Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.
Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.
4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.
Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 - Act 1 - Koin kematian
Angin kering berhembus di atas ladang gandum yang berkilau keemasan. Aku mengayunkan sabit, gerakan monoton yang sudah kulakukan sejak kecil. Dari belakang, sebuah tepukan mendarat di pundakku.
“Hati-hati dengan benda itu,” suara kakekku, serak namun penuh wibawa. Ia menyerahkan sebuah kantung kecil berisi koin. “Bawa ini ke kota. Berikan pada Johnson.”
Aku menatap kantung itu dengan heran. “Bukankah minggu lalu kita sudah membayar?”
“Dia minta lebih. Katanya karena banyak bandit berkeliaran,” jawab kakek, meski matanya menatap kantung itu dengan berat hati.
Aku mendengus. “Satu-satunya bandit di kota ini ya Johnson sendiri bersama anak buahnya.”
“James…” Kakek menundukkan kepala, suaranya merendah. “Kerajaan sedang sibuk berperang melawan perompak dari selatan. Mereka tak punya waktu untuk kota kecil ini.”
“Perompak atau bandit, sama saja,” sahutku kesal. “Mereka merampok hasil panen kita dengan alasan ‘melindungi kota’, padahal tak pernah mengurus pencuri atau penjahat lain.”
“Pelankan suaramu,” potong kakek cepat. “Jika anak buah Johnson mendengarmu, kau akan celaka. Pergilah sekarang, sebelum masalah makin besar.”
Aku menghela napas, menyelipkan kantung itu ke saku, lalu berangkat menuju kota Rivera—sebuah kota kecil di tepi Reinar River, sungai terpanjang di Tharion. Sungai itu mengalir dari Iron Coast di selatan hingga Frostmarch di utara. Berkat airnya, ladang kakek menjadi satu-satunya perkebunan gandum dekat kota. Tanpa sungai ini, kami tak punya apa-apa.
---
Sesampainya di gerbang kota, kerumunan warga menarik perhatianku. Mereka bersorak melihat sesuatu.
“Perkelahian! Ada perkelahian!” teriak seorang bocah, berlari memberi kabar.
Aku hanya melirik sekilas. Perkelahian sudah jadi pemandangan biasa di Rivera, jadi aku melanjutkan perjalanan. Tak lama, aku berhenti di depan bangunan yang ramai—Lim Tavern, satu-satunya bar di kota. Dulu tempat ini menjadi pelarian para pekerja setelah seharian membanting tulang. Kini, ia berubah menjadi sarang Johnson dan bandit-banditnya.
Dengan napas berat, aku masuk. Ruangan dipenuhi asap rokok dan tawa kasar. Johnson, pria besar berjanggut merah, duduk di kursi paling tengah. Tubuhnya buncit tapi sorot matanya buas.
“Hey!” Aku melempar kantung koin ke meja di depannya. “Ini dari kakekku. Semoga cukup kali ini.”
Johnson membuka kantung, menghitung isinya. Ia mendengus. “Kupikir aku sudah jelas bilang pada kakekmu. Aku mau lima puluh koin akhir minggu ini. Kenapa hanya dua puluh?”
Aku menatapnya tajam. “Anak buahmu sudah mengambil hasil panen kami. Bukankah itu lebih dari cukup?”
Senyum Johnson menghilang. “Kau ingin cari masalah, anak kecil?”
“Kalau aku ingin masalah, aku takkan datang ke sini,” jawabku dingin.
Hening sesaat. Anak buah Johnson mulai meraba gagang pedang, baja beradu dengan kayu meja. Tegangan di udara begitu pekat. Johnson akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Baiklah. Kali ini kuterima. Tapi minggu depan kau bayar dua kali lipat.” Senyum sinis muncul lagi.
Tanganku mengepal, amarah mendidih. Aku hampir melompat, tapi bartender menatapku tajam memberi isyarat. Aku tahu—ini bukan waktunya. Dengan langkah berat, aku keluar dari tavern.
---
Di jalan pulang, aku bertemu seseorang. Sosok tinggi dengan wajah familiar—Erick, sahabat lamaku. Ia baru kembali dari ibu kota, mengenakan pakaian knight yang sederhana tapi gagah.
“James!” serunya gembira. “Sudah lama sekali!”
Kami berpelukan singkat. Erick mengajakku makan siang di rumahnya. Aku sempat menolak karena harus pulang, tapi akhirnya menerima. Kami sudah lama tak bertemu.
Di rumahnya, kami duduk di meja makan.
“Bagaimana pelatihanmu di ibu kota?” tanyaku.
Erick tersenyum samar. “Awalnya kupikir aku takkan lulus. Tapi saat melihat hasil seleksi, kepercayaan diriku kembali.”
“Jadi kau akan ditempatkan di mana?”
“Komandan bilang akan memberitahu setelah pelatihan akhir. Sampai sekarang belum ada kabar.”
Aku ikut senang mendengarnya, mengingat masa kecil kami: Erick selalu berkelahi dengan anak-anak nakal, dan aku sering ikut turun tangan.
“Jadi kapan kau sendiri akan bergabung?” tanya Erick tiba-tiba. “Bukankah cita-citamu dulu masuk ke Order of the Golden Bastion?”
Aku terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Kau masih ingat saja. Tapi kurasa sudah terlambat bagiku. Kakek butuh bantuan di ladang sejak orang tuaku tiada.”
Erick menepuk pundakku. “Hidup jarang sesuai harapan. Tapi itu bukan berarti kau berhenti bermimpi.” Ia tersenyum hangat. “Ayo, makan dulu.”
Kami makan sambil mengenang masa kecil, hingga senja hampir tiba. Aku pamit untuk pulang.
---
Dalam perjalanan, seekor burung melintas cepat di atas kepala. Lalu beberapa ekor lagi, terbang panik dari arah ladang. Saat itu aku melihat asap hitam mengepul di langit. Dadaku langsung mengeras.
Aku berlari secepat mungkin. Rumah dan ladang kami terbakar hebat. Panas menyengat, api menjilat dinding kayu. Aku menendang pintu, masuk menembus asap pekat. Di lantai, tubuh kakek terbaring lemah, darah mengalir dari perutnya. Di sampingnya, secarik kertas dengan tulisan kasar: “Inilah akibatnya jika kau bermain-main dengan kami.”
Tanganku bergetar. Aku mencoba mengangkat tubuhnya, tapi paru-paruku tersiksa, pandanganku berkunang. Nafasku tersengal. Tubuhku goyah, hampir jatuh.
Lalu suara keras terdengar—pintu diterjang. Erick! Ia meraihku, menyeretku keluar.
“Kakekku masih di dalam!” teriakku putus asa.
“James… maaf. Dia sudah tiada. Fokuslah hidup-hidup keluar!” Erick menggendongku, memaksa keluar dari kobaran api.
Begitu tiba di luar, aku kehilangan kesadaran.
---
Keesokan paginya, aku terbangun di rumah Erick. Tubuhku masih lemah. Erick duduk di samping ranjang.
“Syukurlah kau sadar,” katanya lega.
Aku menelan ludah. “Kakekku…?”
Erick menunduk. “Aku tak sempat menyelamatkannya. Api melahap segalanya. Warga membangun makam simbolis di dekat ladang, sebagai penghormatan.”
Aku memalingkan wajah, emosi menyesakkan dada. Lalu perlahan aku berbisik, “Johnson…”
“Dia masih di Lim Tavern,” jawab Erick cepat, seolah tahu isi pikiranku.
Aku menatapnya tajam. “Dialah pelakunya. Dia bunuh kakekku. Aku akan membalas dendam.”
Erick terdiam, lalu masuk ke kamarnya. Ia kembali dengan dua pedang. Menyerahkan salah satunya kepadaku.
“Kalau kau ingin melakukannya, lakukan dengan benar. Jangan sisakan satu pun dari mereka. Aku akan ikut.”
Aku menatap matanya. “Kau yakin? Ini bisa menghancurkan jalanmu sebagai knight.”
“Tak masalah. Kita hanya akan membunuh bandit. Komandanku tidak akan peduli.” Ia menepuk pundakku. “Kita lakukan bersama.”
Aku menggenggam pedang itu erat-erat. Amarah membara dalam dadaku. Johnson dan anak buahnya akan membayar darah dengan darah.
Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.
Tapi aku coba positif thinking aja