Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror Beruang di Sudut Senja
Rroooaaarrr..!
Suara itu bergema, liar, memenuhi udara sore yang lembap. Disusul teriakan manusia, parau dan penuh ketakutan. Dari kejauhan, suara itu seolah mengiris hati siapa pun yang mendengarnya.
Anul, yang baru saja melewati jalan setapak menuju desa, mendadak menghentikan langkah. Alisnya berkerut. Itu bukan suara biasa. Bukan sekadar binatang liar di hutan.
Ia menajamkan pendengarannya, menutup mata, lalu mencari arah datangnya suara. Tenggara. Tanpa ragu, ia segera berlari, tubuh mudanya meliuk di antara pepohonan. Nafasnya stabil meski kakinya menghentak tanah secepat kuda.
Di desa, binatang buas jarang sekali bisa menembus penjagaan. Warga desa selalu bergantian menjaga perbatasan hutan. Setiap ada ancaman, biasanya segera dihabisi sebelum mencapai pemukiman. Tetapi kali ini jelas ada kelengahan. Satu celah kecil, cukup bagi seekor pemangsa haus darah menyelinap masuk.
Dan celah itu kini berubah jadi bencana.
Beberapa ratus meter kemudian, pandangan Anul menangkap pemandangan mengerikan, seekor beruang besar berdiri tegak di tengah tanah lapang, bulu cokelatnya kusut berlumuran darah.
Hewan itu tampak lebih seperti iblis hutan daripada binatang biasa. Kukunya panjang, hitam, dan berkilat tajam seperti bilah besi. Matanya merah menyala, liar, seolah hanya mengenal satu hal—membunuh.
Di hadapannya, tiga manusia berusaha bertahan. Seorang pria tua berambut putih, tubuhnya rapuh, berdiri dengan tangan gemetar melindungi seorang gadis remaja yang bersembunyi di belakangnya. Di depan mereka, seorang pria dewasa berusaha menghadang beruang itu dengan tubuhnya sendiri.
Pertarungan yang tak seimbang sudah berlangsung. Nafas pria dewasa itu terengah, keringat bercucuran bercampur dengan darah yang menetes dari dadanya.
Beruang itu meraung lagi, kemudian mengayunkan cakar kirinya. Udara terbelah, suara cakarnya mengeluarkan deru tajam seolah menembus ruang. Pria itu mencoba menghindar dengan mencondongkan tubuh ke belakang dan memutar sedikit ke kiri. Gerakannya cepat, tapi tidak cukup cepat.
Srakkk!
Kuku raksasa itu menyambar, merobek kain bajunya dan meninggalkan luka panjang di dadanya. Darah segar segera mengalir, membasahi pakaiannya.
“Arghh!” teriak pria itu, namun ia tetap berdiri, kedua kakinya mengguncang tanah untuk bertahan.
Beruang itu tidak memberi jeda. Dengan kecepatan mengejutkan, ia mengayunkan cakar kanan, kali ini mengarah langsung ke kepala. Serangan itu lebih cepat, lebih mematikan. Pria itu tak punya pilihan. Ia mengangkat tangan kanannya, mencoba menangkis.
Dumm!
Benturan keras terdengar ketika cakar beruang menghantam tangan manusia. Tulang retak seketika. Tangannya patah, tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang, membanting tanah dengan keras.
“Ughhh—!”
Pria itu meringis kesakitan. Patah tulang membuat lengan kanannya terkulai tak wajar. Pandangannya berkunang-kunang, napasnya tersengal. Tapi ketika matanya menatap sekilas ke arah ayah dan anak yang ia lindungi, tekadnya memaksa dirinya bangkit lagi. Dengan tubuh gemetar, ia menegakkan kaki, meski langkahnya goyah.
Beruang itu maju perlahan, setiap langkahnya menghentak bumi. Getaran kecil merambat di tanah, menyalurkan rasa ngeri ke tubuh mereka yang masih sadar. Nafas panas keluar dari hidungnya, menimbulkan kabut tipis bercampur dengan bau amis darah.
Pria tua itu hanya bisa memeluk cucunya lebih erat. Gadis itu menangis terisak, wajahnya pucat, tubuhnya kaku. Dunia di depan mata mereka serasa menyempit, hanya menyisakan bayangan kematian yang mendekat.
Pria dewasa itu mencoba melawan rasa sakit, mencoba berdiri di hadapan mereka. Tapi tubuhnya sudah terlalu rusak. Kaki gemetar, tangan menggantung, darah menetes deras ke tanah. Ia seperti lilin yang tinggal menunggu padam.
Beruang itu mendekat. Taringnya terlihat jelas, besar dan tajam, mengkilap oleh liur. Suara raungannya bagai guntur, membuat dada bergemuruh. Rasa takut menekan jiwa ketiga manusia itu, membuat waktu seolah berjalan lambat.
Mereka merasa inilah akhir. Tidak ada harapan.
Namun pada detik itulah, sesuatu terjadi.
Beruang besar itu tiba-tiba terhuyung. Matanya membelalak, kemudian tubuhnya jatuh ke depan dengan suara berat. Bumi berguncang kecil saat tubuh raksasa itu menghantam tanah. Debu berhamburan, darah muncrat ke samping.
Ketiga orang itu terpaku. Mereka tidak paham apa yang terjadi. Hingga perlahan pandangan mereka menangkap sosok lain—seorang pemuda, berdiri di belakang bangkai beruang dengan tangan terkepal, wajahnya masih tenang.
Mereka ternganga. Bagaimana mungkin? Seekor beruang sebesar itu, hanya dengan satu pukulan roboh tanpa nyawa? Lebih tak masuk akal lagi, yang melakukannya hanyalah seorang bocah yang mereka kenal. Bocah yang tak pernah terlihat berlatih bela diri, bocah biasa yang harusnya tak mampu menghadapi seekor anjing liar sekalipun.
Anul hanya menyeringai, menggaruk kepalanya yang gatal.
“Hehe, maaf, Paman Hendar. Aku tak bermaksud mengganggu latihanmu. Perutku sangat lapar, jadi kupukul saja beruang ini. Dagingnya kelihatannya lezat, bukan?”
Kata-kata itu terdengar polos, tapi bagi ketiga orang itu terasa seperti pisau menusuk dada.
"Latihan? Pertarungan hidup dan mati ini dianggap latihan? Lebih parah lagi, anak ini melihat beruang ganas hanya sebagai makanan?"
Paman Hendar, pria yang tangannya patah, mendengar kata-kata itu, dan darah segar muncrat dari mulutnya. Bukan semata karena luka, tetapi karena mentalnya remuk. Puluhan tahun ia mengasah jurus bela diri, tapi hampir mati melawan beruang itu. Sementara bocah di depannya meninju sekali saja dan semuanya selesai.
Tubuhnya terhuyung, matanya kabur.
“Kamu… bocah ini…” katanya lirih, sebelum akhirnya pingsan, tubuhnya jatuh dengan posisi kaku. Kedua tangannya terlipat aneh, jari-jarinya menggenggam kosong, mulutnya berbusa, mata melotot memperlihatkan bagian putihnya. Darah terus menetes dari luka di dadanya.
“Anul, kamu tidak apa-apa?” suara lembut terdengar. Gadis remaja itu, yang sebelumnya menangis ketakutan, kini memberanikan diri melangkah bersama kakeknya mendekat.
“Tentu saja tidak,” jawab Anul ringan. “Aku kan lapar. Mana ada orang lapar yang baik-baik saja?”
Jawaban itu membuat mereka terdiam lagi. Wajah polos bocah ini benar-benar tidak masuk akal.
Tanpa banyak bicara, Anul lalu menunduk, memanggul tubuh besar beruang yang barusan ia bunuh, dan berbalik untuk pulang. Wajahnya tampak riang, seolah baru saja menemukan rezeki nomplok.
Kakek dan cucunya hanya berdiri, menatap punggungnya yang menjauh. Suasana hening, hanya suara napas berat mereka sendiri. Setelah beberapa lama, kakek itu bergumam pelan.
“Satu tinju, satu nyawa… Anak itu… Jika saja ia mau berlatih bela diri, bahkan kepala desa sekalipun takkan sebanding.”
Cucunya menatap penuh kebingungan. “Kakek… apakah Anul benar-benar sekuat itu?”
Kakek itu hanya terdiam, matanya menatap jauh ke arah kepergian Anul. Tetapi kemudian, sesuatu membuat mereka tersadar. Mereka saling berpandangan, seolah ada yang terlupa.
Dan seketika, tubuh mereka berbalik bersamaan.
“Ayah!”
“Hendar!”
Mereka berlari, menghampiri Hendar yang tak sadarkan diri, masih dengan posisi yang sebelumnya.
Pertarungan dengan beruang itu berakhir, tapi kengerian yang tertinggal tidak hilang. Justru semakin terasa. Mereka tahu, ada kekuatan lain yang jauh lebih menakutkan, bersemayam di tubuh seorang bocah bernama Anul.