NovelToon NovelToon
Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Nclyaa

Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.

Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hadiah yang tak diminta

Setelah mendengarkan curahan hati Asha, ketiganya memilih diam sejenak, membiarkan udara malam masuk melalui jendela yang terbuka. Suasana kamar mereka lengang, hanya suara angin yang menyelusup pelan di antara celah tirai dan detik jarum jam yang terus berdetak. Bingkisan dari Ustadz Alam yang tadi sempat mereka letakkan di atas meja kecil, kini menarik perhatian.

"Ayo buka bareng aja," ucap Rayna ringan, berusaha mencairkan suasana.

Dengan pelan, Rayna membuka bingkisannya. Disusul oleh Naira. Mereka saling pandang dan tertawa kecil saat melihat isi di dalamnya sepasang abaya hitam, polos namun tampak mahal dan anggun. Kainnya jatuh lemas saat disentuh, menunjukkan kualitas yang tidak main-main.

"Maa Syaa Allah... lumayan banget ini buat lebaran nanti," ujar Rayna, mencoba bersyukur dengan sederhana.

Naira ikut tersenyum, lalu menoleh ke Asha. Ia melihat Asha yang tidak semangat membuka bingkisannya, kemudian ia mendekat kearah Asha dan menatap bingkisan miliknya, kemudian berkata.

"Sha, buka punyamu juga, pasti samaan kayak kita, yakan Ray?" ucap Naira sembari memberi kode agar Rayna mengiyakan perkataannya.

"Bener Sha, coba buka," ujar Rayna.

Asha ragu sejenak, lalu menarik nafas dan meraih kotak bingkisannya. Ia baru menyadari, kotaknya sedikit lebih kecil dan berbeda warna, tidak berbungkus kain hitam seperti milik Rayna dan Naira, melainkan coklat keemasan dengan pita satin tipis. Perlahan, ia membukanya. Di dalamnya, tergolek sebuah gelang kecil berwarna perak, sederhana namun tampak mahal. Di sampingnya, sebuah jam tangan mungil, desainnya minimalis tapi elegan, seolah dipilih dengan sengaja untuk seseorang sepertinya.

Sesaat Asha hanya menatapnya, tanpa menyentuh apa pun. Udara terasa lebih dingin di kulitnya, ia benar-benar bisa menebak apa yang akan ada di pikiran orang-orang jika tahu benda tersebut diberikan oleh ustadz Alam.

Rayna dan Naira menyadari ekspresi Asha yang membeku. Mereka menukar pandang, tahu persis apa yang sedang dirasakan Asha. Ini bukan pertama kalinya Asha mendapat perlakuan berbeda. Bahkan dulu, saat dapur mereka direnovasi tiba-tiba oleh Ustadz Alam, alasannya bukan karena ingin mempercantik rumah, tapi karena lubang besar di dinding yang pernah menjadi jalan bagi seorang pria mengintip Asha dari luar.

Sejak saat itu, perhatian berlebihan Ustadz Alam terhadap Asha menjadi lebih kentara. Selalu Asha yang ditanya duluan, Asha yang disuruh mewakili bicara, Asha yang dipuji bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu. Rayna dan Naira awalnya berpikir itu hanya bentuk kekaguman biasa, tapi lama-lama, terasa berbeda. Terlalu sering, dan terlalu personal.

Asha memandang jam tangan di dalam kotak itu dengan tatapan kosong. Benda yang seharusnya menjadi bentuk penghargaan, justru terasa seperti rantai. Hadiah yang membuatnya kembali mempertanyakan, Kenapa hanya aku?

"Gelang sama jam tangan?" gumam Naira pelan, mencoba mengisi keheningan. Namun nada suaranya terdengar seperti pertanyaan, bukan pujian.

Rayna berdeham pelan. "Sha... kalo kamu nggak nyaman, jangan dipake aja," katanya, lembut.

Asha tersenyum tipis, lebih karena tak ingin suasana semakin berat. Tapi tak ada yang bisa menutupi sorot matanya yang suram.

Namun kata-kata itu lebih terasa seperti formalitas. Tak ada kelegaan, tak ada rona bahagia. Hanya ada Asha, duduk di antara dua sahabatnya, menggenggam benda yang seharusnya menjadi bentuk apresiasi, tapi justru menambah beban pada hati yang belum sembuh.

"Udah yok, tidur aja," ajak Asha, kemudian menyimpan kembali 2 benda tersebut ke tempat semula.

Kedua temannya mengiyakan, kemudian kembali ketempat tidur masing-masing dan segera mengistirahatkan matanya. Berhubung besok mereka harus bangun lebih pagi untuk membangunkan anak-anak, dan membantu ibu dapur menyiapkan sahur.

Skip beberapa hari kemudian

Beberapa hari berlalu begitu saja, kesibukan di bulan Ramadhan mengalir dengan ritmenya sendiri, dan ketiga gadis itu bergantian membantu ibu dapur menyiapkan takjil untuk para santri dan para guru. Seringkali mereka ikut berbuka bersama di masjid, duduk dalam barisan panjang bersama para pengajar dan anak-anak yang mereka dampingi setiap hari. Suasana penuh kekeluargaan terasa hangat, meskipun di antara tawa dan obrolan ringan, ada satu hati yang masih menyimpan ganjalan.

Hingga pada suatu malam selepas shalat tarawih, suasana berubah. Saat orang-orang mulai meninggalkan masjid, Asha tiba-tiba dipanggil oleh Ustadz Alam untuk datang ke kantor pribadinya. Panggilan yang tiba-tiba itu membuat dadanya terasa sesak. Ia menimbang-nimbang untuk menolak, namun adab mencegahnya.

Saat Asha berjalan dari masjid menuju ke kantor pribadi Ustadz Alam, ia bertemu dengan Ustadz Nael dan Ustadz Fahmi yang sedang mengobrol tepat di depan pintu kantor Ustadz Alam. Ia membungkuk sedikit saat melewati keduanya, kedua mata Asha sempat bersitatap dengan Ustadz Nael, namun segera Asha palingkan.

Tok Tok Tok

Sesampainya di depan pintu kayu kantor itu, Asha mengetuk pelan. Suara dari dalam mempersilahkannya masuk. Ustadz Alam duduk di belakang mejanya, terlihat tenang namun tatapannya mengintimidasi.

"Kenapa lama banget ustadzah Asha?" pertanyaan itu seperti sedang menginterogasi dirinya.

"Afwan ustadz, tadi saya minta ustadzah Sarah pulang duluan aja, kasian anak-anak kalo harus nunggu saya dulu," jawab Asha sesopan mungkin.

Ustadz Alam menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, matanya menatap Asha secara intens, kemudian menatap kearah meja di depannya. Di atas meja, ada sebuah kotak hadiah berhias pita biru muda terlalu mencolok di antara tumpukan buku dan map dokumen.

"Kalo boleh tanya, ada keperluan apa antum , panggil saya malam-malam begini ustadz?" tanya Asha dengan nada sopan, tapi suaranya terdengar kaku.

Alih-alih menjawab langsung, Ustadz Alam mengambil kotak hadiah itu. Ia berdiri dari duduknya, kemudian berjalan kearah Asha. Reflek Asha memundurkan tubuhnya, ia khawatir akan ada gosip-gosip lagi diluaran, terlebih pintu ruangan itu tertutup.

"Ini buat ustadzah," katanya datar, tapi penuh maksud. Asha menatap kotak itu ragu, naluri di dalam dirinya berkata bahwa sesuatu tak beres. Namun, sebelum sempat ia menolak, suara Ustadz Alam kembali terdengar kali ini lebih pelan, namun menyelidik.

"Ustadzah Asha dan Ustadz Nael… ada hubungan apa kalo boleh tau?"

Pertanyaan itu menampar batin Asha. Ia terdiam, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lurus ke arah kotak hadiah itu, seolah mencari jawaban, atau mungkin jalan keluar. Suasana di ruangan itu mendadak seperti kehilangan udara, hening, menekan, dan penuh tanda tanya yang tidak seharusnya ada.

Perasaan Asha kembali diaduk. Bukan hanya karena pertanyaan itu terlalu pribadi dan menyakitkan, tapi karena ia tahu, sejak awal, tidak ada maksud baik di balik semua keramahan Ustadz Alam selama ini.

"Afwan ustadz, untuk itu mungkin biar jadi privasi baik untuk saya ataupun ustadz Nael," jawab Asha ramah.

"Na'am, sebelumnya saya mau kasih tau 3 hari lalu saya sowan ke rumah orangtua ustadzah Asha," ucapnya sembari membukakan pintu untuk Asha.

Sementara Asha diam mematung, ia tak bisa berkata apapun. Kali ini dirinya benar-benar merasa bahwa semua orang harus mencampuri urusannya, bahkan orang luar sekalipun. Matanya tiba-tiba memanas, sehingga tanpa sadar pipinya sudah basah oleh airmata nya.

"Jazakumullahu khouron ustadz, saya izin pamit pulang ke sakan," ujar Asha sebelum keluar dari ruangan tersebut.

"Na'am silahkan," balas ustadz Alam, setelah Asha keluar ia segera menutup pintu ruangannya.

Saat keluar dari ruangan ustadz Alam, Asha merasa malu karena para ustadz muda sedang berkumpul mengobrol dan bersenda gurau. Terlebih mereka melihat Asha yang sedang menangis dan terburu-buru, tanpa pamit kepada mereka Asha cepat-cepat pergi dari bangunan tersebut.

"Kenapa? Apa beliau bertindak seenaknya lagi?" batin seseorang menatap kepergian Asha.

1
Takagi Saya
Aku suka gaya penulisanmu, jangan berhenti menulis ya thor!
Nclyaa: Timakaci❤
total 1 replies
°·`.Elliot.'·°
Kreatif banget!
Nclyaa: timakaci ❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!