lili ada gadis lugu yang Bahkan tidak pernah punya pacar. tapi bagaimana Ketika tiba di hari kiamat dia mendapatkan sebuah sistem yang membuatnya gila.
bukan sistem untuk mengumpulkan bahan atau sebuah ruang angkasa tapi sistem untuk mengumpulkan para pria.
ajaibnya setiap kali ke pria yang bergabung, apa yang di makan atau menghancurkan sesuatu, barang itu akan langsung dilipatgandakan di dalam ruangan khusus.
Lily sang gadis lugu tiba-tiba menjadi sosok yang penting disebut tempat perlindungan.
tapi pertanyaannya Apakah lili sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Setelah menangis cukup lama, Lily akhirnya bangkit dengan napas tersengal. Matanya bengkak, tapi ada sesuatu yang mulai menyala dalam dirinya.sebuah tekad yang rapuh, namun cukup untuk menggerakkan tubuhnya yang lelah.
"Aku nggak boleh cuma nangis terus," gumamnya dengan suara parau.
Ia mengusap air matanya dengan lengan baju, lalu menatap sekeliling apartemen yang sempit namun selama ini jadi tempat nyamannya.
Pikirannya mulai berputar,mengingat potongan-potongan dari novel-novel kiamat yang pernah ia baca dulu. Semua cerita itu… yang awalnya cuma hiburan belaka, kini terasa seperti buku panduan hidup.
“Kalau ini benar-benar wabah zombie… biasanya setelah ini air dan listrik bakal mati…” pikirnya, tubuhnya langsung menegang.
Tuhan sebenarnya tidak akan membiarkan manusia hidup. bagaimana bisa hidup tanpa air dan listrik bahkan gelap tanpa makanan, huhuhu
Tanpa menunggu lebih lama, Lily mulai bergerak.
Ia mengambil semua ember kosong, baskom, bahkan panci dan botol minuman bekas. Apa pun yang bisa menampung air ia bawa ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir memenuhi semua wadah. Bahkan bak mandi besar pun tak luput,dia isi hingga penuh, meski airnya mulai meluap sedikit.
Dalam banyaknya sekarang hanya ada kata air air dan air.
“Aku nggak tahu kapan ini bakal berhenti… tapi selama masih mengalir, aku harus kumpulkan semuanya.”
Setelah urusan air selesai, dia beralih ke kekhawatiran berikutnya, listrik.
"oh tidak listrik juga akan mati bagaimana aku bisa hidup tanpa listrik Tuhan.....
lagi dipikir semakin gugup jadinya.
Dia segera mengumpulkan semua barang elektroniknya,ponsel, laptop, dua powerbank yang sudah lama tak terpakai dan lampu darurat bertenaga surya yang entah kenapa dulu ia beli karena promo diskon.
“Untung pemilik asli nggak buang barang-barang ini…” bisiknya sambil menyambungkan kabel-kabel.
Bahkan senter kecil yang menggunakan tenaga surya ia jemur di dekat jendela, berdoa agar cahaya pagi cukup kuat untuk mengisi tenaganya.
Ia sempat berhenti sejenak dan menatap semua benda yang mulai terisi daya. Hatinya bergumam dalam syukur, “Aku nggak punya kemampuan hebat, tapi… setidaknya aku punya ini…”
"tapi berapa lama aku bisa bertahan dengan barang-barang ini, ckck. kapan jadi emasku akan datang?"
Hari itu, Lily bekerja tanpa henti. Tubuhnya masih lemas karena efek mabuk dan emosi yang belum stabil, tapi ketakutan membuatnya terus bergerak.
Saat senja mulai merayap dan cahaya matahari memudar, Lily duduk lemas di lantai ruang tengah. Perutnya keroncongan, tapi saat membuka kulkas dan melihat isi di dalamnya… dia menutup pintunya perlahan.
“Belum… belum saatnya,” bisiknya pelan.
"harus berhemat harus berhemat... tapi aku lapar,Huhuhu."
Sehemat apapun orang mereka masih belum makan.
Sebagai gantinya, dia mengambil roti sisa sarapan paginya,roti tawar kering yang tinggal setengah,dan mengunyahnya perlahan.
Tanpa selai.
Tanpa apapun. Tapi cukup untuk membuat perutnya berhenti berteriak.
Dan di tengah kelelahan itu, Lily duduk di samping jendela, memandangi langit yang mulai gelap.
“Aku harus bertahan…” katanya dalam hati. “Sampai kapan pun itu… aku harus bertahan.”
Meski demikian air mata nya terus mengalir. Dia sendiri tidak tahu apa yang salah sampai dia terlempar di tempat ini.
Padahal dia hanya mabuk loh.
Sungguh dosa.
Hanya karena mabuk dia dihukum seperti ini, padahal dia masih muda. belum cukup bersenang-senang.
Oh bisakah aku mau minta maaf saja? Hem?
Tapi sayang beberapa kali pun dia menutup dan membuka mata dia masih tetap di tempat ini. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Serta merta lili langsung hilang semangat.
Malam datang perlahan, menggantikan cahaya matahari dengan kelam yang sunyi. Lily menyalakan satu lampu kecil bertenaga surya, cahayanya redup namun cukup untuk menyingkirkan kegelapan dari sudut-sudut apartemennya yang mungil.
Ia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sejenak.
Dari luar jendela, suara-suara mulai terdengar.
Bukan suara geraman mengerikan… tapi suara manusia. Suara tangis. Suara amarah. suara kesedihan semuanya bercampur aduk di malam ini.
Lili ketakutan mendengarnya.
"Aku sudah bilang padanya jangan keluar! Kenapa dia malah nekat!"
"Anakku… anakku masih kecil… tolong, Tuhan… kembalikan dia…"
"Apa salah kami?! Kenapa dunia jadi begini?!"
Teriakan dan isak tangis itu bersahutan seperti nyanyian duka. Satu per satu penghuni gedung atau rumah di sekitar meluapkan kepedihan mereka. Ada yang menjerit, ada yang mengutuk, dan ada pula yang hanya menangis histeris tanpa kata-kata.
Lily duduk terpaku. Tangannya mencengkeram selimut erat-erat, matanya membulat menahan air mata yang tiba-tiba kembali tumpah.
Dia tak punya siapa-siapa. Tak ada keluarga yang bisa ia tangisi. Tapi mendengar tangisan orang lain,jeritan hati mereka yang kehilangan,rasanya seperti ikut dihantam badai kesedihan yang sama.
"Aku sendirian… Tapi kenapa rasanya begitu sakit…" bisiknya dalam hati.
Sakitnya hanya di dalam hati dan hanya dia yang merasakannya.lili menyesal mabok Tuhan.
Mungkin karena suara tangis yang bergema di luar sana, lili mulai tertular dan dia menangis lagi untuk kesekian kalinya hari ini.
"Tuhan, cuman mabuk doang kok..huhu aku tahu salah huhu"
Hicup .
Lalu tiba tiba sebuah suara keras menghentikan semuanya.
"DIAM! SUARA BERISIK BISA MENARIK MEREKA! APA KALIAN INGIN MATI?!"
Sejenak semua terdiam.
Sepi.
Hening yang menakutkan. Bahkan hembusan angin pun terasa begitu nyaring.
Lily menutup mulutnya sendiri, seolah suara napasnya pun bisa menjadi panggilan maut. Tubuhnya gemetar, dan matanya menatap ke pintu dengan ketakutan yang mengiris.
Bayangan wajah mengerikan dari novel-novel zombie yang pernah dibacanya kembali menghantui pikirannya. Wajah-wajah itu menatap kosong, berjalan limbung, dengan darah mengering di mulut dan kuku tajam mencakar-cakar… Mereka datang karena suara.
"A-aku nggak akan bersuara… Aku nggak akan bersuara…" gumamnya berulang kali, seperti mantra penyelamat.
Satu desahan saja, pikirnya, dan mungkin monster itu akan muncul dari balik pintu. Membobol jendela. Mencium bau hidup dari tubuhnya yang masih berdetak.
Lily menekuk lutut dan meringkuk di atas lantai, seperti anak kecil yang ketakutan pada petir. Tapi ini lebih buruk dari badai,karena badai akan berlalu, tapi ini… entah kapan akan berakhir.
Malam itu, Lily tak tidur. Ia hanya meringkuk dalam diam, takut bergerak, takut bernapas, takut berharap.
Pagi menyambut dengan langit mendung dan udara pengap yang seolah ikut merasakan kekacauan dunia. Lily membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lemas, dan perutnya bergejolak kelaparan. Tapi seperti kemarin, dia menolak untuk membuka kulkas. Ia hanya duduk di lantai dapur, menggenggam gelas kosong dan kembali mengisinya dari bak mandi yang telah ia penuhi kemarin.
“Aku bisa menahan lapar. Aku harus…” gumamnya, meneguk air seteguk demi seteguk.
Dia minum… dan minum… sampai perutnya terasa penuh, meski itu tidak menghilangkan rasa lapar yang terus menghantui. Kepalanya berdenyut, dan matanya mulai berair bukan hanya karena haus, tapi karena rasa takut dan putus asa yang tak juga reda.
Tiba-tiba,...trrrrt!
Lily terkejut saat suara notifikasi dari ponselnya berdering nyaring. Seketika ia menatap layar dengan mata membesar. Bar sinyal muncul… satu… dua garis!
“Sinyal…?” bisiknya tak percaya.
Layar menunjukkan satu pesan masuk. Nomor pengirim "Pengelola Apartemen.
Dengan tangan gemetar, Lily membuka pesan tersebut. Sebuah pengumuman panjang muncul di layar.
> Kepada seluruh penghuni Apartemen Sakura Tower,
>
> Dalam kondisi darurat saat ini, kami mohon semua penghuni untuk tetap tenang dan tidak bertindak gegabah.
>
> Pemerintah telah mengetahui situasi ini dan kami yakin bantuan akan segera dikirim.
>
> Demi keamanan bersama, PINTU UTAMA LOBI AKAN DITUTUP SEMENTARA WAKTU.
>
> SIAPA PUN yang ingin keluar dari gedung, WAJIB melapor terlebih dahulu.
>
> Setelah keluar, pemeriksaan ketat akan dilakukan saat kembali masuk untuk memastikan TIDAK ADA YANG TERGIGIT atau terluka.
>
> Ini untuk mencegah penyebaran virus di dalam bangunan. Mohon pengertiannya.
>
> Tetap tenang, tetap kuat. Kita bisa melewati ini bersama.
Lily membaca kata demi kata dengan jantung berdetak keras. Tangannya mengepal di dada. Ketakutan yang ia rasakan kemarin kini bertambah parah.
Pintu akan dikunci.
Keluar berarti risiko.
Masuk lagi harus diperiksa,jika ada luka, mereka bisa dianggap terinfeksi. Bayangan orang-orang yang ditolak masuk, diusir, atau bahkan dibunuh karena dicurigai sebagai zombie, menggelayuti pikirannya.
Dia memeluk lututnya sambil menunduk.
“Apa gunanya bertahan kalau akhirnya… mati juga? Apa lebih baik mati saja dari sekarang?” pikirnya lirih.
Air matanya mengalir tanpa suara. Gadis polos itu, yang bahkan belum pernah berpikir tentang bertahan hidup di dunia yang begitu kejam, kini dihadapkan pada kenyataan paling brutal.
Namun dalam hati kecilnya, ada suara lemah yang menolak menyerah. Ada harapan kecil yang belum padam.
Tapi untuk saat ini… dia hanya bisa menangis. Menangisi rasa takut. Menangisi ketidakberdayaannya. Menangisi kenyataan bahwa dunia yang dikenalnya telah berubah untuk selamanya.
thor Doble up ya /Grin/