NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20

"Alin, sayang! Kapan kamu datang, Nak?” suara lembut Mama Wina terdengar dari arah tangga, penuh kehangatan seperti biasa.

“Barusan, Ma,” jawab Alin sambil berlari kecil memeluk mamanya. Aroma parfum khas Mama Wina langsung menyelimuti hidungnya. “Mama habis dari mana?”

Mama Wina terkekeh kecil sambil menepuk pelan punggung Alin. “Mama baru pulang, habis arisan, sayang. Aduh, capek tapi seru banget. Papa ada, kan? Kamu udah ketemu sama papa?”

“Udah, Ma. Papa lagi di ruang kerjanya, kayaknya masih sibuk banget,” sahut Alin sambil tersenyum tipis.

“Oh, ya sudah,” jawab Mama Wina sambil melepas pelukan dan mengibaskan tangan kecilnya di depan wajah. “Mama mandi dulu, ya. Gerah banget! Nanti kita makan malam bareng-bareng, oke?”

Alin mengangguk pelan, menatap punggung Mama Wina yang beranjak naik ke lantai atas.

Senyumnya sempat muncul, tapi hanya sekejap. Begitu mamanya menghilang di balik tikungan tangga, senyum itu langsung pudar, berganti dengan tatapan kosong.

Alin melangkah masuk ke kamar dengan langkah lemah. Ia menatap foto pernikahannya dengan Jodi yang terpajang di atas meja rias, senyum mereka di dalam bingkai itu terasa seperti kebohongan manis yang kini menyakitkan.

Tangannya menyentuh permukaan kaca foto itu pelan, seolah ingin menembus waktu.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan di pintu memecah lamunannya.

“Alin, ini Papa. Boleh Papa masuk?” suara lembut tapi khawatir terdengar dari luar.

Alin menarik napas panjang, berusaha menelan getir di tenggorokannya. “Masuk aja, Pa. Gak dikunci kok,” ucapnya lirih, tanpa menoleh.

Pegangan pintu berputar perlahan, dan sosok Papa muncul, membawa tatapan cemas.

“Pa…” ujar Alin pelan, mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku.

Pak Arman menatap putrinya penuh selidik. “Alin, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan? Tumben banget pulang gak ngasih kabar dulu. Biasanya kalau mau pulang, kamu udah heboh duluan bilang ke Papa sama Mama.”

Alin cepat-cepat menggeleng, berusaha tampak santai. “Ah… nggak apa-apa kok, Pa. Alin cuma pengin kasih kejutan aja.” ujarnya, memaksakan tawa kecil yang terdengar janggal di telinganya sendiri.

Pak Arman menyipitkan mata, jelas tak begitu percaya. “Kejutan, ya?” ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah putrinya yang tampak pucat. “Kamu gak lagi berantem kan… sama Jodi?”

Seketika senyum Alin membeku. Matanya beralih ke foto pernikahannya yang masih berdiri di meja rias. “Ng-nggak kok, Pa,” jawabnya cepat, menunduk. “Kita baik-baik aja.”

Tapi suara bergetar di ujung kalimatnya mengkhianati kebohongan yang berusaha ia sembunyikan.

“Syukurlah kalau begitu,” ujar Pak Arman akhirnya, nada suaranya melunak. “Papa cuma pengin kamu bahagia, Lin. Kalau ada apa-apa… sekecil apa pun itu, jangan dipendam sendiri. Cerita aja ke Papa atau Mama, ya?” ucapnya sambil mengelus lembut rambut Alin. Ya, Alin adalah anak angkat kesayangannya pak Arman. Karena beliau bersama mama Wina tidak memiliki keturunan. Apapun yang Alin inginkan, pasti akan mereka turuti.

Alin mengangguk pelan, senyum tipis tersungging di sudut bibirnya. “Iya, Pa…” jawabnya lirih.

Pak Arman berdiri, menepuk bahu Alin dengan lembut. “Ya sudah, kalau gitu kita makan, yuk. Papa yakin Bibi udah masak makanan favorit kamu, ayam kecap sama sup jagung, kan?”

Senyum Alin sedikit melebar, kali ini lebih tulus. “Hmm… iya, udah lama banget gak makan masakan Bibi,” ujarnya sambil berdiri.

“Ya sudah, ayo turun sebelum Mama kamu keburu teriak dari bawah,” ujar Pak Arman sambil tersenyum lebar.

Alin mengangguk dan mengikuti langkah papanya menuruni tangga. Dari arah ruang makan, aroma masakan langsung menyambut mereka, harum ayam kecap, dan sup jagung hangat yang menggoda.

Benar saja, Mama Wina sudah berdiri di dekat meja, tangannya sibuk menata piring. “Nah, ini dia dua orang yang Mama tunggu dari tadi!” katanya setengah kesal, setengah manja.

Pak Arman tertawa kecil. “Tuh kan, baru juga Papa bilang,” godanya pada Alin.

Alin tersenyum, duduk di kursinya, mencoba menenangkan hatinya yang masih sesak. Sementara tawa ringan kedua orang tuanya memenuhi ruang makan, ia hanya bisa menatap piring di depannya, menyembunyikan luka yang tak bisa mereka lihat.

Sembari menyuapkan nasi ke mulutnya, Mama Wina melirik Alin dengan senyum hangat.

“Alin sayang, kabar Jodi gimana? Apa dia masih sesibuk itu di rumah sakit?” tanyanya santai, tapi nada suaranya menyimpan rasa ingin tahu seorang ibu.

Alin terdiam sejenak, menatap potongan ayam di piringnya tanpa benar-benar melihat.

“Ah, iya, Ma… Mas Jodi dari dulu kan memang sibuk,” jawabnya pelan, mencoba terdengar biasa saja.

Mama Wina mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Mama paham. Namanya juga dokter, pasti banyak pasien yang perlu ditangani.”

Namun dari cara matanya memperhatikan wajah Alin, jelas ia merasakan sesuatu yang janggal, senyum anaknya terlalu dipaksakan, suaranya terlalu pelan untuk disebut bahagia.

“Oh iya, Mama hampir lupa,” ujar Mama Wina tiba-tiba, nadanya berubah sedikit serius. Ia menaruh sendoknya di tepi piring, menatap Alin dengan lembut namun penuh arti.

“Mumpung kamu lagi di sini, kemarin Mama dapat pesan dari Mbak Erin. Katanya kamu sekarang sudah

jarang menjenguk Ibu kamu di panti. Benar, sayang?”

Deg.

Sendok di tangan Alin terhenti di udara.

Tatapannya kosong, lalu perlahan ia meletakkannya di tepi piring. Suara logam yang beradu pelan justru terdengar begitu keras di telinganya.

“Ma…” suaranya nyaris tak terdengar, “Alin… akhir-akhir ini memang belum sempat ke sana. Alin sibuk.”

Mama Wina menatapnya dalam, napasnya pelan. “Kamu tahu kan, betapa Ibu kamu selalu nanyain kamu setiap Mama ke sana?”

Alin menggigit bibirnya. Ada rasa amarah yang menekan dadanya, seperti bayangan masa lalu yang tiba-tiba menyeruak.

“Nanti kalau Alin nggak sibuk, Alin ke sana, Ma…” jawab Alin pelan, mencoba terdengar tenang meski suaranya bergetar halus.

Pak Arman menatap putrinya lekat-lekat, lalu meletakkan sendoknya perlahan di meja. “Alin,” ujarnya dengan nada lembut tapi tegas, “sesibuk apa pun kamu, jangan pernah lupa pada Ibu kamu, nak.”

Beliau menghela napas sebentar, lalu menatap wajah Alin yang mulai menunduk.

“Bagaimanapun juga, beliau yang sudah melahirkan kamu… yang dulu berjuang sendirian buat kamu. Jangan sampai kamu menyesal hanya karena waktu yang tak bisa diulang.”

Alin terdiam.

Kata-kata ayahnya terasa seperti tamparan lembut, mengoyak sisi hatinya yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.

Ck, yang dikatakan Papa memang benar… Ibu dulu berjuang sendirian, banting tulang demi membesarkan dua anaknya, dirinya dan sang kakak.

Namun, perjuangan itu juga meninggalkan luka. Sebab untuk bertahan, Ibu harus pergi… meninggalkan mereka yang masih kecil, menunggu dengan mata basah di depan pintu setiap malam.

Alin menunduk, jemarinya menggenggam sendok yang tak lagi bergerak. Kenangan masa kecil itu datang seperti hantaman ombak, samar tapi menyakitkan. Ia masih ingat jelas, malam-malam saat hanya ada suara jangkrik dan janji Ibu yang tak pernah ditepati. “Nanti Ibu pulang…”

Tapi malam berganti tahun, dan Ibu tak pernah benar-benar kembali.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Kadang, orang yang paling ingin kita lupakan adalah alasan kenapa kita sulit bahagia.”

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!