Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kena Hukuman
Malam itu, udara di pesantren terasa sejuk. Langit gelap bertabur bintang, sementara suara lantunan ayat suci dari para santri masih menggema di dalam aula utama.
Namun, di antara para santri yang khusyuk mengaji, ada satu orang yang justru memilih untuk menyelinap keluar.
Nayla.
Dengan langkah hati-hati, ia melangkah menjauh dari aula, memastikan tidak ada yang melihatnya. Rasa bosan yang menyesakkan dadanya membuatnya enggan berlama-lama duduk di dalam ruangan itu, apalagi mendengarkan suara Ustadz Al Ghazali yang selalu berbicara tentang ketenangan hati dan hidayah. Omong kosong!
Ia ingin udara segar. Ia ingin kabur, meski hanya sebentar.
Begitu sampai di halaman belakang pesantren yang sepi, ia menghela napas lega. Ia menatap langit dan mendesah. “Kenapa hidupku jadi begini?” gumamnya kesal.
Namun, baru saja ia ingin menikmati kebebasannya, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
“Nayla.”
Jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali suara itu. Suara yang paling tidak ingin ia dengar malam ini.
Perlahan, ia menoleh. Dan benar saja.
Ustadz Al Ghazali berdiri di sana, mengenakan gamis putih dan sorban yang melingkar di pundaknya. Tatapannya tenang, namun penuh arti.
Nayla melipat tangan di dada, berusaha terlihat tak peduli. “Mau ceramah lagi, Ustadz?”
Al Ghazali mengangkat alis. “Aku hanya bertanya, kenapa kau di sini?”
Nayla menghela napas panjang. “Bosan.”
“Bosan dengan apa?”
“Bosan dengan semuanya.” Ia menatap pria itu dengan tajam. “Dengan aturan, dengan bacaan, dengan cara hidup di sini. Aku bukan tipe orang yang bisa duduk diam dan membaca kitab berjam-jam.”
Ustadz Al Ghazali tersenyum tipis. “Lalu, kau lebih suka apa?”
“Klub. Musik keras. Kebebasan.” Nayla sengaja mengatakannya untuk melihat reaksi pria itu, berharap bisa membuatnya kaget atau setidaknya sedikit terguncang.
Tapi, Ustadz Al Ghazali tetap tenang. Ia tidak terlihat marah, kecewa, atau terganggu.
“Dan apakah semua itu membuatmu bahagia?” tanyanya lembut.
Nayla terdiam. Pertanyaan itu seharusnya mudah dijawab, tapi entah kenapa, hatinya justru terasa berat.
Ia mendengus. “Tentu saja.”
“Benarkah?”
Nayla semakin kesal. Ia benci cara pria itu bertanya seakan-akan tahu jawabannya lebih baik daripada dirinya sendiri.
“Sudahlah,” katanya dengan nada ketus. “Aku nggak mau diceramahi. Aku bisa kembali ke sana kalau itu membuatmu puas.”
Ustadz Al Ghazali menatapnya sejenak sebelum berkata, “Aku tidak pernah memaksamu, Nayla. Tapi ingat, lari dari sesuatu tidak akan menyelesaikan apapun.”
Ia lalu berbalik, membiarkan Nayla berdiri sendiri dalam diam.
Dan untuk pertama kalinya, Nayla tidak tahu kenapa kata-kata pria itu begitu mengganggu pikirannya.
Nayla masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Ustadz Al Ghazali yang perlahan menghilang di balik bangunan pesantren. Hatinya terasa kacau, tapi ia menepisnya cepat-cepat. Kenapa aku harus peduli dengan ucapannya?
Namun, sebelum ia bisa kembali ke kamarnya dengan tenang, sebuah suara tegas menghentikan langkahnya.
“Nayla.”
Nayla menegang. Ia menoleh dan mendapati Aisyah, kepala kamar santri putri, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapan matanya tajam, dan bibirnya menekan rapat seolah menahan emosi.
Nayla menghela napas. Ketahuan juga.
“Apa yang kau lakukan di luar saat jam mengaji?” Aisyah bertanya, suaranya rendah tapi penuh tekanan.
Nayla mendengus. “Cari udara segar.”
“Udara segar?” Aisyah melangkah mendekat. “Atau kau memang sengaja melanggar aturan?”
Nayla tersenyum sinis. “Kenapa? Mau kasih hukuman?”
Aisyah menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Ya, memang sudah seharusnya.”
Nayla mendengus. “Terserah.”
Tanpa basa-basi, Aisyah menarik tangan Nayla dan membawanya kembali ke aula utama. Beberapa santri yang masih mengaji melirik mereka dengan rasa ingin tahu, tapi Aisyah hanya berjalan lurus tanpa menjelaskan apa pun.
Setibanya di kamar santri, Aisyah melepaskan cengkeramannya dan menatap Nayla dengan serius.
“Sebagai hukuman, kau harus membersihkan kamar mandi santri malam ini.”
Nayla membelalakkan mata. “Apa?”
“Dan jangan pikir kau bisa kabur. Aku akan mengawasi.”
Nayla mendecak kesal. Membersihkan kamar mandi? Gila!
“Terserah. Aku bisa bayar orang untuk melakukannya,” katanya santai.
Aisyah tersenyum miring. “Di sini, uangmu nggak berlaku, Nayla.”
Nayla merasakan dadanya memanas. Ia ingin membantah, ingin marah, tapi tatapan Aisyah begitu tegas. Brengsek, aku benar-benar terjebak di neraka ini.
Dengan berat hati, ia mengambil ember dan sikat. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nayla membersihkan kamar mandi pesantren—sambil menggerutu sepanjang waktu.
Nayla berdiri di depan pintu kamar mandi santri dengan wajah penuh kebencian. Tangannya menggenggam erat gagang sikat, sementara ember berisi air sabun tergeletak di sampingnya. Bau khas kamar mandi pesantren yang lembap langsung menusuk hidungnya, membuat perutnya terasa mual.
Ia memejamkan mata, mencoba menguatkan diri. Aku, Nayla Armand, yang biasa bersantai di klub dengan segelas cocktail di tangan, sekarang harus jongkok dan membersihkan lantai kotor ini? Ini gila!
Dengan enggan, ia mulai menyikat lantai, tapi baru beberapa kali gerakan, cipratan air kotor mengenai lengannya.
“Astaga! Ini menjijikkan!” Ia hampir melempar sikatnya.
Dari pintu, Aisyah berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Nayla dengan ekspresi datar. “Lebih baik kau cepat menyelesaikannya daripada terus mengeluh.”
Nayla mendengus. “Kenapa bukan orang lain saja yang melakukan ini?”
“Karena ini hukuman untukmu,” jawab Aisyah tanpa basa-basi.
Nayla mendesah keras. Dengan perasaan terpaksa, ia melanjutkan pekerjaannya. Air sabun mengalir, membawa kotoran yang membuatnya merasa hampir muntah. Tangannya mulai pegal, keringat mulai bercucuran, tapi Aisyah tetap berdiri di sana, memastikan ia tidak bisa kabur.
Saat ia akhirnya selesai, tubuhnya terasa lengket dan lelah. Ia menatap hasil kerjanya dengan ekspresi muak, lalu menoleh ke Aisyah.
“Sudah. Puas?” tanyanya ketus.
Aisyah hanya tersenyum tipis. “Bagus. Sekarang, kau bisa istirahat.”
Nayla menyeret kakinya keluar dari kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Selama hidupnya, ia tak pernah dipaksa melakukan sesuatu yang tak ia suka. Tapi di tempat ini, semua itu tak berlaku.
Dan yang lebih menyebalkan, ia mulai menyadari bahwa dirinya tak lagi bisa lari dari kenyataan.
Hari-hari pertama Nayla di pesantren terasa seperti neraka.
Ia merasa seperti terjebak di tempat yang tak masuk akal—jauh dari kebebasannya, jauh dari hingar-bingar dunia malam yang biasa membuatnya merasa "hidup."
Yang paling menyiksanya adalah tidak adanya handphone.
Ia tak bisa membuka media sosial, tak bisa chatting dengan teman-temannya, dan yang lebih menyakitkan—tak bisa menghubungi Rernaldi, pacarnya.
Setiap kali ia mencoba meminta ponselnya kembali, jawaban dari Aisyah atau pengurus pesantren selalu sama:
"Selama kau di sini, tak ada gadget. Fokuslah pada dirimu sendiri."
Nayla hampir gila.
Siang hari, ia harus mengikuti jadwal ketat: salat berjamaah, mengaji, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an yang sama sekali tak ia mengerti, dan mendengarkan ceramah yang terasa begitu membosankan baginya.