Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabut di Utara
Udara di utara lebih dingin, bahkan pada awal musim panas. Angin dari pegunungan menyapu dataran tinggi dengan sunyi yang asing. Ini bukan keheningan yang menenangkan seperti hutan tempat Wen Yuer biasa mengumpulkan herbal, ini sunyi yang berat dan sedikit kelam. Kabut yang dulu menyelimutinya terasa ringan dibanding dingin kaku yang menyambut langkahnya saat ini.
Keretanya berhenti perlahan di depan sebuah gerbang logam tinggi yang dijaga oleh puluhan prajurit berpakaian hitam. Mereka berdiri dalam diam, tubuh tegak sempurna, sorot mata seperti batu. Tak satu pun dari mereka berbicara, namun kehadiran mereka cukup membuat udara terasa makin padat.
Wen Yuer turun dengan langkah tenang. Rambutnya ditata sederhana, setengah disanggul dan setengahnya dibiarkan tergerai, tanpa hiasan. Pakaian yang ia kenakan jauh dari mewah, tetapi bersih dan rapi.
Gaun ungu lembut membalut tubuhnya, dengan garis bordir halus di ujung lengan dan leher. Ia melepaskan semua perhiasan yang dipakaikan oleh pelayan di kediaman ayahnya. Dia tidak mau datang membawa kemewahan dari tempat yang tidak ia sukai.
"Nona Wen Yuer," sapa seorang pria yang terlihat sebaya dengannya berseragam militer dengan suara datar. Ia memberi hormat kecil. "Perkenalkan, saya Han Zichen. Saya akan mengantar Anda ke kediaman Jenderal agung."
Yuer membalas anggukan itu dengan tenang, lalu berjalan mengikutinya tanpa sepatah kata pun.
Di sini, bangunan-bangunan besar berdiri dengan batu kelabu dan atap hitam. Suara sepatu bot menghantam lantai batu menggema dari segala arah, menyatu dengan udara kering dan aroma baja yang melekat.
Langkah mereka melewati barak, gudang senjata, lapangan latihan. Wajah-wajah yang menoleh padanya tampak penasaran, tapi tidak ada yang menyambut. Tidak ada bisikan, tidak ada senyum.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan besar di pusat benteng. Pria bernama Han Zichen itu berhenti di depan pintu aula utama yang terbuat dari kayu gelap dan besi.
"Silahkan," katanya, lalu mundur.
Yuer menghela napas pelan sebelum membuka pintu sendiri.
Ruangan itu luas dan gelap. Tidak ada banyak perabotan, hanya meja panjang, beberapa rak, dan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Sinar matahari tipis masuk membentuk garis-garis tajam di lantai batu, menyoroti debu yang berputar pelan di udara. Tak ada aroma bunga. Hanya udara dingin dan aroma kayu tua.
Dan di ujung ruangan itu, duduklah pria yang menghantui pikirannya sejak hari itu di hutan.
Qi Zeyan.
Waktu seolah berhenti.
Ia duduk di kursi besar, tubuhnya tegap meski tidak mengenakan baju perang. Hanya pakaian hitam polos, dengan kain tipis melapisi dadanya. Rambut panjangnya tidak sepenuhnya terikat, sebagian jatuh di sisi wajahnya. Yuer bertanya-tanya, bagaimana keadaan lukanya? Tentu dia memiliki tabib bukan? Namun, sesuatu membuatnya terpaku.
Sorot mata itu.
Mata hitam gelap yang sama seperti malam tanpa cahaya bulan, kini menatapnya lekat.
Yuer berdiri di ambang pintu selama beberapa detik. Dadanya sesak. Sekejap, ia merasakan gemetar yang tak ingin ia tunjukkan. Tak ada yang tahu bahwa tangan yang kini menyentuh pinggir gaunnya adalah tangan yang dulu menyentuh luka pria itu, mencoba menyelamatkan nyawanya tanpa tahu siapa dia.
Qi Zeyan perlahan berdiri. Tubuhnya menjulang, tegap meski Yuer bisa pastikan dengan pengamatan seorang tabib bahwa lukanya belum sepenuhnya sembuh. Ia melangkah ke arah cahaya.
Tatapan mereka bertemu.
Yuer menahan napas.
Ia tidak pernah berpikir itu Qi Zeyan, pria yang dimaksud ayahnya. Dia sudah berpikir kemungkinan terburuk bahwa itu mungkin jenderal tua yang selalu batuk setiap menitnya, atau mungkin seorang pria dengan perut buncit yang gila wanita.
Tetapi tidak ada kepastian bahwa Qi Zeyan lebih baik dari dua kemungkinan terburuk itu.
Ada sesuatu dari caranya berdiri, cara matanya menyelaminya yang membuat tubuh Yuer terasa kecil, seakan segala harga diri yang ia susun selama perjalanan bisa runtuh hanya dengan satu kalimat.
"Wen Yuer," ucap Zeyan pelan. Suaranya dalam, serak. "Gadis yang menyelamatkan hidupku."
Yuer mengerutkan dahi, berusaha meredam detak jantungnya. "Dan kau membiarkan anak buahmu hampir membunuhku setelahnya."
Zeyan tertawa pendek, nadanya seperti kerikil bergesekan di tenggorokan. "Aku bilang pada mereka untuk tidak melakukannya."
"Setelah mereka bertanya," balas Yuer cepat.
Ia melangkah pelan ke arah Yuer. Tidak tergesa, tidak mendesak, tapi setiap gerakannya seolah mengandung tekanan. Ia berjalan seperti seseorang yang tahu dunia akan diam saat ia bicara.
"Kenapa tidak kabur saat tahu siapa aku?"
"Aku tidak tahu siapa kau saat itu," jawab Yuer.
"Dan setelah tahu?"
Yuer diam sejenak. Matanya tidak berpaling. "Aku rasa, iblis pun bisa berdarah."
Kata-kata itu membuat langkah Zeyan melambat sesaat. Senyum di wajahnya menipis. Matanya menyipit, bukan karena marah, tapi seperti seseorang yang sedang memproses sesuatu yang menarik.
"Kau berbeda dari yang kubayangkan," katanya perlahan. "Kupikir kau akan membosankan, tapi sepertinya kau cukup menyenangkan."
Yuer menahan tawa getir. Tapi bibirnya bergerak sedikit, nyaris seperti senyum. "Aku tidak datang untuk menyenangkan siapa pun."
"Tidak juga untuk perdamaian, kukira."
Ia menatapnya, tajam. "Jadi kenapa menerimaku?"
Qi Zeyan tidak menjawab segera. Ia menoleh ke jendela, menatap langit yang mulai tertutup awan. Lalu perlahan kembali duduk.
"Dan kenapa kau setuju? Apa ayahmu tidak memberitahumu kalau kau adalah hadiahku?"
"Itu bukan urusanmu, dan aku tidak ingin tahu kepada siapa aku dikirim."
Qi Zeyan tertawa kecil. "Bagaimana jika aku adalah seorang pria dengan perut besar yang bahkan kesulitan berjalan? Atau, pria tua? Apa kau masih tidak peduli dengan nasibmu?"
"Memangnya apa bedanya? Toh pria manapun sama saja. Menjadikan wanita sebagai barang untuk kesenangannya." ucap Wen Yuer mencoba terlihat kuat dan tak terpengaruh akan aura mematikan yang pria itu pancarkan.
Tiba-tiba, tatapan Qi Zeyan berubah. Ketajamannya surut perlahan dan entah mengapa, Wen Yuer merasa ada yang berbeda. Apakah itu bisa disebut melembut?
Ternyata dia salah.
Zeyan menyeringai, langkahnya membawa tubuh tinggi itu lebih dekat. Tangan pria itu terulur, mengangkat dagunya dengan gerakan santai namun tegas, memaksanya menatap langsung ke wajahnya.
"Tentu saja ada bedanya..." ucapnya pelan, senyum menyudut menghiasi bibirnya. "Setidaknya pria yang ada di hadapanmu ini enak dipandang, bukan?"
Sialnya dia benar.
Lalu tangannya melepaskan dagu Yuer dengan sedikit sentakan seolah mengejek kelembutannya sendiri sebelum ia berbalik dan mulai berjalan menjauh.
"Untuk poin kedua," lanjutnya sambil berhenti sejenak, kepala menoleh sedikit ke samping sehingga Yuer hanya bisa melihat siluet wajahnya dari balik bayangan, "aku tahu maksudmu, dan tenang saja..."
Hening sejenak sebelum suara dinginnya kembali terdengar, lebih dalam.
"Kalau aku menginginkan seseorang di tempat tidurku, aku tidak perlu cara kotor."
Wen Yuer mengernyit pelan, masih berdiri di tempatnya, menatap punggung lelaki itu yang setengah menoleh.
Suara dari tenggorokannya terdengar ragu namun tetap berani, "Lalu, kenapa kau menerimaku?"
Qi Zeyan tertawa kecil, tanpa geli, tanpa amarah. Lebih seperti seseorang yang terbiasa mendapat hal-hal yang tidak dia minta, tapi tetap menerimanya dengan sikap tak terbantahkan.
"Aku jarang menolak hadiah," katanya santai. "Terlebih jika diberikan dengan sukarela."
Yuer terdiam. Sukarela? Hatinya mencelos, karena dia semakin sadar bahwa ayahnya benar-benar membuangnya. Tapi belum sempat dia bicara, Zeyan kembali melanjutkan, kali ini dengan nada lebih datar namun tak terdengar dingin.
"Meski begitu, kau tetap akan diperlakukan sebagaimana mestinya," ucapnya sambil kembali menatap Yuer sepenuhnya. "Aku akan menyiapkan pelayan pribadimu. Kebutuhanmu akan diurus. Tidak ada yang akan menyentuhmu tanpa izinku."
Wen Yuer menatap pria itu, tak tahu apakah harus merasa lega atau justru semakin bingung. Kata-katanya tak seperti pria yang menerima hadiah. Ia terlalu tenang, terlalu terkontrol, bahkan, terlalu terhormat?
Seketika, semua gambaran buruk yang sudah dia ciptakan dalam pikirannya saat dikirim ke tempat ini terasa tidak berlaku. Dan itu, justru membuatnya lebih takut.
"Kenapa?" bisiknya. "Kenapa kau memperlakukanku seolah aku bukan—"
"Hadiah?" Zeyan menyela. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, nyaris seperti mengejek. "Karena aku tidak menilai seseorang dari bagaimana dia dikirimkan padaku."
Yuer membalas tatapannya. "Lalu aku harus tinggal di sini sebagai...?"
Ia memiringkan kepala sedikit. "Sebagai milikku."
Kata-kata itu diucapkan tanpa nafsu. Tapi juga tanpa ragu. Seperti seseorang yang membacakan hasil vonis yang tidak bisa diganggu gugat.
Yuer menatapnya. Lama.
Lalu mengangguk pelan. "Baik."
Qi Zeyan mengangkat alis, sedikit terkejut. "Tidak bertanya apakah aku akan memperlakukanmu dengan baik?"
Yuer menghela napas. "Rumahku sendiri tidak memperlakukanku dengan baik. Kurasa aku tidak perlu berharap banyak."
Ia melangkah maju, melewati garis cahaya di lantai. Mata mereka masih bertaut.
"Di mana kamarku? Aku tidak ingin tidur di aula orang asing."
Zeyan menatapnya sejenak, lalu tersenyum. Senyum yang bukan mengejek, bukan juga ramah. Tapi senyum seseorang yang menemukan sesuatu yang tak ia duga... dan memutuskan untuk tidak melepaskannya.
"Kau menarik, Wen Yuer."
Di luar jendela, angin utara bertiup lebih dingin dari biasanya, membawa awan gelap yang menggantung rendah. Tapi di dalam aula batu itu, dua orang dari dunia yang seharusnya bertarung kini berdiri di ruang yang sama. Bukan sebagai musuh, bukan juga sekutu. Melainkan dua bayangan yang mulai saling mengenal dalam keheningan.
Dan takdir baru saja berubah arah.
susunan kata nya bagus