🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan
🌹VOTE🌹
AUTHOR POV
Inanti menarik napas dalam, mencoba memasang senyum terbaik. "Assalamualaikum, Ibu."
"Waalaikumsalam, Inanti Sayang, kemarilah."
Senyuman di wajah tua ibunya membuatnya senang, Inanti datang dan memeluknya. "Ibu, Inan membawa buah-buahan, Ibu mau makan yang mana?"
"Alan ke mana, Nak?"
Inanti menelan ludahnya kasar. "Kak Alan ke luar kota, ada kerjaan katanya. Dia minta maaf tidak bisa datang menemui Ibu."
"Kok panggilnya Kakak? Dia kan suami kamu, panggilnya Mas, biar lebih sopan."
Inanti terkekeh. Mas? Dipanggil Kakak aja dia gak sudi. "Iya, Bu, nanti panggilannya di ubah kok."
"Gimana kandungan kamu?"
"Baik, Bu, lusa kemarin udah Inan periksa, janinnya sehat kok."
"Alhamdulilah, keadaan Alan gimana?"
"Mas Alan juga baik."
"Katanya dia sebentar lagi wisuda?"
"Iya, Bu, dapet gelas S-2 deh dia."
Ibu tertawa mendengar ledekanku, tapi tawanya terhenti tatkala tangan keriputnya mengelus pipiku. Ibu sudah tua, mengandung Inanti adalah berkah baginya. Ibu sangat menyayangi putrinya, dia bilang kehadirannya adalah penyelamat rumah tangganya. Tapi Inanti rasa, Ibu lebih baik tanpa Bapak. Bapaknya adalah seorang yang kasar, pemain tangan dan juga bermulut kotor.
"Keluarganya suami kamu gimana? Baik?"
"Mama nya Mas Alan baik, minggu kemarin dia telpon Inan kok, nanyain kabar Inan."
Ibu kembali tersenyum, Inanti tahu senyumannya menahan rasa sedih. Keluarga besar Alan ada di Depok, berbeda dengan putra pertama Riganta Praja Diwangsa yang berada di Jakarta Selatan, yang tidak lain adalah Alan.
"Mereka…. Masih marah sama kita?"
Inanti menggeleng. "Enggak, Bu, masa iya marah, kan Bapak juga udah dipenjara."
Wajah ibu mendung seketika.
"Ibu jangan sedih, Bapak pantas mendapatkannya. Bukan hanya membawa pergi mobil Pak Riganta, Bapak juga aniya satpam di sana. Itu hukuman untuk Bapa, Bu. Jangan dipikirkan ya."
"Engga, Sayang." Ibu memaksakan senyumannya. "Yang penting sekarang anak Ibu hidup bahagia, sehat, dengan janinnya pun begitu. Kamu akan jadi seorang Ibu, Inan. Umur kamu mungkin masih 18 tahun, tapi kamu harus siap menjadi sosok Ibu."
"Inan siap kok, Bu. Insyaallah, Inan akan menjaga anak Inan seperti Ibu memperlakukan Inan."
"Bagus." Ibu memegang tanganku, sampai senyumannya luntur. "Kenapa tanganmu kasar, Nak?"
"Ah." Inanti tertawa hambar. "Inan selalu masak untuk Mas Alan, jadi agak kasar, he he."
"Jangan kecapean, setahu Ibu, Alan punya pembantu di rumahnya."
Dan ibu tidak tahu pembantu itu telah digantikan oleh putrinya. "Inan suruh dia berhenti, Bu, Inan mau melayani Mas Alan dengan baik."
"Subhanallah, Alhamdulillah kalau Alan memperlakukanmu dengan baik sampai kamu sangat menghormatinya."
"Iya, Bu, Mas Alan baik banget sama Inan." Bohongnya.
Tangan Ibu menyentuh rambutku, dia membiarkan kepala Inanti merebah di dadanya. "Inan?"
"Iya, Bu?"
"Bolehkah Ibu bertanya sesuatu?"
"Tentu, Bu." Inanti menegakan kepala. "Ada apa? Ibu mau makan?"
"Dokter melarang Ibu makan, kan mau operasi."
Operasi jantung, ya Inanti melupakannya. Bagian paling menyakitkan yang membuat tubuh ibunya seringkali membengkak.
"Kenapa kamu belum mengenakan hijab?"
Inanti diam.
"Inan dulu bilang sama Ibu, kalau punya uang mau membeli hijab untuk menutupi aurat. Kenapa belum, Sayang?"
Dan inilah alasan Inanti selalu ingin memakai pakaian bagus di depan Ibu, supaya dia mengira hidupnya sangat bahagia dan bergelimang harta mengingat keluarga Praja Diwangsa adalah pemilik real estate ternama di beberapa kota besar.
"Inanti?"
"Iya, Bu, Inan belum sempat beli."
"Kenapa?"
"Inan belum ijin sama suami."
"Ga mungkin kan Alan larang kamu pakai hijab?"
"Engga, Bu."
"Istri yang sholeh itu akan menolong suaminya kelak di akhirat, bantu suamimu, Nak. Berbakti padanya."
"Iya, Bu, Inan mengerti."
🌹🌹🌹
"Saya mengatakan kemungkinan buruknya, Inan, saya tidak mau membuat kamu kecewa."
Perkataan dokter Imam terasa bagaikan angin belaka bagi Inanti. Apa ini? Dia mengatakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Ibu yang bahkan sampai pada kematian.
"Inanti?"
"Iya?"
"Kamu dengar saya 'kan? Semua penjelasan saya?"
"Iya, Dok, saya dengar."
"Inanti." Tangan dokter Imam menyentuh tangan Inanti, Inanti tahu itu bukan sebuah godaan, tapi sebuah penguatan. Inanti mengenal dokter Imam sejak Ibu masuk ke dalam rumah sakit. "Saya lakukan yang terbaik untuk ibu kamu, tapi dengan berat hati saya harus sampaikan hal ini."
Inanti akhirnya berani membalas tatapan dokter Imam. Dan…. Subhanallah, sesaat Inanti terpana dengan ketampanannya. Dokter Imam punya darah ketimuran, sedangkan Alan memiliki darah Amerika Latin asli dari Mamanya.
"Inan?"
"Iya, Dok, saya mengerti."
"Oke kalau begitu." Dia menatap jam tangan. "Saya akan memulainya lima menit lagi, doakan semoga operasinya berjalan lancar."
"Iya, Dok."
Dan Inanti tahu siapa yang bisa mendengar keluh kesahnya saat ini. Inanti tidak ingin menunggu sambil menangis, Inanti ingin mengeluh, mengeluarkan semua kesedihannya pada Allah.
Diam di mushola rumah sakit selama berjam jam, Inanti bersujud, meminta bantuan pada Allah. Kali ini, sholat duha nya tidak meminta rezeki materi, tapi rezeki kebahagiaan batin. Hanya penciptanya yang bisa menolongnya saat ini.
Sampai sholat dzuhur Inanti berada di sana. Dan apapun hasilnya, Inanti akan menerimanya.
"Mbak, hapenya ketinggalan."
"Oh, iya, makasih, Mas."
"Eh, Mbak yang jualan di warung nasi Mbok Maemunah ya?"
Inanti diam, dengan tangan memasukan ponsel nokia jadul ke dalam tas.
"Hahaha, gue yang sering beli jengkol di warung nasi itu."
'Ohh, ini cowok yang suka pake helm. Tapi kenapa sekarang lo-gue? Biasanya juga sopan nih laki, mentang mentang mirip Justin Bieber. Eh, tapi kok bule doyan jengkol ya? Alan juga engga,' batin Inanti.
"Gue Judi."
'Judi? Nih laki mau buat dosa?'
"Nama gue Judi. Sebenernya pas di warung gue liatin lu, serasa pernah liat dimana gitu, eh ternyata iya pernah ketemu."
"Hah? Kapan? Bukannya di warung pertama kali?"
"Kagak, Lu dulu sekolah di SMA yang deket kantor kejaksaan 'kan? Inget ga dulu lu nyangka gue maling mobil?"
Pas Inanti SMA ada laki laki memakai helm buka pintu mobil paksa. Inanti kira maling, padahal dia pemiliknya.
"Kalem aja wajahnya, udah mau setahun juga."
"Hehehe, Maaf, Mas, waktu itu saya pikir itu bukan mobil Mas nya, lagian pake helm aneh."
"Ya kan dulu lu denger penjelasan gue, itu helm titpan temen gue. Perlu jelasin lagi?"
"Engga engga."
"Lu ngapain di sini?"
"Eh anu." Ya allah Inanti lupa sama hasil operasi. "Saya pamit dulu ya."
"Eh tunggu bentar dong, kenalan dulu. Nama lu siapa?"
"Inanti." Inanti menjabat tangannya, sayang Judi menahan. "Eh, lepasin dong, Mas."
"Jangan gebukin lagi dong, In. Kalem, gue cuma mau minta no WA." Dia menyerahkan ponselnya padaku.
"Kan tadi lihat sendiri ponsel saya mah jadul, mana bisa WA an, internetan juga engga."
"Nomornya aja deh, nanti di telpon."
Secepatnya Inanti pergi setelah memberikan nomor ponsel.
Semakin Inanti melangkah, semakin jantungnya berdetak kencang. Apalagi melihat beberapa suster yang terlihat sibuk. Sampai mata Inanti melihat dokter Imam yang berdiri menatapnya, dia mendekat saat Inanti berhenti melangkah.
"Inanti maaf, saya melakukan yang terbaik."
🌹🌹🌹
Tbc