Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Rumah panti asuhan Kasih Ibu. Bangunan yang terdiri dari dua lantai dengan beberapa ruangan di dalamnya. Memang tidak megah dan tidak banyak fasilitasnya. Namun, di sinilah aku tumbuh besar. Di sinilah aku merasakan bagaimana memiliki keluarga meski tidak sedarah.
Aroma di sini masih sama. Mengingatkan bagaimana saat aku tinggal di sini. Di mana makan dan minum harus mengantri dulu. Bahkan ingin buang air kecil saja harus mengantri lagi.
Belum banyak perubahan. Yang membuat cukup berbeda adalah anak-anak yang tinggal di sini tidak sebanyak dulu. Saat ini mungkin hanya ada tiga puluh anak yang masih di asuh oleh Bu Lia.
"Mbak Heera."
"Santi."
Kami saling berpelukan melepas rindu. Memang sudah lama kita tidak bertemu. Santi sibuk belajar di luar kota dan baru pulang beberapa hari lalu.
"Mbak Heera sudah datang? Ibu sudah menunggu."
Aku mengangguk. "Ini buat adik-adik, San." Aku sengaja membeli beberapa camilan untuk dibagi-bagikan di sini. Hanya ini yang aku bisa saat ini. Andai saja aku bisa, aku ingin memberikan fasilitas yang layak untuk mereka.
"Jadi repot ya Mbak?"
"Nggak kok. Di mana Ibu sekarang?" Santi adalah anak kandung Bu Lia. Sejak kecil kita bermain bersama karena memang Santi tinggal di sini.
"Ikut aku Mbak."
Langkah Santi begitu tergesa. Membuat aku yang baru saja sampai merasa kewalahan. Sampai di luar. Di samping gedung utama ada rumah sederhana dengan sebuah taman kecil di depannya. Dulu, aku sering bermain di taman itu, meski kadang tertusuk duri mawar karena tidak hati-hati.
Suasana sunyi. Hanya sesekali terdengar suara batuk dari Bu Lia. Ya, Bu Lia saat ini terbaring lemah dengan tubuh yang mulai mengurus. Sosok yang sangat berbeda saat beliau sehat.
Bu Lia menepuk kasur di sisi yang kosong. Tentu saja Bu Lia ingin aku duduk di sana. Aku mengangguk paham.
"Mbak temani Ibu dulu ya. Aku masih ada hal lain."
"Iya, San."
Melihat orang yang sudah ku anggap seperti orang tua sendiri terbaring lemah membuatku merasa sakit hati. Meski tidak bisa menangis dan hanya diam menatap wajah tenang itu.
"Kamu datang?" lirih Bu Lia.
"Ya, Bu. Aku di sini."
Bu Lia mengembangkan senyumnya. Perlahan dia mencoba duduk. Baru setelah itu dia menepuk-nepuk tanganku. Matanya tersorot kasih sayang yang selama ini aku rindukan.
"Kamu sudah besar dan hebat. Ibu bangga sama kamu Heera."
"Semua ini berkat Ibu."
"Bukan. Semua ini hasil usahamu."
Meski suaranya tidak begitu keras tapi perhatiannya masih saja sama. Baju gamis sederhana dengan kerudung rumahan tanpa aksesoris. Sangat sederhana seperti sifat Bu Lia.
"Kamu masih mencari orang tua kamu?"
Pertanyaan kali ini membuat aku terdiam. Selama ini aku tidak mengatakan pada siapapun jika aku memilih mencari orang tuaku. Aku ingin melakukannya sendiri sampai akhir.
"Apa sudah ada hasil?"
Aku menggeleng pelan. Sesaat kemudian Bu Lia tertawa pelan. Beliau mengambil sebuah kotak di dalam almari kecil dekat tempat tidurnya. Kotak yang terlihat lusuh dengan namaku yang terukir di sana.
Tidak ada tanya dariku, namun aku menatap kotak itu. Mengira-ira apa yang ada di dalam sana. Petunjuk apa yang aku dapatkan dengan isi dari kotak itu.
"Terimalah."
"Bu."
"Ini milikmu. Di usiamu yang sekarang sudah waktunya kamu tahu. Meski hanya barang ini yang bisa Ibu simpan sampai saat ini."
"Apa Ibu tahu orang tuaku? Kenapa selama ini Ibu hanya diam? Bu, selama ini aku tersiksa karena dianggap tidak memiliki keluarga dan orang tua. Apa ibu tahu perasaanku?"
Bu Lia terbatuk. Aku baru sadar nada suaraku meninggi. Buru-buru aku membantu Bu Lia kembali berbaring.
"Maaf, Bu. Aku emosi."
"Tidak apa. Ibu hanya bisa membantumu sampai di sini. Maaf."
"Jangan meminta maaf, Bu. Aku berterima kasih untuk semuanya Bu."
"Kamu anak yang baik. Semoga apa yang kamu inginkan tercapai."
"Aamiin."
Setelah berpamitan dengan Bu Lia juga anak-anak panti. Aku memutuskan untuk ambil libur kerja hari ini. Aku ingin pulang dan melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Setelah sekian tahun tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kini ada setitik petunjuk yang aku dapat.
*.*.*.*
[ Apa kau tidak datang hari ini? ]
Pesan dari nomor tidak dikenal. Aku memutuskan untuk mengacuhkannya. Lagi pula aku sudah berniat untuk tidak keluar hari ini. Rencananya setelah ini aku akan melihat isi kotak itu.
[ Apa kau sudah tidak butuh uang lagi? ]
Satu pesan kembali masuk dari nomor yang sama.
[ Maaf. Ini siapa? ]
Lima menit kemudian.
[ Mada ]
Kini aku ingat jika aku sudah berjanji akan datang ke apartemennya untuk masak kembali. Kenapa juga aku harus lupa akan hal ini.
[ Maaf. Sepertinya hari ini tidak bisa. Aku ada urusan lain. ]
Benar, aku memilih untuk tetap di rumah meski bayaran itu cukup lumayan bagiku.
Tok. Tok. Tok.
Aku menoleh ke pintu. Entah siapa yang datang sore ini. Padahal aku tidak memiliki janji bertemu dengan siapapun.
"Tuan Mada?"
Aku kaget saat membuka pintu ternyata Mada yang datang. Dia memakai pakaian casual dengan sebuah tas belanja di tangannya. Tetap tampan seperti kemarin. Baru saja dia mengirim pesan dan kini dia berada di depanku.
"Aku ingin makanan yang dibuat olehmu." Mada langsung masuk begitu saja. Duduk di sofa dan meletakkan tas belanja yang dia bawa.
"Aku akan belanja dulu," kataku.
"Tidak perlu. Aku sudah membawanya." Aku melihat ke arah tas belanja itu. Ternyata ada beberapa sayur yang dia bawa. Entah apa yang terjadi pada pria di depanku ini, dia memaksa tapi begitu tenang.
"Tuan bisa menunggu di sini lebih dulu. Aku akan masak."
Mada hanya mengangguk. Membuatku merasa aneh sendiri. Ingin menolak tapi dari caranya menatap sudah berhasil membuatku tidak bisa mengatakan tidak.
Dari barang yang dibawa oleh Mada akhirnya aku membuat tiga menu. Entah enak atau tidak, asal masak dan dia bisa makan baru setelah itu dia bisa pergi. Oseng daging, tumis kangkung, dan tempe goreng.
Selesai sudah tugas memasak hari ini. Aku duduk di seberang Mada sembari menunggunya makan. Padahal ini sore hari, untuk makan malam masih terlalu dini. Sementara makan siang jelas sudah sangat terlewat.
Diam. Hanya ada suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring. Aku tidak ikut makan karena sebelum sampai di rumah aku sudah makan bakso lebih dulu.
Tidak aku sangka masakan sederhana itu akhirnya habis. Mada tersenyum puas setelah menghabiskan makanan itu.
"Apa Tuan sudah selesai?"
"Ya. Kenapa?"
"Hari sudah semakin gelap. Rasanya tidak baik anda terlalu lama di sini."
Entah kenapa aku merasa bersalah setelah mengatakan hal ini. Aku benar-benar tidak tahu caranya mengusir orang. Padahal ini rumahku sendiri.
"Aku akan istirahat sebentar. Setelah itu pergi."
Ya, aku hanya bisa mengangguk setuju. Sementara Mada istirahat di depan TV. Aku mulai membersihkan meja makan dan sekalian mencuci piringnya. Tanpa sadar aku bertanya-tanya siapa Mada sebenarnya.
Jika dilihat dari apa yang dia pakai dan apartemen yang dia tinggali jelas dia bukan orang biasa. Lalu kenapa dia mencariku hanya untuk makanan. Padahal restoran di luar sana banyak yang menyuguhkan hidangan istimewa dengan rasa yang tidak mungkin gagal.