliki keinginan hidup yang kuat. Itu sebabnya aku tahu kau tidak akan mati.”
Ia kemudian menuangkan bubur hangat itu ke dua mangkuk kecil yang ia keluarkan dari dalam cincin ruangnya. Uap lembut mengepul di udara, aroma daging dan rempah memenuhi gua. Boqin Changing menyerahkan satu mangkuk kepada Gao Rui.
“Makanlah. Tak ada guna berterima kasih kalau kau belum pulih sepenuhnya.”
Gao Rui menerimanya dengan kedua tangan, matanya menatap bubur itu seolah masih tak percaya dengan apa yang ia alami. Ia lalu bertanya dengan nada ragu.
“Senior… bagaimana mungkin kau bisa hidup sesantai ini? Kau tampak seperti… tak terbebani apa pun. Padahal dunia di luar sana begitu keras.”
Pertanyaan itu membuat Boqin Changing terdiam sesaat. Ia menatap uap yang naik dari mangkuknya, lalu tersenyum tipis. Senyum yang kali ini terasa lebih manusiawi daripada biasanya.
“Sesantai ini, ya?” gumamnya pelan. “Mungkin karena beberapa tahun terakhir… bukan tahun yang mudah bagiku.”
Ia mengangkat pandangannya ke arah mulut gua, menatap sinar matahari yang masuk perlahan, seolah sedang melihat sesuatu yang jauh melampaui waktu.
“Aku melihat dan banyak ikut campur dalam berbagai hal.” ucapnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Jadi… mungkin sekarang aku hanya butuh waktu untuk sedikit bersantai. Dunia ini terlalu bising kalau terus dipikirkan.”
Gao Rui menatapnya tanpa berkata-kata. Ada sesuatu dalam nada suara Boqin Changing yang membuat dada terasa berat, sebuah kelelahan yang tidak berasal dari tubuh, melainkan dari hati yang sudah terlalu lama berjuang.
Boqin Changing lalu menoleh padanya lagi, kali ini dengan ekspresi datar tapi lembut.
“Kau tahu, Bocah.” katanya, “kadang yang paling sulit bukan bertarung melawan orang lain, tapi melawan diri sendiri. Dan terkadang… satu mangkuk bubur panas di pagi hari lebih berguna daripada sepuluh pedang yang hebat.”
Ucapan itu membuat Gao Rui terdiam cukup lama. Ia menunduk, menatap bubur di tangannya, lalu tersenyum kecil.
“Aku… mengerti, Senior.”
Boqin Changing meneguk buburnya perlahan, lalu menghela napas panjang.
“Selanjutnya apa yang akan kau lakukan?”
Gao Rui terdiam cukup lama, seolah pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab. Ia menatap bubur di tangannya, lalu meneguknya perlahan sebelum akhirnya membuka suara.
“Aku… akan kembali ke sekteku.” katanya lirih, meski matanya tampak ragu. “Bagaimanapun juga, itu satu-satunya tempat yang kuanggap rumah.”
Boqin Changing menghentikan gerakannya. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk, lalu ia menatap Gao Rui dengan sorot dingin namun mengandung nada geli. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis.
“Kembali ke sektemu?” ia mengulang perlahan, seolah mengecap kata-kata itu. “Untuk apa? Agar kau bisa dirundung kembali oleh para murid yang lebih kuat? Atau agar tetua-tetua di sana kembali berpura-pura tidak melihatmu saat kau dipermalukan?”
Nada suaranya tenang, tapi setiap katanya seperti bilah tajam yang menembus jantung Gao Rui. Pemuda itu menunduk, tak mampu membalas.
“Aku…” suaranya tercekat, “Aku hanya berpikir mungkin kali ini akan berbeda. Aku sudah selamat dari maut, mungkin… itu pertanda untuk mulai lagi dari awal.”
Boqin Changing tertawa kecil. Tawa yang tanpa emosi, hanya berupa hembusan dingin dari dada.
“Berpikir naif seperti itu hanya akan membuatmu terluka lagi, Bocah.” Ia meletakkan mangkuknya di atas batu, menatap lurus pada Gao Rui. “Kau kira sektemu akan menyambutmu dengan hangat hanya karena kau selamat? Dunia ini tak berubah hanya karena seseorang menderita. Kebanyakan sekte tidak peduli pada yang lemah. Mereka hanya menghormati hasil, bukan prosesnya.”
Ia berdiri perlahan, melangkah ke arah mulut gua. Angin pagi menerpa jubahnya, membuat rambutnya sedikit berkibar.
“Lagipula,” lanjutnya tanpa menoleh, “apa gunanya kembali ke sekte kalau hanya untuk berlatih sendirian di sudut terpencil? Kau sendiri sudah tahu, mereka tak akan mengajarkanmu apa pun. Mereka hanya menganggapmu beban.”
Suara Boqin Changing terdengar datar, tapi di dalamnya tersimpan nada getir yang samar. Gao Rui merasakan dadanya semakin menyesak, tapi masih berusaha berkata,
“Aku… tidak punya tempat lain untuk pergi, Senior. Sekte itu satu-satunya tempatku sejak guruku meninggal. Aku juga tidak punya keluarga.”
Boqin Changing menatap langit gua sebentar, lalu berbalik dengan pandangan tajam.
“Dan tidak ada tetua lain di sektemu yang mengangkatmu sebagai murid sepeninggal gurumu?” tanyanya dengan nada tajam tapi heran. “Tidak satu pun?”
Gao Rui menggeleng pelan.
“Tidak ada. Aku pernah mendengar beberapa tetua berminat mengajariku. Namun murid-murid mereka menentangnya.”
Boqin Changing menatapnya lama, lama sekali hingga suasana di dalam gua menjadi sunyi.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Jadi kau bertahan bukan karena ingin menjadi kuat… tapi karena tidak tahu ke mana lagi harus pergi.”
Nada suaranya kini lebih lembut, tapi tetap mengandung sesuatu yang dalam, seolah ia sedang berbicara kepada dirinya di masa lalu.
Ia berjalan mendekat.
“Kalau begitu, jangan buru-buru kembali.” ujarnya tenang. “Dunia ini luas, Bocah. Sekte bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Kadang… jalan terbaik dimulai dari luar tembok tempat kau dibesarkan.”
Gao Rui menatap Boqin Changing dengan mata yang penuh kebingungan.
“Apakah Senior… pernah mengalami hal yang sama?”
Boqin Changing tersenyum samar, tapi kali ini senyumnya mengandung sesuatu yang tak terucap, sebuah luka lama yang tak lagi berdarah.
“Pernah,” jawabnya singkat. “Dan itu sebabnya aku mungkin mengerti perasaanmu.”
Boqin Changing menatap wajah Gao Rui dalam diam cukup lama. Tatapan itu bukan sekadar pengamatan, melainkan seolah menembus lapisan waktu dan kenangan yang telah lama terkubur. Cahaya pagi yang menyorot dari celah batu membuat wajah Gao Rui tampak lebih jelas, garis rahangnya, sorot matanya yang jujur, bahkan cara ia menatap balik dengan sedikit gugup.
Setelah beberapa saat, Boqin Changing tersenyum tipis, lalu berkata pelan.
“Wajahmu… mirip dengan seseorang yang pernah aku kenal.”
Gao Rui tampak heran.
“Seseorang… yang Senior kenal?”
Boqin Changing mengangguk, pandangannya sedikit menerawang.
“Ya wajahnya mirip denganmu. Bedanya,” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Gao Rui lebih dalam. “wajahmu tampak lebih muda darinya. Seolah aku sedang melihat versi dirinya dalam fisik muda yang lebih lemah.”
Ucapan itu membuat udara di gua terasa hening. Suara burung di luar seolah ikut berhenti. Gao Rui menelan ludah, lalu bertanya hati-hati,
“Apakah orang itu… kuat?”
Boqin Changing tertawa kecil, tapi tawa itu tak mengandung keriangan sama sekali. Lebih seperti helaan napas panjang dari seseorang yang lelah mengenang masa lalu.
“Apakah dia kuat, ya…?” Ia menatap ujung jarinya, lalu menatap langit-langit gua dengan sorot mata yang sayu. “Mungkin orang itu bahkan lebih kuat dariku.”
Gao Rui terdiam, menatapnya dengan mata membulat. Ia sulit membayangkan seseorang bisa lebih kuat dari Boqin Changing. Sosok yang bisa terbang, mengobati luka parah, dan berbicara seolah memahami rahasia hidup itu sendiri.
Gao Rui menatap sosok di depannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kekaguman, tapi juga rasa iba seolah pemuda itu sedang memikul kenangan yang terlalu berat untuk dibicarakan.
Boqin Changing tersenyum tipis lagi tanpa menoleh.
“Jangan terlalu serius menatapku begitu, Bocah. Aku hanya melihat masa lalu di wajahmu, itu saja.”
“Apakah…” Gao Rui ragu sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Apakah orang itu masih hidup?”
Boqin Changing tidak langsung menjawab. Ia menatap api di depannya, dan dalam pantulan nyala merah itu, matanya tampak sedikit redup.
“Entahlah,” katanya akhirnya dengan suara yang hampir seperti bisikan. “Mungkin masih hidup… atau mungkin hanya tinggal di dalam ingatan seseorang seperti aku.”
Gao Rui menunduk. Hatinya bergetar, entah karena simpati atau karena firasat bahwa cerita yang ia dengar barusan bukan sekadar kisah tentang orang lain, melainkan tentang Boqin Changing sendiri.
Namun ia tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya memandang punggung Boqin Changing yang disinari cahaya matahari, dan dalam hati berbisik lirih.
“Orang seperti Senior… pasti pernah terluka lebih dalam dari siapa pun.”
Boqin Changing menoleh sedikit, senyum samar masih terukir di wajahnya.
“Sudahlah, habiskan buburmu sebelum dingin,” katanya tenang.
Boqin Changing menatap api yang mulai meredup, lalu perlahan memejamkan mata. Dalam keheningan gua itu, seolah waktu ikut berhenti. Bayangan masa lalu kembali menari di pelupuk matanya, bayangan seorang pria berambut panjang, berdiri tegak di antara hujan darah dan debu pertempuran.
Zhi Shen. Nama itu kembali menggema di dalam pikirannya. Pengikut pertamanya. Orang yang paling setia, sekaligus tombak terdepan dalam setiap perang besar yang ia hadapi.
Boqin Changing masih bisa mengingat jelas bagaimana pertama kali ia bertemu pria itu. Ia menatap dunia dengan keberanian luar biasa. Zhi Shen dengan kemampuannya tidak pernah mengecewakannya.
Ia bertarung tanpa rasa takut. Menyerbu barisan musuh tanpa ragu. Hingga akhirnya, Zhi Shen menjadi pendekar tombak paling disegani di bawah bendera Boqin Changing.
Boqin membuka matanya perlahan, tatapannya kosong menembus dinding batu gua yang lembab. Dalam diam, ia masih bisa mendengar ucapan terakhir Zhi Shen sebelum kembali ke masa lalunya.
"Jika Anda pergi, kami semua mungkin akan lenyap. Ingatan tentang kami, mungkin juga akan ikut menghilang di pikiran anda, Tuan.”
Boqin Changing menunduk dalam-dalam. Setelah sekian lama, kata-kata itu masih menancap di dadanya seperti tombak yang tak bisa dicabut. Nyatanya setelah berhasil kembali ke masa lalunya, ingatannya tentang para pengikutnya ternyata tidak hilang.
Saat ini di hadapannya, duduk seorang pemuda bernama Gao Rui, dengan wajah, tatapan, bahkan garis senyum yang nyaris sama dengan Zhi Sen. Andaikan ia lebih tua, wajah Gao Rui mungkin akan benar-benar mirip dengan pengikut pertamanya itu.
Boqin Changing menarik napas pelan, mencoba menyingkirkan bayangan itu, tapi gagal.
“Zhi Shen…” gumamnya tanpa sadar. “Apakah mungkin dunia ini benar-benar berputar untuk mempertemukan kembali jiwa-jiwa lama?”
Gao Rui menatapnya bingung.
“Senior? Tadi kau bilang sesuatu?”
Boqin Changing menggeleng perlahan, senyumnya samar tapi matanya masih menyimpan sisa nostalgia.
“Tidak, hanya berbicara pada angin.”
Ia berdiri, merapikan jubahnya, lalu menatap keluar gua. Cahaya pagi kini telah sepenuhnya masuk, menghangatkan batu-batu lembab di sekeliling mereka.
“Gao Rui,” katanya tanpa menoleh, “apakah kau ingin bertambah kuat?”
Gao Rui terdiam, lalu mengangguk perlahan.
“Tentu, Senior.”
Boqin Changing menatap langit gua sebentar, lalu menambahkan dengan nada lirih.
“Jika kau mau, aku bisa mengajarimu.”
Ucapan itu menggantung di udara, dibawa angin keluar dari gua bersama aroma tanah basah dan embun pagi.