Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 ~ Ketakutan
Tiba di rumah, Yuda langsung mempersiapkan sebuah ruangan yang tadinya dijadikan gudang untuk dagangan. Ruangan yang akan dijadikan sebagai tempat ritual. Asih yang bingung dan pertanyaan pun belum mendapatkan jawaban yang pasti. Semua perlengkapan ritual juga sudah Yuda siapkan termasuk meja untuk persembahan dan dipan untuk jenazah sebagai tumbal.
“Mas,” panggil Asih mengetuk pintu ruangan.
Yuda pun keluar dan kembali mengunci ruangan tersebut, membuat Asih semakin heran.
“Mas ….”
“Jangan banyak tanya, aku lakukan ini untuk kamu dan Gita. Ke depannya hanya aku yang boleh masuk ke ruangan ini.”
“Mas, jangan aneh-aneh. Kita bisa mulai semua dari awal, kita tinggalkan kampung ini.”
“Tidak bisa Asih, ini tanah dan rumah peninggalan orang tuaku. Aku harus menjaganya. Tenang saja, apa yang akan aku lakukan ini untuk kalian. Tidak perlu banyak tanya dan tunggu saja hasilnya.”
Asih yang memang kurang kuat pondasi agamanya pun hanya bisa pasrah, baginya titah suami itu bagai titah raja. Tidak lama Yuda pun bersiap pergi, ia harus mencari tumbalnya.
“Asih, ingat pesanku. Jangan banyak tanya dan jauhi ruangan itu. Apa yang aku lakukan murni untuk kebahagiaan keluarga kecil kita.”
Kali ini Yuda pergi membawa gerobak dorong yang dulu digunakan untuk membawa stok barang ke toko atau mengantar barang dengan jarak dekat. Dengan alasan mencari kayu bakar dan pakan ternak pada tetangga yang bertanya, padahal hewan ternak pun tidak punya. Tujuan Yuda adalah pemakaman di kampungnya. Tidak terlihat ada penggali kuburan, artinya tidak yang meninggal hari ini.
Tekadnya hari ini ia harus mendapatkan tumbal. Semakin cepat mendapatkan jenazah, semakin cepat puluh dia mendapatkan kekayaannya. Mendorong kembali gerobaknya, ia bertemu dengan kakak iparnya.
“Kamu ngapain bawa-bawa gerobak begini? Udah kayak pemulung.”
Yuda diam, kalau yang bicara laki-laki mungkin sudah diajaknya adu jotos. Namun, didiamkan malah menjadi. Mulut iparnya kembali mengoceh menghina.
“Memang bisa kamu jadi kaya dengan kerja begini.”
“Bisa mbak, aku bisa buktikan kalau kehidupanku dan Asih akan lebih baik.”
“Halah, Yud. Kalau mimpi jangan ketinggian, kalau kamu bangun lalu jatuh rasanya pasti sakit. Yang ada kamu sakit jiwa, kasihan Asih dan Gita, tambah sengsara.”
Entah terbuat dari apa hati kakak iparnya, Yuda mengepalkan kedua tangan. Ia menyadari pakaian yang dikenakan saat ini memang mengenaskan, kaos oblong dan celana pendek serta topi kerucut yang biasa dipakai ke sawah. Mana mungkin juga Yuda mengenakan batik kalau kendaraannya … gerobak.
“Sakarepmu, Mbak.” Dari pada emosi jiwa karena mulut iparnya adalah maut, Yuda mendorong gerobaknya menjauh. Tujuannya kali ini pemakaman desa tetangga.
Entah dunia sedang mendukungnya karena ada kemudahan, Yuda melihat bendera kuning di salah satu rumah.
“Bau-bau rezeki sudah tercium,” ujarnya gegas menuju pemakaman. Benar saja, terlihat kerumunan sedang menggali kubur.
Sambil memikirkan kapan dia harus mengambil jenazah tersebut, untuk penyamaran ia tetap mencari kayu bakar dan rumput. Digunakan untuk menyembunyikan jenazah yang akan dicuri.
***
Sudah hampir jam sepuluh malam, Yuda menyusuri pemakaman yang sejak tadi siang dia intai. Suasana sudah sepi dan gelap, hanya suara binatang malam yang terdengar. Kalau ditanya takut, sudah pasti. Namun, ia terpaksa memberanikan diri.
Mendadak ia merinding mengingat kejadian semalam, di mana ia ternyata membonceng pocong dan ditertawakan kuntilanak.
“Kuat Yuda, kamu berani. Setelah ini kamu akan banyak berinteraksi dengan jenazah, masa takut. Lagian mereka sudah mati, alamnya sudah berbeda.” Yuda bergumam berusaha menguatkan hati agar tetap berani.
Dengan penerangan lampu senter dan menyeret pacul, mendadak ia lupa di mana makam baru yang sejak tadi siang dia tunggu. Sudah menatap sekeliling, tidak menemukan makam yang baru.
“Ah, sepertinya itu. Aku ingat nisan itu sebagai penanda.”
Gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga yang masih segar dan hanya ada nisan dari papan. Sempat menatap sekeliling memastikan tidak ada manusia lain yang melihat ulahnya di sana.
“Hidup sudah masing-masing, jangan saling ganggu. Aku hanya butuh jenazahmu, jenazahmu.”
Yuda mengayun paculnya mulai menggali. Cukup lama sampai akhirnya cukup dalam dan tubuhnya sudah tidak terlihat. Kain pocong dari jenazah yang dia cari sudah terlihat, tidak mungkin ia kembali menggali dengan pacul, khawatir melukai tubuh si jenazah.
Srek
Terdengar suara dari atas, Yuda pun berdiri dan menengadah bahkan sempat melompat dan melihat keadaan di atas. Khawatir ada orang yang datang dan ternyata tidak ada siapapun, ia kembali berjongkok dan menggali dengan tangan. Tujuannya sudah hampir didapatkan, jenazah sudah hampir sepenuhnya tergali. Saat akan menggeser kepalanya, suara di atas semakin terdengar.
Srek Srek Srek.
Yuda kembali menengadah dan terdiam, memastikan kembali pendengarannya. Suara itu kembali tak terdengar, seperti suara melangkah. Perlahan Yuda berdiri dan …
“Hahhhh.”
Ia berteriak dan jatuh duduk, menatap ke atas di mana sosok pocong sedang melongok ke lubang di mana Yuda berada. Sosok itu menggerakan sebagian tubuhnya pelan ke kiri dan kanan. Bau bangkai dan anyir langsung menguar.
Seumur-umur baru dua kali ini Yuda melihat sosok tersebut dan kedua lututnya sudah gemetar. Bukan penakut, tapi kalau dihadapkan dengan sosok semacam itu secara langsung tentu saja membuat nyalinya ciut.
Tidak ada jalan lain, tidak bisa kabur. Yuda semakin terpojok saat sosok tersebut semakin melongokan kepalanya.
“Aaaaa,” teriak Yuda lagi dengan panik. Kakinya menendang tidak tentu arah, tangannya menggapai dinding tanah untuk naik ke atas. Ia tersandung bagian kaki jenazah dan terjatuh, menimpa jenazah. Wajahnya tepat menghadap wajah tersebut. Ikatan di atas kepala, kapas yang menutup lubang-lubang di wajah membuatnya semakin ketakutan.
“Aaaaaa.”