Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 ~ Melamarmu
Bab 18
Zahir menatap Adel melangkah memasuki lift. Skak mat, itu yang dia rasakan. Bagai bumerang, senjata itu kembali pada dirinya dan tidak ada ide untuk menghindar apalagi menolak. Rekaman suara yang dimiliki Adel cukup untuk menjatuhkannya.
Berpikir, Zahir. Jangan sampai wanita itu mengacaukan semua rencana dan cita-citamu. Kalimat itu yang ada dalam benaknya.
“Pak Zahir belum pulang?”
Zahir menoleh, ternyata cleaning service shift malam yang sedang bertugas.
“Pake nanya, ini mau pulang. Kamu kira saya mau tidur di sini. Kamar saya lebih nyaman dibandingkan kantor ini,” sentak Zahir lalu menekan tombol lift dan melangkah saat pintu terbuka.
Entah karena sedang kesal, ia merasa lift berjalan lambat menuruni lantai demi lantai. Akhirnya berhenti di lantai tujuan. Rasanya hari ini lebih menyebalkan dari hari di mana Abi menumpahkan kopi mengenai dirinya.
Mengingat Abi, nyatanya pria itu muncul di hadapan berjalan dari arah berlawanan dan mengangguk pelan, tanpa senyum apalagi menyapa.
“Jangan sok jagoan kamu.”
Abi yang akan melewati Zahir menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Bapak bicara dengan saya?”
“Dengan Setan yang baru saja lewat, eh tapi setannya bisa bicara juga,” ejek Zahir.
Abi mendes4h ada nada mengejek di sana.
“Sepertinya bapak kesetanan.”
Zahir kesal karena Abi berani menjawabnya. Emosi yang sejak tadi ditahan tidak dapat dibendung. Mendorong kasar dada Abi.
“Wow, santai pak,” ucap Abi.
“Berurusan denganmu tidak bisa santai,” balas Zahir.
“Sebenarnya kita tidak ada urusan, tapi bapak yang cari urusan dengan saya.”
Zahir terkekeh, entah mengapa ia begitu membenci Abi bahkan tanpa alasan yang jelas. Seakan ingin bersaing dengan pria itu. Padahal masalah jabatan jelas Zahir lebih baik.
“Abimanyu, jangan banyak tingkah. Aku bisa buat kamu dipecat dan sulit cari pekerjaan. Kamu hanya anak sebatang kara, ibumu sudah pergi dan tidak jelas siapa ayahmu,” tutur Zahir.
Sudah membaca identitas Abimanyu dari profil karyawan di sistem perusahaan. Padahal data yang ada bukan data sebenarnya.
“Jangan-jangan kamu anak haram. Entah siapa ayahmu sebenarnya, mungkin saja ibumu tidak tahu siapa ayahmu,” ejek Zahir menatap sinis.
Wajah Abi yang tadinya datar perlahan berubah tegang dengan tatapan terfokus pada Zahir. Kedua alis berpusat ke tengah menunjukkan ekspresi kemarahan. Rahangnya mengeras dan nafas terengah menahan amarah. Tidak suka ada orang menghina orangtuanya, terutama wanita yang sudah melahirkannya.
Refleks tangan Abi langsung terayun dan berakhir di wajah Zahir.
“Anj1ng,” pekik Zahir yang terkejut dan memegang pipinya yang terhantam kepalan tangan Abi.
“Lo yang anj1ng,” sentak Abi dan kembali menghantam wajah Zahir.
Keduanya sudah terlibat baku hantam, Zahir menyulut emosi kembali menghina Abi. Petugas yang masih berada di lobby dan karyawan yang baru keluar karena lembur merelai keduanya.
Wajah Zahir lebam dan ujung bibir terluka. Sedangkan Abi rambut gondrongnya berantakan, ujung bibirnya lebam meski tidak separah Zahir.
“Gue pastikan lo dipecat dan kita bertemu di pengadilan!” teriak Zahir.
Emosi Abi terpancing, akan merangsek kembali menghampiri Zahir. Namun, masih ditahan oleh security dan petugas kebersihan.
Zahir melepaskan dirinya dan memarahi orang yang sudah menahan, menunjuk wajah Abi lalu pergi.
“Kamu ini OB, tapi berani berkelahi dengan orang yang punya jabatan. Bisa-bisa kamu dipecat.”
“Harusnya dia yang dipecat,” sahut Abi.
***
“Iya, sebentar.”
Adel beranjak duduk dan turun dari ranjang untuk membuka pintu. Hari ini tidak berangkat kerja, karena tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Sejak bangun tadi pagi, kepalanya terasa berat dan mual yang hebat.
“Sudah enakan? Kalau belum kita ke dokter,” ujar Amar, khawatir dengan putrinya.
“Nanti saja Pah.”
“Ya sudah balik ke ranjang!” titah Amar mendapati wajah Adel masih begitu pucat.
Patuh, hanya itu yang bisa Adel lakukan. Kembali berbaring sesuai arahan Amar karena kepalanya terasa berputar.
“Papa hubungi kakakmu dulu.”
“Pah, tidak usah.”
Namun, Amar mengabaikan larangan Adel dan sudah meninggalkan kamar. Kalau papanya memanggil dokter, Amar akan tahu kondisinya sedang hamil. Lebih baik ia mengaku saja, dari pada malu saat dokter yang menyampaikan.
Beranjak duduk, Adel mengambil ponsel di atas nakas. Mengirim pesan pada Zahir untuk memastikan kalau malam ini pria itu benar akan datang, tentu saja ada sedikit ancaman dengan rekaman suara semalam. Tidak menunggu lama, Zahir membalas pesan tersebut.
[Sesuai permintaanmu. Malam ini lamaran lalu hapus rekaman itu!]
“Ck, kenapa harus diancam dulu,” gumam Adel. “Tapi kalau Pak Zahir melamarku lalu rencana pernikahannya gimana? Harus dibicarakan juga nanti malam, aku tidak mau punya madu.”
“Adel, kakakmu sedang di luar. Mungkin nanti sore baru kemari,” ujar Amar lalu duduk di pinggir ranjang. “Ke dokternya nanti sore saja, tunggu kakakmu.”
“Pah, ada yang ingin Adel bicarakan.”
“Harus sekarang, tapi kamu sedang sakit,” sahut Amar dan Adel mengangguk. “Ya sudah, bicaralah!”
Adel menunduk dengan kedua tangan saling merem4s.
“Maafkan Adel pah, sudah buat papa kecewa. Yang sekarang Adel rasakan bukan sedang sakit, tapi … gejala kehamilan.” Dengan lirih dan terbata juga pandangan masih menunduk, Adel mengakui kondisi dirinya.
“Hamil? Maksudnya kamu hamil?”
Adel kembali mengangguk. Tidak berani menatap wajah Amar yang sudah pasti kecewa dengan dirinya. Air mata pun sudah menetes.
“Bagaimana bisa hamil, bukannya kamu tidak ada pacar? Papa tidak paham, ini maksudnya gimana?”
“Maaf pah, Adel hamil dan nanti malam pria itu akan datang untuk tanggung jawab. Dia mau melamar.”
Amar menghela nafasnya setelah mengusap kasar wajah. Ingin marah, tapi dia sayang pada putrinya. Kecewa, sudah pasti.
“Siapa pria ini, apa dia pacarmu?”
Adel tidak menjawab. “Maaf, pah. Sudah buat papa kecewa.”
Tidak menceritakan apa yang terjadi, Adel hanya menyampaikan kalau pria itu akan tanggung jawab meski Amar curiga dan mendesaknya. Amar sempat menitikkan air mata, karena Adel semakin terisak.
“Ya sudah, kita tunggu pria itu. Kamu istirahat,” titah Amar tidak rela melihat putrinya bersedih dan menyesal.
Malam harinya, hampir jam tujuh malam. Adel sudah berganti pakaian karena akan menyambut Zahir. Dibantu kakak iparnya bersiap. Tentu saja kakak dan iparnya sudah tahu kondisi Adel yang hamil.
“Pakai ini, bibir kamu pucat banget.”
Menerima lipstik dan mengoles tipis di bibirnya lalu mematut wajah di cermin. Memakai dress putih dan rambut di gerai dengan penjepit di sebelah kanan. Harus menghargai tamu yang datang, begitu pikir Adel.
“Tamunya sudah datang, ayo keluar!” titah Ari -- kakak Adel – di tengah pintu kamar.
“Ayo.” Santi, istri dari Ari membantu Adel berdiri.
“Besok izin lagi aja, kita ke dokter. Pastikan kandungan kamu sehat dan sampaikan keluhan kamu.”
“Iya, mbak.”
Sampai di ruang tamu, pandangan Adel tertuju pada seorang pria yang tampak rapi berdiri melihat kedatangannya. Hanya sendiri bukan rombongan seperti yang Adel kira. Yang lebih mengejutkan yang datang bukan Zahir, tapi Abimanyu.
“Mas Abi.” Menatap heran pria itu. “Mau apa kemari?”
“Aku datang untuk … melamarmu.”
“Melamarku? Tapi, kita tidak ….”
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan