“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Siapa?
Matahari belum benar-benar naik saat seorang pelayan tua mendorong pintu kamar dengan perlahan. Di tangannya, nampan berisi teh hangat bergetar pelan.
Langkahnya pelan, seolah takut menyingkap sisa dosa semalam. Matanya menyapu ranjang—seprai kusut, baju wanita yang bukan milik Nyonya Laras berserakan di lantai.
Ia menghela napas berat. “Jadi benar… Tuan membawa perempuan itu ke kamar ini.”
Kepalanya menoleh ke balkon. Di sanalah Laras, meringkuk di sofa kecil. Selimut tipis melilit tubuhnya. Wajah pucat, mata sembap. Napasnya tenang tapi lemah. Seolah sudah lelah bahkan untuk menangis.
Pelayan itu mendekat perlahan. Nampan ia letakkan di meja kecil dekat pintu balkon. Tangannya sedikit gemetar.
“Kenapa Nyonya... harus melewati ini semua? Apa salah dan dosanya?”
Matanya terarah ke cincin tipis di jari Laras. Masih ia pakai. Masih bertahan, seperti pemiliknya.
“Kalau tak ingin mencintainya, mengapa Tuan Edward menikahinya?” bisiknya lirih. “Untuk apa pernikahan kalau hanya untuk menyakitinya begini?”
Hatinya mendesak, ingin menolong, tapi langkahnya tetap ragu.
“Aku cuma pelayan... cuma orang tua yang tak bisa melawan majikannya sendiri. Tapi kalau saja aku bisa... aku ingin membawa Nyonya pergi dari tempat ini.”
Ia menunduk dalam, suara tercekat.
“Maafkan saya, Nyonya. Maaf karena hanya bisa melihat Anda hancur, tanpa bisa menghentikannya.”
Ia melangkah mundur, hati-hati agar tak membangunkan Laras.
Dan saat pintu ditutup perlahan, hanya angin pagi dan burung-burung yang menjadi saksi. Saksi atas luka yang tak terlihat, tapi nyata menyakitkan.
Tak lama setelah pelayan pergi, Laras terbangun perlahan, kelopak matanya berat. Tubuhnya terasa kaku. Ia buru-buru duduk tegak, merapikan selimut tipis yang entah sejak kapan menutupi tubuhnya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Laras menoleh dan menemukan Edward berdiri di ambang pintu balkon. Rambutnya masih basah, tetesan air mengalir dari pelipis ke rahangnya. Sebuah handuk putih melilit di pinggangnya. Aroma sabun mandi pria masih melekat kuat di udara.
Namun, tak ada sedikit pun kekaguman dalam diri Laras—yang ia rasakan justru mual.
"Apa dia ingin memamerkan bentuk tubuhnya padaku?" Tatapan Laras begitu dingin, menusuk. "Tubuh itu, seberapa pun proporsional dan terawatnya, bagiku tak lebih dari kumpulan daging menjijikkan yang telah bersentuhan dan menyatu dengan banyak wanita."
Edward sempat mengangkat alis, menyeringai tipis, namun senyum itu perlahan luntur saat menyadari jijik yang terpancar jelas dari mata istrinya. Ia mendengus pelan, menelan sisa egonya bersama udara pagi.
Tatapan pria itu turun perlahan, seolah melihat sesuatu yang tak layak berada di hadapannya. Bibirnya tertarik membentuk senyum tipis yang lebih mirip ejekan.
“Kau kelihatan… menyedihkan,” katanya akhirnya, nyaris berbisik. “Seperti boneka rusak yang bahkan toko loak pun enggan memajangnya.”
Laras menegakkan punggung, mencoba tak goyah.
Edward menyeringai kecil. “Oh ya, kau masih bisa bekerja di tempatmu dulu. Aku sudah bicarakan dengan atasanmu. Kerja sama akan tetap jalan... dengan catatan kau tetap profesional. Kupikir, memiliki seorang istri yang masih menjadi karyawan bawahan akan memberi kesan ‘rendah hati’ padaku.”
Ia mendekat, bersandar santai di tepi balkon. “Dan karena kau tinggal di rumahku, aku akan memberimu uang belanja... lima juta sebulan. Cukup, 'kan? Jangan sampai penampilanmu mempermalukan aku di luar. Kalau kau berani tampil seperti kemarin—aku akan pastikan kau menyesal.”
Laras menelan ludah. Tangannya mengepal di pangkuan.
“Tapi lebih dari itu...” Suara Edward menurun nadanya, menjadi lebih dingin. “Aku sudah menghubungi dokter. Kau harus mulai terapi.”
“Terapi?” Laras mengerutkan kening.
“Jangan pura-pura lupa,” suara Edward rendah namun tajam. “Aku masih ingat jelas kata dokter kemarin—kondisimu itu, vaginismus, membuat tubuhmu menolak saat berhubungan badan.”
Tatapan dinginnya menusuk lurus ke mata Laras. “Aku tak ingin kau menamparku… apalagi menendangku, saat aku meminta hakku sebagai suami.”
Ia mendekat satu langkah, cukup dekat hingga napasnya terasa di wajah Laras.
Laras membuang muka, rahangnya mengeras.
“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Jadi, kau harus mulai terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik tepat di telinganya, “...aku pastikan kau tetap ada di kamar ini... mengikatmu di samping ranjang setiap malam. Tanpa busana. Menjadi penonton setiap kali aku menikmati wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar. Tapi kali ini ia menatap Edward tanpa gentar—tatapan penuh muak dan jijik yang tak lagi bisa disembunyikan. “Kau memang sejak awal... tak lebih dari monster,” bisiknya serak, seperti meludah luka yang terlalu lama ia pendam.
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
***
Bayu berdiri di balkon kamarnya, matanya menatap kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkedip seperti ejekan. Angin malam meniup rambutnya, tapi yang membuat dadanya sesak bukan udara dingin, melainkan kenangan yang terus menghantui.
"Laras..." gumamnya lirih.
Malam itu...
Ia menyelinap ke kamar hotel dengan menyamar sebagai staf. Hanya untuk melihat Laras, gadis yang seharusnya jadi istrinya hari itu.
Laras berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin berenda putih yang menonjolkan kesederhanaan dan keanggunannya sekaligus. Cantik. Sangat cantik. Tapi bukan untuknya.
Saat mata mereka bertemu, waktu seolah membeku.
"Aku sudah bilang, Bayu," ucap Laras akhirnya, suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. "Aku memilih ini. Aku ingin menikah dengan Edward."
Bayu menatapnya dengan mata merah, rahangnya mengatup keras. “Kau bohong…”
Laras mengangkat dagunya, mencoba terlihat kuat meski suaranya bergetar samar. “Kalau itu yang kau pikirkan, maka itu urusanmu. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Bayu mengepalkan tangannya, sorot matanya penuh kepedihan. "Jadi… kau benar-benar ingin aku pergi?"
Laras menatapnya satu kali lagi—tatapan yang penuh luka yang tak pernah bisa diucapkan. Dan ketika ia berbalik, Bayu tahu… itu bukan penolakan, tapi pengorbanan.
“Pergilah sebelum mereka menemukanmu.”
Mengingat kenangan itu, Bayu menghela napas berat. Ia melangkah pelan masuk ke dalam kamarnya, membiarkan tirai balkon tetap terbuka. Ia duduk di tepi ranjang dengan napas berat.
Ponselnya ia tarik dari saku celana, layarnya menyala dalam gelap. Jari-jarinya gemetar sedikit saat membuka galeri—dan di sanalah, foto Laras. Foto candid yang diambil diam-diam saat mereka dulu duduk berdua di taman kafe, Laras tertawa kecil sambil memainkan ujung rambutnya yang diacak angin.
Wajah itu masih sama… tapi tidak lagi ceria seperti dulu.
"Kalau kau benar-benar memilih dia karena cinta…" bisik Bayu lirih, "kenapa sorot matamu waktu itu seolah minta diselamatkan?"
Ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Laras bukan tipe wanita yang silau oleh kekayaan. Ia tahu itu lebih dari siapapun. Laras mencintainya… Ia masih yakin akan hal itu.
Dan sesuatu pasti telah terjadi.
"Aku akan cari tahu, Ras," gumamnya pelan namun pasti. "Apapun alasannya, aku harus tahu kenapa kau memilih menikah dengan pria itu."
Tatapannya berubah tajam. Bukan hanya karena rasa cinta—tapi karena naluri. Ada sesuatu yang salah sejak malam itu. Dan Bayu bersumpah dalam hati, jika Laras dipaksa, disakiti, atau dijebak… maka tak akan ada tempat aman untuk pria bernama Edward.
***
Sore itu, Laras nyaris tak berkedip saat Edward melangkah masuk ke kamar, kancing kemejanya masih terbuka sebagian, dan senyumnya penuh kemenangan. Ia berjalan santai, lalu berhenti sejenak di depan cermin. Satu tangannya menyisir rambut ke belakang, sementara ibu jarinya… mengusap bibirnya perlahan.
Gerakan kecil itu menghantam Laras seperti kilasan samar yang menyakitkan. "Kenapa gerakan itu terasa familiar, seolah aku pernah melihat kebiasaan itu sebelumnya—di tempat lain, pada pria lain?"
Perutnya melilit tanpa alasan. Sebuah rasa takut yang tak bisa ia beri nama merayap naik ke dadanya. Ia menunduk perlahan, menatap cincin sederhana yang masih melingkar di jari manisnya—logam kecil yang pernah menjadi lambang harapan.
Dulu, Bayu yang menyelipkan cincin itu ke jarinya dengan janji, "Suatu hari cincin ini akan kuganti dengan cincin berlian, Laras. Tapi bukan sekarang. Nanti. Saat semua sudah siap."
Laras menarik napas panjang, matanya mulai basah. "Berapa banyak janji yang pernah membuatku hidup? Dan sekarang… berapa banyak yang membunuhku pelan-pelan?"
Laras menghela napas berat.
"Sekarang, cincin ini terasa seperti belenggu. Pengingat bahwa harapanku telah dikubur, dan sebagai gantinya… aku harus menyaksikan neraka di balik pintu kamar ini."
Ia menarik napas pelan, matanya kembali pada Edward. Tatapan pria itu tak biasa—bukan sekadar dingin atau kasar. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih tajam. Dan untuk pertama kalinya, Laras mulai bertanya-tanya… "Siapa sebenarnya Edward?"
"Apakah aku pernah benar-benar mengenalnya? Atau sejak awal, aku hanya menikahi bayangan yang dia ciptakan… sementara wajah aslinya tersembunyi di tempat yang bahkan Tuhan enggan menyentuhnya?"
Seketika, Laras merasa kecil. Sendiri. Terjebak di tengah badai yang tak bisa ia lawan, hanya bisa ia rasakan menerjang tubuhnya berulang kali.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
sabar dulu Laras...
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka