Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESEDIHAN THEO
Setelah keluar dari markas Draken, Theo melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, nyaris menerobos lampu merah. Emosinya masih menggelegak. Adrenalin masih membara dalam darahnya. Namun semakin jauh ia melaju, semakin hampa hatinya terasa.
Setibanya di mansion, suasana gelap dan hening menyambutnya.
Semua sepi. Hampa.
Dan itu memperparah kekacauan di dalam kepalanya.
Tanpa banyak bicara, Theo berjalan lesu ke dalam kamarnya. Ia membuka lemari kayu besar, menarik satu botol whisky tua yang biasa ia simpan untuk momen spesial—meski malam ini bukanlah momen apapun, kecuali malam patah hati yang bahkan belum sempat dimulai.
Dengan langkah gontai, ia duduk di sofa panjang di dalam kamar. Melempar jas hitamnya ke lantai, dan mulai menuangkan isi botol ke dalam gelas kristal. Sekali teguk. Lalu dua. Sampai akhirnya dia tak repot lagi memakai gelas—langsung meneguk dari botolnya.
“Dia anakku… Dia pasti anakku… ” gumamnya pelan, suara yang terdengar seperti bisikan penuh luka.
Pikiran Theo dipenuhi kilas balik. Malam itu. Tubuh Alisha yang meringkuk dalam pelukannya. Tangis kecil yang ia redam dengan ciu man panjang. De sa han Alisha yang selalu muncul di telinganya.
Semua memori itu sekarang berubah menjadi bom waktu di dalam dadanya.
Theo memejamkan mata, memiringkan tubuh, dan tertidur dalam posisi setengah duduk—dengan botol kosong masih dalam genggamannya.
**
Pagi harinya.
Cahaya matahari menerobos jendela besar kamarnya. Tapi Theo masih tergeletak di sofa, wajahnya kusut dan rambutnya berantakan. Aroma alkohol menguar dari tubuhnya. Napasnya berat dan tidak teratur. Di atas meja, ada tiga botol kosong lainnya—entah kapan dia menghabiskannya.
Suara ketukan terdengar dari balik pintu.
Tok. Tok. Tok.
“Tuan muda?” suara pelayan rumah terdengar hati-hati.
Tidak ada jawaban.
Pintu terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya yang bertugas sebagai pengurus mansion masuk dengan ragu. Matanya langsung membelalak melihat kondisi ruangan yang kacau—botol-botol kosong, abu rokok, dan Theo yang masih tertidur dengan pakaian tak berganti.
“Ya Tuhan…” desisnya. “Tuan muda?”
Suara pelayan itu, membangunkan Theo.
“Hmmh...” Theo menggeliat malas, wajahnya menengadah, dan aroma alkohol semakin menusuk.
“Tuan muda, nyonya menunggu anda di meja makan” ucap sang pelayan.
“Aku… tidak mau,” jawabnya parau tanpa membuka mata. Suaranya berat, serak, dan malas.
“Tapi Tuan besar sudah—”
“Aku bilang TIDAK!!” potong Theo tiba-tiba, membuat pelayan itu terlonjak mundur.
Diam. Hening.
Theo menarik napas dalam, menyesal karena telah membentak. Tapi ia tidak punya tenaga untuk meminta maaf. Dia hanya memejamkan mata kembali.
Pelayan itu keluar pelan-pelan, membiarkan pintu terbuka sedikit, sambil menatap Theo dengan tatapan iba.
Sementara itu, Theo kembali terbenam dalam pikirannya sendiri. Kepalanya pening, tubuhnya berat. Tapi yang paling menyakitkan adalah hatinya. Hancur.
Ia menatap langit-langit kamar.
“Aku hanya ingin tahu… kenapa kau pergi dan memilih bersembunyi dariku?”
Air mata tak pernah cocok dengan citra Theo, namun pagi itu, sebutir air bening jatuh begitu saja dari sudut matanya. Entah mengapa, ia merasakan kesedihan yang dalam. Padahal Theo bahkan belum mengenal Alisha. Apalagi anak yang bersamanya, belum tentu benar-benar anaknya.
Namun saat ini, Theo merasa seperti seorang ayah yang ditinggal pergi oleh anak dan istrinya. "Aku sudah gila, hahaha..." Tiba-tiba Theo tertawa sambil mengusap kasar wajahnya, mencoba mengerti mengapa air matanya bisa jatuh.
Tapi, Beberapa saat kemudian, ia kembali menutup wajahnya dan menangis, merasa semua ini adalah karma baginya.
Megan yang hendak masuk ke kamar Theo menghentikan langkahnya. Ia memegangi dadanya, merasakan sesak saat melihat anaknya yang biasanya ceria kini tampak menangis. "Aku harus minta bantuan Alexa," gumamnya pelan, lalu kembali turun ke lantai bawah.