Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Proyek Phoenix
Pagi itu, Althea Reycecilia Rosewood melangkah keluar dari mobil hitam yang membawanya menuju gedung tinggi dengan logo PT MS Corporation di fasad kaca depannya. Ia mengenakan blouse putih gading dengan potongan clean dan celana bahan krem pucat, gaya elegan minimalis yang mencerminkan dirinya: tenang di luar, badai di dalam. Make up tipis diwajahnya dan rambut hitam panjangnya ia curly bagian bawahnya serta dibiarkan tergerai panjang menambah kesan elegan pada diri Althea.
Seorang wanita dari departemen Human Capital menyambutnya di lobi dengan senyum hangat. “Selamat pagi, Mrs. Rosewood. Saya Mirna Rone dari HC. Senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan jewelry designer yang katanya ‘jenius terselubung’ ini,” ujar perempuan berkacamata itu, bercanda ringan.
Althea tersenyum sopan. “Selamat pagi nona Mirna, terimakasih namun saya harap nama saya tidak terlalu dibesar-besarkan.”
“Saya kira malah belum cukup,” timpal Mirna sambil berjalan mendampinginya menuju ruang pertemuan kecil.
“Perusahaan kami sudah mengikuti perkembangan Anda bahkan sejak sebelum Anda kembali ke Indonesia.”
Althea mengangguk. “Jadi... proyek ini benar-benar spesial, ya?”
“Bukan hanya spesial, ini sangat strategis. Phoenix adalah proyek jangka panjang yang membawa nama besar perusahaan, dan… kabar baiknya, CEO kami yang langsung mengawasi.”
Mirna menyerahkan map kontrak. “Tapi tentu saja, sebelum itu, kita harus bicara hal legal dulu.”
Mirna menoleh sebentar ke arah pasal-pasal terakhir. “Kami perlu pastikan lagi, ya. Proyek ini dipegang langsung CEO, artinya pengawasan penuh, dan… tidak bisa dibatalkan sepihak. Kalau dilanggar, ada penalti Sepuluh miliar dan blacklisted dari dunia perhiasan?”.
Ia menaikkan alis. “Cukup ekstrim". Althea mengangguk ringan, lalu menandatangani kontrak tanpa banyak komentar.
Mirna tampak cukup terkesan. “Wah, biasanya yang baca bagian penalti langsung tertegun dua menit.”
“Aku tidak main-main,” ujar Althea datar tapi tegas.
Senyum Mirna mengembang
Mirna tertawa kecil. “Kalau boleh jujur, proyek ini memang bukan untuk orang yang main-main. Tapi melihat rekam jejak Anda, kami yakin Anda orang yang tepat.”
Setelah tanda tangan selesai, Mirna menyerahkan tugas berikutnya kepada seseorang yang baru masuk ke ruangan.
“Ini Azalea George, sekretaris CEO kami. Panggil saja Lea. Dia akan membawa Anda berkeliling.”
Lea menjabat tangan Althea dengan antusias. “Akhirnya! Saya sering dengar nama Anda dari Arga, asistennya CEO. Mereka excited banget anda bergabung.” Ya, Lea adalah kekasih dari asisten CEO yaitu Arga Willson.
"Jangan terlalu formal denganku, ngomong-ngomong apakah dia kekasihmu karena dari panggilanmu dan caramu bercerita terlihat akrab?" Tanya Thea sambil tersenyum mengikuti gadis ceria ini.
Lea mengangguk sambil tersenyum dan mengajak Althea menyusuri berbagai lantai perusahaan, sambil menceritakan satu persatu divisi.
Selama tur keliling perusahaan, suasana terasa jauh lebih santai. Lea memperkenalkan beberapa divisi dengan ramah.
“Yang di lantai tiga ini bagian creative & media. Mereka bakal banyak berinteraksi sama kamu nanti, so… siap-siap dibanjiri ide. Jadi kita punya divisi riset desain, tim pemasaran digital, dan tim kreatif yang luar biasa. Tapi ruang favoritku sih tetap rooftop café kita—kalau kamu butuh udara segar, it’s perfect.”
“Aku senang brainstorming,” sahut Althea, mulai menikmati ritmenya.
Sambil berjalan ke arah lantai eksekutif, Lea sedikit menurunkan suara.
“FYI, kamu akan banyak koordinasi langsung sama CEO. Ini jarang banget terjadi. Biasanya beliau cuma handle client VIP atau proyek krusial.”
Althea diam sejenak. “Aku sudah diberi gambaran dan aku suka suasananya,” gumam Althea sambil melihat sekeliling. “Tapi Phoenix ini... rasanya terlalu besar untuk jadi proyek pertama setelah aku kembali.”
Lea menoleh sambil tersenyum. "Aku yakin kamu pasti bisa, kebetulan Mr. Al baru selesai meeting. Ayo, sekarang kamu kenalan langsung.” Althea menegang sejenak saat mendengar nama itu. Tapi wajahnya tetap netral. Banyak nama sama didunia ini.
Lea menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu besar. Lea mengetuk sebentar lalu tersenyum. “He’s ready. Good luck!”
Pintu terbuka. Althea masuk ke ruangan luas bernuansa kayu gelap dan kaca yang terlihat elegan. Di hadapannya, seorang pria duduk membelakangi jendela tinggi, menatap pemandangan kota didepannya.
Althea melangkah masuk dan berdiri tenang. “Selamat pagi. Saya Althea Reycecilia Rosewood. Jewelry designer untuk proyek Phoenix" Kursi eksekutif itu perlahan berputar tepat setelah Althea mengucapkan namanya. Tatapan gelap dan tajam menubruknya. Wajah yang begitu dikenal menatapnya lurus.
Aleron Rafael Moonstone
Aleron menatap mata tajam itu... masih sama. Dingin tapi menyimpan sesuatu. Luka? Rindu? Marah? Mata Aleron yang menyimpan Penyesalan, Rindu, atau apalah itu Althea tetap menatapnya tanpa ekspresi. Aleron menatapnya nyaris tidak berkedip. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bukan hanya keterkejutan, tapi juga… luka yang belum sembuh. Namun Althea bersikap seolah ia hanya menghadapi seorang CEO, bukan seseorang dari masa lalunya.
“Althea…” ucap Aleron perlahan.
Ia tetap berdiri tegak. “Ternyata benar. Kamu.”
Beberapa detik sunyi. Lalu Althea membuka suara. “Mr. Moonstone. Maaf tapi saya tidak bisa melanjutkan proyek ini. Saya mohon izin untuk mengundurkan diri.” Ia menatap Althea dalam diam. Terlalu lama. Namun Althea tidak goyah. Ia tak memutar bola matanya, tak menunduk, tak menegang dan berusaha tenang.
Wajah Aleron mengeras. “Thea…” Aleron terdiam. Sekejap matanya mengeras, seolah menahan sesuatu.
“Kalau kamu mundur sekarang,” ucapnya tiba-tiba, nada suaranya berubah serius, “maka kamu akan dikenai penalti. Dan kamu tahu apa artinya bagi kariermu.”
Althea terdiam ia tahu betul sekarang ini perjuangan karirnya selama ini sebagai jewelry designer dipertaruhkan. Althea terdiam sejenak lalu berusaha bersikap profesional.
“Baiklah karena saya sudah menandatangani kontrak. Saya mengerti isi dan konsekuensinya. Kalau itu saja yang ingin disampaikan, saya akan mulai bekerja.”
Aleron mendesah pelan. “Aku berharap kamu akan… bereaksi.”
“Ada yang ingin Anda bahas tentang desain awal proyek ini?” ujar Althea, tetap tenang.
“Kamu... terlihat berbeda,” ucap Aleron akhirnya setelah diam beberapa saat.
“Saya di sini sebagai bagian dari tim Phoenix, bukan untuk membahas masa lalu.” Suaranya stabil. Dingin tapi tidak menyerang. Profesional.
Aleron menyandarkan punggung di kursinya. “Setidaknya kamu harus bicara. Tentang kita dan...”
“Maaf tapi sepertinya tidak ada yang perlu dibahas.” Althea memotong kalimat itu dengan sangat sopan.
“Saya tidak ingin mencampur urusan pribadi dalam pekerjaan, dan saya harap Anda juga begitu.”
Aleron menatap tajam. “Aku cuma—”
“Menjalankan peran Anda sebagai CEO? Tolong jaga sikap anda dan bersikaplah profesional."
Beberapa detik hening. Lalu Althea mengangguk sopan. “Jika tidak ada hal lain, saya mohon pamit. Saya akan menunggu dokumen briefing dari tim Anda.”
Aleron menatap Althea. “Aku bisa profesional. Tapi aku tidak bisa berpura-pura.”
Althea membalikkan badan dan berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Di belakangnya, Aleron masih berdiri diam. Dalam benaknya, Phoenix bukan sekadar proyek.
Phoenix adalah kebangkitan—dan mungkin, juga kehancuran.
Althea membalikkan badan dan melangkah keluar sebelum Aleron sempat mengatakan apa pun lagi. Saat pintu tertutup kembali, Aleron menyandarkan kepala di sandaran kursinya, menatap kosong ke langit Jakarta.
Ia baru menyadari. Perempuan yang dulu ia kenal—penuh emosi, marah, dan berani menatap luka—sudah tidak ada. Yang berdiri di hadapannya tadi adalah seorang Althea yang telah mati rasa.
Dan itu jauh lebih menyakitkan.
Dalam benaknya, 'Phoenix bukan sekadar proyek.
Phoenix adalah kebangkitan—dan mungkin, juga kehancuran'
♾️
Satu bulan setelah pertemuan pertamanya dengan Aleron, Althea resmi mulai bekerja penuh waktu di ruang desain eksklusif lantai delapan — ruang yang telah disiapkan khusus untuk proyek Phoenix.
Tim Phoenix sendiri hanya terdiri dari lima orang inti:
Althea Reycecilia Rosewood – sebagai Head Jewelry Designer
Clive Ranveer – Senior Material & Gem Specialist, pria keturunan Jerman-Indonesia yang perfeksionis dan tidak suka basa-basi.
Velda Tanaya – Creative Strategist, wanita karismatik dan sedikit kompetitif, sering adu argumen dengan Clive soal estetika.
Yuna Choi – Digital Designer asal Korea Selatan, tenang dan sangat detail-oriented.
Marco Ezra – PR & Branding Advisor, flamboyan, banyak bicara, tapi tahu bagaimana membungkus hasil kerja jadi “wow”.
Setiap pagi dimulai dengan meeting cepat. Hari ini, Clive menyodorkan beberapa sampel batu langka di atas meja bundar.
“Ini Padparadscha sapphire dari Sri Lanka. Aku masih ragu memasukkannya ke desain inti,” katanya sambil melirik Althea.
“Kenapa?” tanya Althea, menatap batu berwarna oranye-pink itu dengan fokus.
Clive menyilangkan tangan. “Warnanya terlalu lembut. Kita butuh impact. Kamu tahu sendiri proyek ini harus jadi... legacy.”
Velda menimpali dengan senyum miring. “Justru Padparadscha mewakili transisi—sunset and sunrise. Itu tema yang sangat dekat dengan rebirth, sesuai nama proyeknya.”
Yuna mengangguk pelan. “Aku bisa coba buat simulasi 3D-nya untuk melihat pantulan cahaya jika dipasangkan dengan rose gold.”
Marco menyeruput espressonya. “Aku sih ngikut aja asal hasil akhirnya bisa jadi bahan pameran internasional.”
Althea mengangkat pandangannya. “Kita akan gunakan Padparadscha. Tapi bukan sebagai pusat. Kita akan pasang batu ini di bagian tersembunyi dari rangka cincin—hanya bisa dilihat oleh pemiliknya.”
Semua menoleh padanya. “Simbol dari rasa yang tetap ada, meski tak terlihat,” lanjutnya. “Phoenix bukan tentang terbakar... tapi tentang hidup kembali diam-diam, setelah nyala padam.”
Ruangan hening sesaat. Clive mendecak kecil. “Baik. Kita coba itu.”
Velda melempar senyum kagum. “Aku suka. Itu... puitis banget.”
Yuna sudah mulai mengetik cepat di laptopnya, membuat sketsa kasar berdasarkan gagasan Althea.
Marco menepuk meja. “Oke, kepala desainer kita... not bad at all.”
Beberapa hari berjalan, Althea mulai dihormati bukan karena nama belakangnya, tapi karena ketajaman desain dan ketegasannya mengambil keputusan. Ia tidak banyak bicara, tapi saat bicara, semua mendengar.
Satu hal yang tetap tidak bisa dihindari adalah, Aleron.
Setiap minggu, Al akan mengadakan review presentasi untuk melihat progres desain. Mereka tidak pernah berbicara di luar pekerjaan. Aleron bersikap profesional, tapi semua tahu — tatapan matanya pada Althea berbeda.
Di setiap meeting, Aleron lebih fokus pada desain Althea daripada presentasi tim lainnya. Tapi ia tidak memuji. Tidak juga memotong.
Ia hanya memperhatikan — terlalu dalam.
Dan Althea? Tak sekalipun ia menatap Aleron lebih dari dua detik. Tidak ada senyum basa-basi. Tidak ada gugup. Tidak ada getaran. Seolah... pria itu tak punya tempat lagi dalam memorinya.
Velda sempat berbisik pada Yuna, “Bos kita naksir Althea ya?”
Yuna hanya menjawab kalem, “Terlalu rumit untuk disebut naksir.”
Di penghujung minggu pertama, tim Phoenix mendapatkan pengumuman penting: mereka akan mempresentasikan mock-up desain awal pada pameran tertutup investor asing minggu depan.
Itu berarti lembur. Ketegangan. Tekanan. Namun Althea sudah terbakar pada tempatnya. Seperti burung Phoenix. Dalam senyap, dia menari di tengah api.
♾️
Ruang kerja lantai delapan terasa lebih hiruk hari itu. Suara langkah kaki, derit kursi, denting alat desain, dan suara lembut printer 3D yang terus bekerja memenuhi udara. Semua anggota tim Phoenix berkutat dengan mock-up desain — wajah mereka serius, ekspresi penuh tekanan tapi fokus. Althea sedang menyempurnakan detail ornamen mikro pada prototipe cincin ketika intercom di meja Velda berbunyi.
"Seluruh tim Phoenix ke ruang rapat utama. Segera." – Aleron Rafael Moonstone.
Seketika semua terdiam. Velda menatap Althea, Clive meraih tablet dan berkasnya, Yuna langsung mematikan simulasi desain, dan Marco menghela napas panjang.
“Kalau sampai dia ngamuk, gue resign,” gumamnya bercanda tapi dengan wajah tegang.
“Bawa semua file desain,” kata Clive cepat.
Beberapa menit kemudian, kelima orang itu sudah duduk di ruang rapat. Aleron berdiri di depan mereka, jasnya rapi, ekspresinya... kosong.
Tanpa pembukaan basa-basi, Al membuka suara. “Pameran investor Minggu depan... dicancel.”
Ruangan mendadak sunyi. Detik berikutnya — “Apa?” “Serius?”
“Kenapa, Pak?” “Jadi mock-up ini... sia-sia?”
Aleron menatap mereka. “Salah satu investor utama mendadak harus menghadiri acara penting di Swiss. Mereka tidak bisa hadir ke Jakarta minggu depan.”
Velda memukul pelan meja. “Kita butuh feedback dari mereka sebelum presentasi publik. Kalau tidak, proses revisi bisa kacau.”
Marco berseru, “Ini acara pertama yang bisa membuka jalan kita ke pasar global, dan kita kehilangan momen itu?”
Clive mendengus. “Typical korporat. Nunda seenaknya. Kita bukan dewa yang bisa ngubah desain dalam semalam.”
Semua suara bercampur. Perdebatan meningkat. Althea hanya diam, menyimak.
Lalu, nada dering ponsel Aleron memotong semuanya. Di layar: "Mr. Legard – Private Investor"
Dia mengangkat. “Legard.” Para anggota tim langsung menunduk, diam, memasang telinga. Percakapan berlangsung dalam bahasa Inggris, suara Al tenang tapi tajam.
"Yes, sir. We've informed the team about the cancellation..."
"...Understandable. Family always comes first..."
"...Wait—present Phoenix in Switzerland? You want it to be the centerpiece?"
"...For your golden anniversary? Next month?"
"...Yes, I’ll make the arrangement. Two delegates. Myself and our head designer."
"...No, sir. It’s an honor."
Saat Aleron menutup panggilan, suasana ruangan berubah total.
“Dia... ingin Phoenix dipresentasikan di Swiss?” bisik Arga. Aleron mengangguk.
“Phoenix akan dipamerkan pada perayaan ulang tahun pernikahan ke-50 pasangan Legrand. Salah satu pemilik jaringan butik perhiasan di Eropa.”
Yuna tercengang. “Itu... bukan sekadar pameran. Itu bisa jadi launch internasional.”
Velda menggigit bibirnya. “Kalau desainnya diterima di sana... kita bisa masuk katalog mereka.”
Clive mengangguk pelan. “Awal yang menentukan akhirnya.”
Lalu, Aleron menatap Althea. “Yang akan berangkat hanya dua orang, Aku... dan kamu, Mrs. Rosewood.”
Seketika jantung Althea seperti berhenti berdetak.
“Saya... tidak akan pergi,” katanya pelan tapi tegas. “Cari orang lain.”
Aleron membalas tenang, tapi nadanya mengeras. “Kamu head designer. Phoenix lahir dari tanganmu. Kamu tahu setiap detailnya.”
“Saya bisa buat dokumentasi. Bisa kirimkan... siapa saja.”
“Kita tidak bisa presentasi lewat render 3D, Thea. Mereka ingin presentasi hidup. Langsung. Personal.” Tatapan mereka terkunci. Atmosfer memanas.
“Aku harus profesional di sini, demi masa depan tim Phoenix” Batin Althea akhirnya, mencoba menjaga nadanya tetap datar.
Al kembali bersuara, dingin. “Kamu punya pikiran mundur bukan? Ingat kontrak kita. Pinalti sepuluh miliar. Dan kamu tahu sanksi lainnya, banned secara industri. Semua akses ditutup. Impianmu sebagai perancang perhiasan... selesai.” Tubuh Althea menegang ia tersentak dari lamunannya. Tapi wajahnya tetap tenang.
“Jadi sekarang, Althea... kamu pilih.”
“Kehormatan. Atau pelarian.” Tak ada yang bicara. Hanya suara napas. Althea menunduk pelan, mengepal tangan di bawah meja.
“Saya ikut.”
Setelah pertemuan mendadak itu, seluruh tim Phoenix seolah beralih mode — dari bekerja keras menjadi bekerja tanpa henti. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada waktu untuk santai. Mereka tahu, apapun yang akan dipresentasikan di Swiss, akan menjadi tolak ukur apakah Phoenix layak disebut mahakarya... atau hanya mimpi.
Di Studio Desain Phoenix
Althea duduk di depan layar hologram, membandingkan hasil desain dengan render asli, lalu mengatur ulang proporsi permata utama. Di belakangnya, Clive dan Yuna tengah menyiapkan palet warna dan susunan material perhiasan yang akan dipresentasikan. Velda sibuk di workstation 3D printer, mengecek hasil mock-up yang baru selesai dicetak.
“Thea, presentasi visualnya akan lo pegang sendiri?” tanya Velda, mendekat dengan tablet di tangan.
Althea mengangguk. “gue mau pastikan semua detail bercerita. Kita nggak bisa bergantung hanya pada keindahan desain.”
“Presentasi tim sudah gue siapkan,” tambah Yuna. “Kalau ada waktu kita bisa sesi latihan sebelum kalian berangkat.”
Marco menoleh sambil membuka sketsa digital. “Jujur, gue masih nggak percaya lo bakal ke Swiss... bareng dia.” Althea hanya tersenyum tipis, tak menjawab.
Velda ikut menimpali, setengah khawatir. “lo yakin, Thea?
Maksudku... bisa pisahkan masa lalu dari pekerjaan?”
Thea menatap hasil desain di depannya, suaranya pelan namun tegas.
“Gue harus. Ini tentang karir. Tentang gue. Bukan dia.”
Dan mereka semua paham — ini bukan tentang cinta lama, tapi tentang bertahan hidup di dunia yang keras.