Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Dorion bersandar santai di kursi kayu panjang, satu kakinya disilangkan ke lutut. Tapi kali ini tidak ada senyum nakal di wajahnya. Matanya menatap buku di tangan Elara dengan sorot yang tajam serius, bahkan sedikit gelap.
“Apa kalian tahu,” suaranya pelan tapi berat, “pernikahan tolak bala itu bukan cuma sekadar ritual?”
Mira menatap Dorion dengan kening berkerut. “Maksudmu apa?”
Dorion tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah jendela perpustakaan yang temaram, tempat cahaya sore masuk dengan warna keemasan yang muram. “Itu bukan hanya status atau simbol. Dalam sejarah klan iblis, pernikahan tolak bala diciptakan untuk mengunci energi dua pihak yang dianggap mampu menstabilkan dunia klan. Tapi…” ia menatap mereka lagi, “kalau dilakukan tanpa sepengetahuan atau tanpa izin kedua pihak, salah satu roh leluhur akan menuntut balas.”
Elara membeku. Jarinya berhenti di atas halaman buku tua, menelusuri tulisan kuno yang tampak bergetar halus seolah merespons kata-kata Dorion. “Tuntut balas? Maksudmu… salah satu dari mereka bisa terluka?”
Dorion mengangguk pelan. “Bahkan lebih buruk. Kalau energi mereka tidak seimbang… salah satu bisa kehilangan jiwanya.”
Mira ternganga. “Jadi… pernikahan Arsen dan Selena itu bisa berbahaya?”
“Bisa,” jawab Dorion datar, tapi nada suaranya tajam. “Tapi aneh. Kalau ritual itu benar dilakukan oleh leluhur, seharusnya ada tanda di tubuh mereka ,simbol merah atau perak di pergelangan tangan kiri.”
Refleks, Elara berdiri dari kursinya, membuat debu beterbangan di sekitar meja. “Aku gak lihat tanda itu di Arsen… atau Selena.”
Dorion memiringkan kepala sedikit, menatap Elara lekat-lekat. “Nah, itu artinya…” bibirnya menipis, “seseorang memanipulasi ritual itu.”
Mira menelan ludah, suaranya nyaris bergetar. “Tapi siapa yang bisa? Bukannya ritual itu hanya bisa dilakukan oleh tetua klan?”
“Tidak semua,” ucap Dorion lirih, nada suaranya seperti bisikan. “Masih ada beberapa orang yang menguasai sihir leluhur. Mereka bisa melakukannya tanpa izin… kalau mereka punya darah campuran atau kunci leluhur.”
Elara terdiam. Suara hatinya seperti bergaung di kepalanya sendiri. Ia teringat tatapan dingin orang tua Arsen waktu itu, kalimat yang menggantung tanpa penjelasan, dan keputusan pernikahan yang terlalu cepat.
“Dorion…” panggilnya pelan. “Kalau yang melakukan ritual itu bukan para leluhur… tapi orang tua Arsen sendiri?”
Dorion menatapnya lama. Tatapannya menajam, tapi ada sedikit kilatan prihatin di sana. Akhirnya ia menghela napas berat. “Kalau itu benar, Elara… berarti bukan hanya pusaran hitam yang akan muncul lagi. Dunia klan bisa pecah.”
Mira menatap Elara cemas, lalu menggenggam bahunya. “Jadi… apa yang harus kita lakukan?”
Elara menunduk menatap halaman buku, di mana simbol-simbol kuno tampak bersinar samar seolah menjawab pikirannya. Ia berbicara pelan, tapi tegas, “Kita harus cari tahu siapa yang sebenarnya memulai ritual itu… sebelum semuanya terlambat.”
Dorion tersenyum miring, ekspresinya kembali ke gaya santainya. “Kau benar-benar tidak bisa diam ya, Elara. Selalu cari masalah.”
Elara menatapnya dengan senyum sinis. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa nyelametin klan kalian?”
Dorion terkekeh kecil. “Baiklah, nyonya masalah. Aku bantu.”
Mira hanya bisa menepuk dahinya. “Kenapa aku ikut kalian terus, sih…” gumamnya pasrah.
Hening kembali menguasai ruangan. Hanya suara lembut halaman yang dibalik, dan desiran angin yang masuk lewat jendela batu tua. Di antara mereka, ketegangan bercampur dengan firasat bahwa malam nanti, sesuatu akan mulai bergerak.
