Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jakarta
Tujuh tahun telah berlalu. Misha melangkah keluar dari gerbang penjara dengan napas tertahan. Udara bebas yang selama ini ia rindukan terasa begitu asing, begitu menyegarkan. Tubuhnya terasa ringan, meski hatinya masih menyimpan beban berat. Ia mengenakan gamis sederhana, rambutnya yang dulu panjang kini dipotong sebahu. Wajahnya tidak lagi pucat, namun tatapan matanya masih menyiratkan kesedihan.
"Misha, kamu baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya, mantan sipir yang selama ini menjadi teman ceritanya.
Misha tersenyum tipis. "Saya baik, Ibu."
"Apa rencanamu sekarang?"
Misha menoleh ke arah jalan raya yang ramai. "Saya... saya mau mencari tahu kabar Radit."
Sipir itu mengangguk mengerti. "Semoga kamu bisa menemukannya. Saya doakan yang terbaik untukmu."
Misha memeluk wanita itu erat, lalu melambaikan tangan. Ia berjalan ke pinggir jalan, membiarkan dirinya tenggelam dalam kebisingan kota Padang yang sudah banyak berubah. Banyak gedung-gedung baru, jalanan yang lebih ramai, dan suasana yang jauh berbeda dari tujuh tahun yang lalu. Ia menaiki sebuah taksi, hatinya berdebar tak karuan.
"Ke mana, Bu?" tanya sang sopir.
Misha terdiam sejenak. "Ke... Jalan Kenanga, Pak."
Setibanya di sana, Misha merasakan nyeri di dadanya. Rumah yang dulu mereka tinggali kini terlihat usang, tidak terawat. Pagar besi yang dulu dicat rapi, kini berkarat. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Ia mendekat, mencoba mengintip dari balik pagar, namun yang ia temukan hanyalah kehampaan. Radit tidak ada di sana.
"Apakah Bapak pemilik rumah ini?" tanya Misha pada seorang pria yang sedang menyapu halaman tetangga.
Pria itu menoleh. "Bukan, Bu. Rumah ini sudah kosong sejak lama. Katanya pemiliknya jadi buronan."
Hati Misha mencelos. Ia tahu, kabar itu pasti tentang Radit. "Apakah... apakah Bapak tahu ke mana dia pergi?"
Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak tahu, Bu. Yang saya tahu, istrinya masuk penjara karena kasus suaminya."
Misha menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia berterima kasih, lalu kembali ke taksi. Selama perjalanan, ia mencoba mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah ia lalui bersama Radit. Namun, bayangan itu selalu berujung pada malam hujan yang kelam, saat Radit meninggalkannya sendirian.
Taksi berhenti di sebuah area pemakaman yang tenang. Misha turun dari mobil, hatinya dipenuhi harapan. Ia ingin memastikan bahwa putranya tidak terlupakan. Ia berjalan menyusuri barisan nisan, mencari nisan kecil bertuliskan 'Anakku Tercinta'. Saat ia menemukannya, sebuah kejutan menantinya.
Ada sebuah vas bunga kecil di samping nisan, berisi bunga-bunga segar. Misha membelai nisan itu, air matanya menetes. "Kamu tidak sendirian, Nak," bisiknya. "Ayahmu... Ayahmu pasti masih mengingatmu."
****
Langkah kaki Misha terasa berat saat menyusuri jalan setapak menuju sebuah rumah sederhana di pinggir desa. Rumah itu terasa asing baginya, meski dulu ia sering berkunjung ke sana. Setelah tujuh tahun, semua terasa berbeda. Hati Misha dipenuhi kegelisahan, namun ia memberanikan diri. Di tangannya, sebuah tas berisi pakaian dan sedikit uang saku. Ia ingin memulai hidup baru di sini, di desa ini, dekat dengan makam putranya.
Ia berhenti di depan gerbang kayu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuknya. "Assalamualaikum..." ucap Misha pelan.
Tidak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih berdiri di ambang pintu. Itu adalah Juleha, ibu mertua Misha. Wajahnya yang keriput nampak tegang, mata cokelatnya menatap tajam, seolah sedang menghakimi Misha.
"Waalaikumsalam," jawab Juleha dingin. "Ngapain kamu ke sini?"
Misha menunduk, tidak berani menatap mata mertuanya. "Saya... saya mau silaturahmi, Bu."
Juleha mendengus sinis. "Silaturahmi? Setelah tujuh tahun kamu menghilang, baru sekarang kamu datang? Saya pikir kamu sudah lupa jalan pulang."
Hati Misha terasa perih, namun ia mencoba tegar. "Saya... saya baru saja keluar dari penjara, Bu."
Ekspresi Juleha tidak melunak. Ia menatap Misha dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Penjara? Pantas saja. Apa kamu pikir setelah keluar dari penjara, kamu bisa datang seenaknya dan menghancurkan hidup anak saya lagi?"
"Tidak, Bu! Saya tidak bermaksud begitu!" Misha membela diri, suaranya bergetar. "Saya hanya... saya hanya ingin bertemu Radit."
Mendengar nama Radit, Juleha tertawa pahit. "Radit? Untuk apa kamu mencari dia? Dia sudah bahagia sekarang. Dia sudah jauh dari sini."
"Radit tidak ada di sini. Dia sudah pindah ke Jakarta. Dia sudah memulai hidup baru di sana. Dia tidak butuh kamu lagi."
Dunia Misha terasa runtuh untuk kedua kalinya. Ia datang ke sini dengan harapan bisa berdamai dengan masa lalu, dengan harapan bisa kembali bersama Radit.
****
Hari-hari Misha di desa Mertuanya berjalan lambat. Ia menghabiskan waktu dengan bekerja keras di pasar, membantu pedagang apa saja. Ia tidak pernah mengeluh. Di bawah terik matahari, Misha menyapu, mengangkat barang, dan melayani pembeli. Ia menyimpan setiap rupiah yang ia dapatkan, dengan satu tujuan: pergi ke Jakarta. Ia harus menemukan Radit, suaminya. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Radit benar-benar masih hidup.
Setelah berbulan-bulan bekerja, uangnya terkumpul. Sebuah amplop lusuh berisi lembaran-lembaran uang ia genggam erat di tangannya. Uang itu tidak banyak, namun cukup untuk ongkosnya ke Jakarta dengan bus. Ia berpamitan dengan Juleha, mertuanya.
Perjalanan ke Jakarta terasa sangat panjang. Bus melaju membelah malam, meninggalkan gemerlap lampu kota Padang di belakang. Sepanjang perjalanan, hanya ada Radit di benak Misha. Pikirannya melayang, mengingat kembali kenangan pahit yang tak terlupakan. Bayangan Radit yang menghilang di tengah hujan, tangisnya saat divonis hakim, dan makam yang ia lihat di pemakaman.
"Mas... kamu di mana?" bisik Misha pada dirinya sendiri. "Apa yang terjadi padamu selama tujuh tahun ini?"
Ia mencoba membayangkan kehidupan Radit di Jakarta. Apakah Radit sudah bahagia seperti yang dikatakan Juleha? Apakah Radit sudah memiliki keluarga baru? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Misha tahu, jawaban yang ia dapatkan mungkin akan menyakitkan, namun ia harus menghadapinya.
2 hari kemudian saat pagi menjelang, bus akhirnya memasuki kota Jakarta. Misha terkesima. Kota ini jauh lebih besar dan lebih ramai dari yang ia bayangkan. Gedung-gedung pencakar langit, jalanan macet, dan hiruk pikuk manusia membuat Misha merasa kecil dan tersesat. Ia menuruni bus dengan langkah ragu.
****
Panas terik Jakarta menyengat kulit Misha, seolah menyambut kedatangannya dengan kejam. Ia berdiri kebingungan di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Ribuan orang berlalu-lalang, kendaraan bersahutan, dan debu bertebaran. Ia merasa sangat kecil di tengah keramaian itu. Misha memeluk erat tasnya, satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Pikirannya kosong, bingung harus melangkah ke mana.
Tiba-tiba, sebuah motor melaju pelan di sampingnya. Misha tak curiga, ia masih sibuk mengamati papan-papan petunjuk arah. Namun, secepat kilat, seorang pria yang duduk di boncengan langsung menarik tas dari genggaman Misha.
"Hei!" Misha berteriak terkejut. Ia tidak mau melepaskan tasnya, tas yang berisi uang hasil jerih payahnya selama ini.
Jambret itu terkejut dengan perlawanan Misha. Ia tidak menyangka wanita itu akan sekuat itu. Ia menarik tasnya dengan kuat, sedangkan Misha mati-matian mempertahankan miliknya. "Lepasin, Mbak! Mau mati lo?!" bentak si jambret.
"Tidak! Ini milikku! Jangan ambil!" teriak Misha, air mata mulai mengalir.
Motor itu menarik gasnya, dan Misha yang tidak melepaskan tasnya ikut terseret. Ia terjatuh, kakinya terseret aspal yang panas. Misha memejamkan mata, merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia tahu, ia harus melepaskan tasnya, namun hati kecilnya menolak. Ia tidak mau kehilangan satu-satunya harapan yang ia miliki. Ia terus mempertahankan tasnya, hingga akhirnya, benang tas itu putus, dan ia terpelanting ke aspal.