Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penari dalam bayangan
Tari Reog bagi warga Desa P bukan sekadar hiburan, melainkan warisan sakral yang mengikat manusia dengan alam gaib. Ratri telah menjadi poros dalam pusaran itu. Tapi setelah ritual pengasingan, ia merasa bukan lagi dirinya yang menari. Ada sesuatu yang menggerakkan tubuhnya. Seperti boneka yang dikendalikan oleh tali tak kasatmata.
Suatu malam, saat latihan di sanggar, Ratri menari dengan sangat memukau. Gerakannya halus, matanya tajam, dan setiap langkahnya seperti memanggil kekuatan dari dimensi lain. Para penonton diam terpukau. Beberapa bahkan mengaku melihat bayangan lain menari di belakangnya. Bayangan seorang perempuan dengan rambut lebih panjang dan wajah yang kabur, seolah terbuat dari asap.
Rajiman yang duduk di sudut sanggar hanya mengangguk pelan. “Ia sudah menyatu,” gumamnya.
Sepulang dari latihan, Ratri merasa tubuhnya berat. Langkahnya lambat. Ketika ia melewati cermin besar di ruang tengah rumahnya, ia berhenti sejenak.
Bayangan di cermin tidak mengikutinya secara normal.
Ketika ia mengangguk, bayangannya diam. Ketika ia mengangkat tangan, bayangan itu menatapnya lurus—tidak mengikuti, tapi… memperhatikan.
“Siapa kamu?” tanya Ratri pelan.
Bayangan itu perlahan tersenyum. Bibirnya retak, matanya hitam legam, dan tubuhnya mulai bergetar seperti kabut yang tertiup angin. Tiba-tiba, bayangan itu menari. Gerakannya seperti Reog, tapi lebih liar, lebih gelap. Tidak ada keanggunan, hanya kegilaan.
Ratri mundur. Ia terjatuh ke lantai.
Dari lantai tempatnya rebah, ia melihat sesuatu menjalar dari balik lemari—rambut panjang, hitam, dan basah. Seolah menjulur ingin menyentuhnya. Ia berteriak.
Aminah, ibunya, datang tergopoh-gopoh. “Rat! Ada apa?”
Ratri memeluk ibunya erat-erat. “Ibu… aku… aku tidak sendiri di rumah ini.”
Aminah menatap anak perempuannya dengan mata berkaca. Ia tahu. Ia tahu sejak dulu. Tapi sebagai seorang ibu, ia tak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah diputuskan oleh Sugondo. Semua sudah ditakdirkan oleh leluhur. Dan melawan takdir di desa ini... berarti melawan kutukan.
Keesokan harinya, Rajiman datang membawa sebuah kotak kayu hitam. “Kamu akan mendapat ‘pemandu jiwa’, Rat,” katanya.
“Apa maksudnya?” tanya Ratri waspada.
“Penari sepertimu, setelah melewati tahapan pengasingan, akan didampingi oleh arwah leluhur yang pernah menjadi penari utama. Dia akan masuk dalam tubuhmu saat kamu menari. Tapi jangan takut, dia hanya mengambil alih saat kamu di atas panggung.”
“Tapi aku tidak ingin dibimbing oleh arwah. Aku ingin menari karena kemampuanku sendiri.”
Rajiman tersenyum tipis. “Bakatmu tidak cukup. Ini dunia lain, Rat. Penari terpilih bukan manusia biasa.”
Ratri ingin menolak. Tapi ia tahu, menolak sama saja dengan menantang kekuatan yang tak bisa dilawan.
Saat malam tiba, Rajiman menggelar ritual kecil di halaman rumah. Api unggun dinyalakan, dupa dinyalakan, dan kotak kayu dibuka. Di dalamnya ada seikat rambut, serpihan tulang kecil, dan jepit sanggul dari emas kuno.
“Ini milik Sulastri. Penari utama dari tahun 1890. Ia mati muda. Tapi arwahnya masih haus pentas.”
Rajiman mulai membaca mantra dalam bahasa Jawa Kuno. Udara tiba-tiba menjadi dingin, aroma kemenyan bercampur bau tanah basah.
Ratri duduk bersila, mengenakan kebaya merah darah. Ketika Rajiman menaruh jepit rambut itu di sanggulnya, tubuh Ratri bergetar. Matanya membelalak. Bibirnya mengucap mantra yang tak pernah ia pelajari.
Tubuhnya bergerak. Menari sendiri.
Tapi ini bukan tari Reog biasa. Gerakannya patah-patah. Jari-jarinya mencakar udara. Ia menari seperti sedang kerasukan. Matanya kosong. Nafasnya berat.
Aminah berteriak, “Pak Rajiman! Berhenti! Itu bukan tari!”
Tapi Rajiman justru tersenyum puas. “Itu Sulastri. Dia kembali.”
Ketika tarian berhenti, tubuh Ratri jatuh tak sadarkan diri. Ia baru bangun menjelang subuh, dengan seluruh tubuh basah oleh keringat.
“Apa yang terjadi?” tanyanya lirih.
Rajiman menatapnya tajam. “Kamu sudah disatujikan. Sekarang kamu adalah wadah. Sulastri akan membantumu menang setiap kompetisi. Tapi ingat, jangan pernah menari tanpa ijin. Jangan pernah menolak jika dia ingin menari. Kalau kamu melawan… kamu sendiri yang akan tersiksa.”
Ratri tak menjawab.
Di dalam dirinya, ada sesuatu yang tertawa pelan. Suara perempuan tua. Penuh rindu. Penuh dendam.
Dan malam itu, mimpi buruk pun dimulai