Tidak terpikirkan oleh Sabrina lulus kuliah kemudian menikah. Pertemuanya dengan Afina anak kecil yang membuat keduanya saling menyayangi. Lambat laun Afina ingin Sabrina menjadi ibu nya. Tentu Sabrina senang sekali bisa mempunyai anak lucu dan pintar seperti Afina. Namun tidak Sabrina sadari menjadi ibu Afina berarti harus menjadi istri Adnan papa Afina. Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Mampukah Sabrina berperan menjadi istri Adnan dan menjadi ibu sambung Afina???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepertinya Mengenal.
Papa Rochmat mengajak pak Abdul ngobrol menjauh dari Fatimah. Entah apa yang mereka bicarakan mungkin masalah bisnis. Sementara Fatimah berbincang-bincang dengan Sabrina menanyakan tentang kuliah.
"Jadi kamu kuliah disini Nak? Jurusan apa?" mama Fatimah ingin tahu banyak tentang pribadi Sabrina. Gadis cantik itu tidak hanya memikat hati Afina. Namun juga membuat hati Fatimah kepincut.
"Jurusan ekonomi Bu," Sabrina mengangguk santun.
"Berarti kenal dengan dosen Lastri?"
"Kenal Bu, malah kenal dengan beliau saat masih SMK dulu," Sabrina ingat ketika tidak bisa membayar ujian, lalu Lastri sang guru yang meluanasi.
"Oh," jawab Fatimah singkat.
"Nak Sabrina, boleh ibu minta nomor hp?" tanya Fatimah.
"Tentu saja boleh Bu," Sabrina segera merogoh tas tukar nomor hp dengan Fatimah.
"Tante Ina, pulang ke rumah papa aku saja," celetuk Afina polos. Membuat Fatimah dan Sabrina saling pandang.
"Nanti bunda tante, di rumah kebingungan menacari tante sayang, seperti nenek Afina tadi, juga kebingungan kan... mencari kamu," Sabrina menjelaskan detail
"Iya juga ya," Afina pun mengerti.
"Tapi lain kali, kita masih bisa bertemu kan Tante?" tampak penuh harap dimata bocah tk yang pintar itu.
"Kalau mau ketemu tante... tiap hari ada disini kok, karena... tante kuliah di sini sayang," Sabrina mencolek pipi bocah montok itu gemas.
"Sabrina... ibu terimakasih ya Nak, jika kamu butuh sesuatu, telepon saya. Kami pamit Nak," Fatimah pun beranjak.
"Baik Tan," Sabrina mencium punggung tangan Fatimah.
"Dadaaa Tante..." Afina melambaikan tangan.
"Daaaaa ..." Sabrina pun menyambut, lalu segera menemui ayahnya yang sedang ngobrol dengan papa Rachmad.
Sabrina berjalan bersama ayahnya dimana mobilnya tadi di parkir memang agak jauh dari masjid. Tampak mobil yang sudah tua, kadang merongrong, sering ke bengkel, karena mesinnya memang sudah saatnya di ganti yang baru. Namun Abdul lebih mementingkan biaya kuliah Sabrina daripada hal yang lain.
"Ayah tadi ngobrol apa sama Om Rachmad? Kok pakai mojok segala?" selidik Sabrina.
"Ayah senang Sabrina, keterlambatan Ayah menjemput kamu membawa berkah," Abdulah menoleh putrinya sekilas mengukir senyum.
"Maksudnya Yah?" Sabrina memutar badan menghadap ayahnya.
"Ayah di tawari membangun sekolah cabang AL INAYAH di luar kota sayang..." tutur Rachmad antusias.
"Alhamdulillah... Ina turut senang Yah, tapi Ayah kalau kecapea-an bagaimana? Apa lagi kerjanya di luar kota pula" Sabrina was-was.
"Ayah kan hanya mengawasi anak buah Na, tidak harus ikut mengerjakan," jawab Abdul santai.
"Ya deh," Sabrina mengangguk.
"Doakan lancar sayang... nanti kalau project ini gold, Ayah akan membelikan kamu motor, supaya nggak mengalami kejadian seperti tadi," kata Abdul.
"Tapi kata Ayah, kejadian tadi membawa berkah. Hihihi..." Sabrina tertawa renyah disambut kekehan oleh sang ayah.
Mobil berjalan sedang, Abdul menoleh putrinya belum ada 5 menit bersandar di jok ternyata sudah tidur pulas, mungkin terlalu lelah. Abdullah merasa kasihan dulu ketika SMP putrinya selalu hidup mewah. Namun ketika SMK mengalami jatuh bangkrut perekonomian pak Abdul pun merosot jauh. Bagusnya Sabrina bukan anak yang manja mengerti keadaan kedua orang tuanya.
********
Setelah kepergian Sabrina, Fatimah segera menghubungi Adnan. Agar tenang dan pulang sendiri dengan mobilnya. Sedangkan Afina pulang bersama Fatimah.
"Kakek... berhenti..." seru Afina, ketika mobil sudah berjalan.
"Ada apa..." papa Rachmad mengerem mendadak.
"Jangan suka ngagetin kakek kalau lagi nyetir dong sayang... bisa bahaya," Fatimah ngelus dada.
"Aku mau turun, lihat kucing dulu," rupanya Afina masih ingat kucing ketika ia tinggal ke masjid tadi.
"Kucing?" tanya Fatimah dan Rachmad bersamaan.
"Iya" pungkas Afina segera membuka pintu perlahan. Ketika menginjak aspal, mata Afina berbinar karena kucing itu masih di tempat semula. Fatimah pun menyusul mendekati cucunya.
"Nenek... aku mau ajak kucing ini pulang," rengek Afina, seraya mengusap lembut kepala kucing yang sedang makan sisa umpan yang di berikan Sabrina tadi.
"Tapi kucing ini belum di Vaksin sayang... jadi tidak boleh di bawa pulang," nasehat Fatimah.
"Biar saja Ma, nanti kita taro di taman belakang, besok baru kita bawa ke dokter hewan." saran Rachmad. Saat ini sudah malam tentu tidak ingin belama-lama disini kasihan cucunya.
"Baiklah... Nanti kita berhenti di minimarket depan Pa, beli pampres," Fatimah mengalah.
"Kucing nya mau di kasih pampres Nek? Hihihi... Nenek... Nenek. Kucing kok di samain dedek bayi," celoteh Afina kas anak-anak membuat kakek nenek itupun tertawa renyah.
*******
Mobil mewah tampak melaju cepat, sang pengendara ingin segera sampai di rumah, dan segera bertemu dengan putri kesayangannya. Dia adalah Adnan setelah mendapat telepon dari Fatimah sejak putrinya sudah bisa di temukan perasan lega membuncah. Adnan berpisah dengan Arman karena arah mereka berbeda.
Pria tampan dan tampak berjenggot yang belum di cucur selama sebulan itu, semakin membuat tampil keren di usianya yang sudah menginjak 32 tahun.
Tin... tiiin... tiiinnn...
Klakson mobil terdengar nyaring ketika sampai di depan rumah mewah milik orang tuanya.
Greeendeeenng..."
Pria bertubuh tegap yang tak lain adalah satpam rumah itu membuka pagar.
"Selamat malam Tuan," sapa satpam.
"Selamat malam, papa sudah sampai, Pak," Adnan memindai mobil papa Rachmad tidak terlihat.
"Sudah satu jam yang lalu Tuan," jawab satpam sambil menutup pagar kembali.
Adnan melangkah cepat mengetuk pintu setelah dibukakan oleh bibi, kemudian masuk ke rumah. Pandanganya tertuju kepada mama Fatimah yang masih menunggu kedatangan putranya. Sedangkan papa Rachmad berada di ruang keluarga.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
"Fina mana Ma?" tanya Adnan memburu, setelah salim tangan Fatimah ingin segera tahu keadaan putrinya.
"Sudah tidur, capek kali Dia, sejak pulang sekolah tadi pagi, ikut kamu sama sekali belum istirahat," tutur Fatimah. Biasanya Afina jika siang selalu bobo.
"Terus... dimana tadi Mama bisa menemukan Fina, Ma? Dia baik-baik saja kan Ma?" cecar Adnan.
"Alhamdulillah... Afina baik-baik saja kok" mama Fatimah mengusap punggung tangan putranya seperti anak kecil.
"Astagfirrullah... hampir mati aku Ma," ucapnya lalu menjatuhkan bokongnya di samping Fatimah bersandar di sofa rasanya lelah jiwa raga.
"Sudah... ini buat pelajaran, lain kali jangan di ulangi, meninggalkan anak sendirian, untung ada gadis baik yang menolong Nan, jika tidak, Mama juga tidak bisa bayangkan," mama Fatimah meraup wajahnya sedih.
"Gadis Ma? Gadis siapa?" secepatnya Adnan duduk tegak menatap Fatimah ingin segera tahu jawabanya.
Mama Fatimah meceritakan pertemuanya dengan Sabrina yang sudah menolong cucu nya sambil tersenyum menatap lurus ke depan.
"Sabrina itu kuliah di kampus kamu Nan, besok kamu temui Dia, jangan lupa bilang terimakasih, ajak makan, kenalan, atau... pokoknya kamu pasti tahu lah," saran Fatimah.
"Sabrina? Kayaknya aku pernah mendengar namanya?" Adnan mengingat-ingat.
"Pokoknya... besok kamu temui Dia, di kampus, nggak usah kebanyakan mikir Nan," tegas Mama.
"Ya sudah Ma, besok aku mau bilang terimakasih sama Dia, sekarang aku mau ke kamar Afina dulu," pungkas Adnan kemudian meninggalkan Fatimah.
Fatimah memandangi anaknya yang sedang naik tangga tersenyum senang.
*******
Yang merasa aneh mengapa tiba-tiba Adnan menjadi duren, nanti akan di kupas habis. Ok! Tetap disini," ❤❤❤ 💪💪💪.
...Happy reading....
lbh gk nyambung lg 🤣🤣🤣🤣
hajar bello