Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 : Problem Dalam Sebuah Hubungan
"Sayang mau itu." Fonix menolehkan penglihatannya pada penjual permen kapas yang ku tunjuk. Jujur saja, setiap berdua bersama Fonix, sifat manjaku kambuh dengan parah. Fonix membeli dua permen kapas untuk masing masing dari kami. Bergandengan di tengah keramaian. Jadi ini rasanya orang pacaran, Seumur hidup aku baru merasakan-nya. Tangan kekar Fonix bergandengan erat dengan tanganku. Kebetulan di dekat sini ada taman bermain, baru di buka dan lumayan banyak pengunjung di hari cerah ini.
"Sayang ke sana yuk!" Tunjuku pada salah satu kios.
"Selamat datang, silahkan menikmati permainan yang kami sediakan." Ucap petugas kios.
Kios itu menyajikan sebuah permainan sederhana, tapi cukup sulit untuk di lakukan. Melemparkan sebuah Bola untuk menjatuhkan Beberapa kaleng yang di tumpuk. Aku sudah mencobanya beberapa kali, tapi percobaan-ku tidak pernah berhasil. Fonix terkekeh dengan ekspresi kecutku.
"Ketawa terus." Aku sedikit kesal, bukan karena Fonix menertawakan ku, tapi karena permainan sialan ini yang membuatku emosi. 'bisa di bakar aja gak sih nih kios'
"Jadilah angin, dan fokus pada satu titik sasaran." Fonix memelukku dari belakang, dan memposisikan tanganku sesuai dengan instruksi-nya. Gadis mana yang tidak akan bllusing jika pacarnya berbuat hal romantis seperti ini. Untungnya Fonix tidak terlalu fokus pada wajahku yang sudah merah ini.
Fonix menggenggam tanganku dan mengarahkan untuk lemparan yang benar.
Klangg
Susunan kaleng itu roboh setelah, terkena lemparan bola yang aku arahkan sesuai instruksi Fonix.
"Selamat kak, silahkan pilih hadiah yang kakak mau?"
Aku yang masih tercengang dengan apa yang terjadi, tidak menggubris ucapan petugas kios barusan. Baru setelah Fonix berbicara—fokusku kembali lagi.
"Kamu mau hadiah yang mana?" Ucap Fonix.
"Eh?" sadar jika aku melamun, aku buru buru melihat hadiah yang tersedia. Ada berbagai macam hadiah yang tersedia, perhatianku tertuju pada sebuah boneka beruang berwarna merah muda yang lumayan besar.
"Aku mau itu." Tunjuku pada boneka tersebut.
...***...
"Gimana hari ini, seru?" Tanya Fonix setelah kami dari kios tadi. Boneka merah muda yang lumayan besar itu terus ku peluk sejak tadi. Layaknya anak kecil yang baru di belikan mainan oleh orang tuanya.
"Banget, tapi nyebelin tau. Permainan-nya ngeselin." Ucapku ketika teringat permainan tadi. "Kok kamu bisa tepat gitu ngarahin bolanya?"
"Rahasia." Ucap Fonix dengan muka jahilnya. Aku mencubit pinggangnya Hingga dia mengaduh ke sakitan.
"Rasain, siapa suruh nyebelin."
"KDRT-mulu ya kamu."
"Maaf, sakit ya?" Aku tidak merasa mencubit Fonix terlalu keras.
"Udah nggak." Ucapnya.
Kami sudah keluar dari area taman bermain. Kini aku dan Fonix memutuskan Untuk Pulang setelah kencan sore hari.
"Lain kali kita jalan-jalan lagi ya." Aku merasa langkah Fonix terhenti. Gerakan tangannya juga terhenti. Saat aku menoleh padanya, pandangan Fonix fokus melihat ke depan dengan ekspresi serius. Karena penasaran, aku juga menoleh ke arah depan.
Seorang pria yang sudah berumur tapi masih terlihat tampan dan kekar, dengan beberapa orang berbaju hitam dengan badan besar di belakangnya. Tunggu! Kalau tidak salah, mereka orang yang menghampiriku waktu di minimarket. Jangan jangan mereka......
"Fonix?"
"Kamu masuk duluan ke mobil." Ucapnya tanpa menoleh ke arahku.
Aku yang mengerti dengan situasi yang mencekam ini segera bersembunyi di dalam Mobil. Aku melihat dari kaca jendela, Fonix menghampiri orang orang itu.
...***...
"Ayah." Ya! Orang di depanku ini adalah Seiya Nahyoora'. Ayahku, Pemimpin Yakuza generasi ke 7. Sekaligus pemimpin paling kuat dibanding generasi sebelumnya. Kenapa ayahku ada di negara ini? Aku pikir dia hanya mengerahkan anak buahnya saja.
"Apa kamu sudah tau, kenapa ayah di sini?" Suara ayahku terdengar datar. Aku tau ada maksud lain dari ucapannya.
"Maaf, aku hanya ingin menjalani Hidupku sendiri. Aku sudah muak dengan peraturan ayah yang selalu mengekangku. Kita memang bukan berasal dari keluarga biasa. Tapi aku ingin menjalani Hidupku seperti remaja lainnya."
"Apa karena gadis yang bersamamu barusan, kamu jadi lembek seperti ini?"
"Jangan Libatkan Freya dalam hal ini. Dia tidak tau apapun. Kalau ayah mau menghukumku silahkan, tapi jangan sekalipun menyentuh Freya. Aku tidak biarkan siapapun menyentuh kekasihku."
"Hoh, jadi kalian berpacaran? Fonix kamu harus ingat, berapa banyak nyawa yang sudah kamu ambil. Jika gadis itu tau, apa menurutmu dia akan terus bersamamu lagi?"
"Itu adalah masa laluku, aku mencintai dia lebih dari apapun."
...***...
"Kita lihat apa dia akan menolong kamu di sitasi seperti ini?"
Bugg
Aku menutup mulutku, dari kaca jendela aku melihat Fonix terbanting oleh Pukulan ayahnya. Apa yang mereka bicarakan sampai ayah Fonix harus memukulnya seperti itu.
Aku melihat ayah Fonix memberi kode kepada orang orang berbaju hitam di belakangnya. Orang orang itu maju dan mengeroyok Fonix dengan brutal. Di menit awal, Fonix masih bisa mengimbangi mereka. Dan aku baru tau kalau Fonix sangat pandai berkelahi. Tapi detik berikutnya, Punggung Fonix dipukul dengan keras di susul pukulan di perutnya. Fonix meringkuk di tanah dengan kondisi luka parah. Aku tidak bisa membiarkan pacarku dipukuli seperti itu.
Brakk
Aku membanting pintu mobil dengan keras. Semua orang menoleh padaku.
"HENTIKAN! JANGAN SAKITI DIA!!!" aku berlari dan memeluk Fonix yang terlihat mengenaskan.
"Jika kalian ingin menyakitinya, lewati aku dulu."
"J-ja-jangan, fre-freya....pu-pulanglah lebih dulu." Ucap Fonix dengan gagap. Aku tau dia menahan rasa sakit di perutnya akibat pukulan tadi.
"Bagaimana aku bisa pulang jika pacarku di pukuli seperti ini!"
Aku menatap tajam pria yang menjadi ayahnya Fonix.
"Aku tidak perduli anda orang tuanya Fonix atau bukan. Setiap orang berhak memiliki kehidupan masing masing. Meski Fonix adalah anak anda, tapi dia berhak hidup sesuai keinginannya. Sebagai orang tua, anda tidak berhak mengatur hidupnya!" Ucapku lantang. Persetan dengan semuanya. Meski ayah Fonix akan tersinggung dengan ucapanku. Aku sudah berjanji untuk menghadapi semua masalah bersama Fonix.
Kulihat ayah Fonix tertawa. Dia menghampiriku cukup dekat. Aku bisa melihat kemiripan wajahnya dengan Fonix.
"Kau satu satunya orang yang berani membentak saya, Gadis kecil. Apa kau tau siapa pacarmu ini?"
"Ya, aku tau. Dia adalah anak tunggal dari keluarga Yakuza. Tapi dia berbeda dengan anda. Fonix tidak pernah tertarik menggunakan kekerasan."
"Itu menurutmu, apa kau tau kalau pacar mu ini sudah mengambil puluhan nyawa di tangannya?" Aku tersentak. Puluhan nyawa? Maksudnya pembunuhan? Tidak, tidak mungkin. Fonix bukan seorang pembunuh.
"Diam! ini masalahku dengan ayah. Jangan Libatkan Freya dalam hal ini." Aku menoleh ke belakang. Fonix berusaha berdiri, menahan rasa sakitnya.
"Dengan kekuatanmu yang seperti ini, apa kau pikir bisa melindungi gadis ini? Asal kau tau Fonix. 'Scorpio Night' sudah bergerak. Dan target utamanya adalah kamu. Tidak menutup kemungkinan, kalau gadis ini akan menjadi sasaran mereka untuk menjebakmu." Aku melihat Fonix terdiam.
'Scorpio night? Siapa lagi mereka?'
"Aku akan melindungi Freya dengan kekuatanku sendiri, tidak perduli apapun yang terjadi."
"Fonix..."
"Terserah saja, urusanmu dengan ayah belum selesai. Kamu harus di hukum karena sudah kabur tanpa seizin ayah. Jika kamu memang laki laki, temui ayah di 'green House'."
Setelah itu aku melihat rombongan ayah Fonix pergi meninggalkan kami berdua.
Bruuk
"FONIX!"