Istri Dadakan Mr. Gynophobia
Di sebuah ruangan yang serba putih dengan bau obat-obatan yang menyengat. Terlihat seorang wanita terduduk di atas brankar nya sembari menatap ke arah jendela. Sedari tadi, tangan kanannya memegang perutnya. Sedangkan, tangan kirinya mencengkram sebuah selimut kecil berwarna biru. Tatapannya terlihat penuh kehampaan dan kekosongan yang baru saja dia alami dalam hidupnya.
Cklek!
Mendengar suara pintu, tak membuat wanita itu mengalihkan pandangannya. Tatapannya tetap mengarah ke arah jendela, menghiraukan suara langkah kaki yang mendekat padanya. Tanpa dia menoleh, dia pun sudah tahu siapa orang yang baru saja memasuki kamarnya.
Srett!
Wanita itu melirik sebuah kertas yang di sodorkan padanya, dia pun mengalihkan pandangannya dan menatap seorang pria berjas hitam yang berdiri di sebelah brankarnya. Tatapan pria itu terlihat datar, dia hanya menatap wanita di hadapannya tanpa ekspresi apapun. Dengan tatapan kosong, wanita itu mengambil kertas tersebut dan membacanya.
"Sesuai kesepakatan, kita akan bercerai setelah anak itu lahir. Tapi sayangnya, tenyata anak itu meninggal sebelum dia bisa lahir ke dunia. Aku tak membenci anak kita, walaupun pernikahan ini karena perjodohan para orang tua. Aku tak akan lagi memaksa hatiku untuk mencintaimu, karena sampai kapan pun ... aku tak akan bisa mencintaimu." Ujar pria itu tanpa membuat wanita tersebut menoleh pada nya.
Wanita itu hanya diam, dia menatap selembar kertas di tangannya dengan hati yang semakin terasa sakit. Keterdiamannya, membuat pria di sebelahnya geram. "ALUNA! JANGAN MEMBUATKU MENUNGGU LAMA! CEPAT TANDA TANGANI SURAT INI!" Sentak pria itu.
Aluna Sagita, seorang wanita cantik berusia dua puluh empat tahun. Satu tahun lalu, dirinya menikah dengan pria bernama Efendi Kalingga. Karena wasiat perjodohan mendiang orang tuanya. Aluna menjadi yatim piatu sejak dirinya berusia delapan belas tahun, dan dirinya pun di rawat oleh orang tua Efendi sampai dirinya menikah dengan putra mereka. Walaupun pernikahan itu terkesan terpaksa, tapi Aluna bisa mencintai suaminya. Tapi tidak dengan Efendi, dia tak mencintai Aluna dan bahkan tak memperlakukannya dengan baik.
Kehidupan rumah tangga mereka tak berjalan selayaknya rumah tangga normal pada umumnya. Sampai dimana Aluna hamil, Efendi merasa dia harus mempertahankan Aluna dan mencoba mencintainya. Namun, pria itu tak bisa. Dia sudah mencoba berusaha untuk mencintai Aluna, tetapi hatinya tetap tak bisa mencintai wanita yang masih menjadi istrinya saat ini.
Hingga, di saat kandungan Aluna yang baru menginjak usia Tujuh bulan. Tak di sangka, hidupnya kembali di terpa sebuah badai yang membuatnya merasa semakin rapuh. Dimana, Bayi Aluna meninggal di dalam kandungan sebelum bayi itu sempat di lahirkan. Efendi merasa itu sebuah kesalahan Aluna, dan dia semakin yakin untuk menceraikan wanita di hadapannya saat ini.
"Kamu sengaja membuat bayiku tiada agar kita bisa bercerai kan?" Pertanyaan Aluna membuat Efendi murka, dia langsung mencengkram pipi wanita itu hingga membuatnya merasa kesakitan.
"Buat apa aku memb*nuh anakku sendiri?! Kamu lah, ibu yang tidak becus menjaga anakmu sendiri! Bagaimana kamu bisa layak menjadi istriku hah?! Sedangkan menjadi ibu saja kamu gagal!" Perkataan Efendi membuat Aluna merasa tersudutkan.
"Cepat tanda tangani surat perceraian kita! Aku sudah muak dengan pernikahan membosankan ini!" Sentak Efendi dan menghempaskan pipi Aluna begitu saja.
Efendi mengambil sebuah pena dari dalam saku jasnya dan melemparnya di hadapan Aluna. Perlahan, wanita itu mengambilnya dan mulai menandatangani kertas perceraian yang pria itu bawakan untuknya. Batin Aluna semakin sakit, setiap goresan tinta yang dia ciptakan membuat luka di hatinya seakan semakin menganga. Sakit, d4d4nya terasa sesak hingga sulit bernafas. Walaupun Efendi tak mencintainya, tapi tak bisa terelakkan jika ada kenangan yang keduanya bangun walaupun itu hanya sedikit.
"Sudah kan?" Efendi mengambil kertas itu kembali, lalu dia melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Matanya menatap ke arah Aluna yang menatapnya dengan derai air mata.
"Kamu boleh membenciku, tapi jangan lupakan jika kamu sudah pernah menjadi seorang ayah. Walaupun hanya sebentar." Lirih wanita itu.
Efendi mengalihkan pandangannya, dia menatap ke sebuah selimut biru yang ada di dekat Aluna. Hati Efendi juga sakit kehilangan anaknya yang berjenis kel4min laki-laki. Walaupun pernikahannya dengan Aluna adalah sebuah keterpaksaan. Tetapi, dia tak membenci anaknya. Namun, setelah anaknya tiada. Efendi, tanpa pikir panjang menceraikan istrinya.
"Biaya pengobatanmu sudah aku lunaskan, aku juga tak mengambil rumah yang sudah menjadi hakmu. Tidak perlu datang ke pengadilan, agar perceraian kita berjalan lancar. Aku pergi, cepatlah sembuh." Setelah mengatakan itu, Efendi pun beranjak keluar. Meninggalkan Aluna yang terlihat sangat rapuh. Tak berselang lama, pintu Aluna kembali di buka oleh seseorang.
Cklek!
"ALUNAAA!" Seorang wanita cantik datang dengan raut wajah yang panik. Dia segera menutup pintu kembali dan mendekati Aluna yang berada di brankar.
"Astaga, Alunaaa! Gimana? Sudah baikan?! Maaf, aku telat datang." Seru wanita itu sembari memeluk Aluna.
Aluna memeluk balik dengan erat, air matanya jatuh. Dia menangis di bahu wanita yang baru saja memeluknya. Merasakan kesedihan Aluna, wanita itu semakin tak tega. Dia membiarkan Aluna menumpahkan segala tangisnya sampai dia lega dengan sendiri.
"Gak papa, belum rezeki. Dia pasti akan menunggu bundanya di tempat terbaiknya." Bisik wanita itu.
"Mega, Mas efendi menceraikanku." Lirih Aluna yang dapat membuat wanita bernama Mega itu membulatkan matanya. Dia melepaskan pelukan mereka dan menatap kaget ke arah Aluna.
"Kok bisa?! Kalian kan baru aja kehilangan anak!" Kaget Kega.
Aluna menggeleng, dia pun terkejut dan tak tahu lagi harus merespon seperti apa. Rasa sakit yang datang padanya bertubi-tubi, terlalu sakit untuk ia tumpahkan segala yang menghimpit d4d4nya. Melihat Aluna yang menangis, Mega mengelus bahunya dengan lembut. Sejak kecil, dirinya sudah menjadi sahabat baik Aluna. Bahkan, orang Tua Mega pun sudah menganggap Aluna sebagai putri mereka. Sedekat itu persahabatan keduanya, membuat Mega tak terima Aluna di sakiti seperti ini.
"Bener-bener buaya darat itu! Lihat saja, aku akan menghajarnya! Kamu, tunggu disini!" Sentak Mega dan berniat untuk menemui Efendi.
"Jangan." Aluna menahan tangan Mega, dia menggelengkan kepalanya dan berharap Mega tak berbuat masalah.
Mega menghela nafas pelan, dia berusaha mengontrol amarahnya. Lalu, wanita itu duduk di tepi brankar dan kembali mengelus bahu Aluna yang bergetar. Dia ingin menangis rasanya, sedih melihat sahabatnya yang seperti ini. "Gak usah nangis terus, laki-laki kayak dia tuh ada ribuan di dunia ini. Kamu cantik, banyak laki-laki yang akan mengantri buat dapetin kamu." Seru Mega memberi semangat.
"Aku sudah tak ada siapa-siapa lagi Mega, keluarga satu-satunya yang aku miliki adalah Mas Efendi. Setelah bercerai, aku ...,"
"Heh! Kamu gak anggap aku keluarga?! Mama bahkan merindukan anak kesayangannya ini. Bagaimana jika kamu tinggal bersamaku? Mama pasti senang sekali!" Seru Mega memukul pelan lengan Aluna.
Aluna tersenyum hangat, matanya berkaca-kaca. Dia lupa, jika dirinya masih memiliki teman baik yang menyemangati hidupnya. Lalu, Aluna pun memeluk kembali Mega. Membuat wanita yang dia peluk tersenyum lebar dan menepuk pelan bahunya.
"Buktikan ke buaya darat itu, kamu bisa hidup tanpa dia! Kamu bisa bahagia tanpa dia! Bahagia Selalu Aluna! Kamu pantas bahagia dengan pria yang waras, tak seperti mas Efendi mu itu!" Seru Mega yang di balas senyuman oleh Aluna.
Sementara itu, masih di satu rumah sakit yang sama. Tampak, seorang pria tampan sedang menatap ke arah sosok pria yang terbaring dengan banyak selang di tubuhnya. Pria itu menyentuh tangan pria yang terbaring lemah itu dan menggenggamnya dengan kuat. Perlahan, kepalanya tertunduk, sebelum dia kembali mengangkatnya dan menatap sendu pada sosok lemah di atas brankar.
"Bangunlah! Apa kamu tidak bosan tidur di brankar ini? Sudah empat tahun, apa kamu tidak ada rencana untuk bangun?"
Cklek!
Seorang dokter datang dengan membawa sebuah berkas. Dia menghentikan langkahnya di samping pria itu dan menatapnya dengan tatapan cemas. "Tuan Arvian, kondisi adik anda tidak kunjung mengalami kemajuan. Jika alat-alat penunjang hidup ini pihak rumah sakit lepaskan, adik anda sudah tiada."
"Siapa yang menyuruhmu melepasnya hah? Biarkan adikku hidup! Walaupun dengan alat-alat itu! AKu Arvian Kent Sagara, akan menuntut pihak rumah sakit jika kalian mencabut alat-alat penunjang hidup adikku!"
___
Mohon dukungannya🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Leni Lani Lay
Baru mampir ya thor...
2024-12-10
0
Anonymous
ok
2024-12-04
0
Anonymous
j
2024-11-28
0