NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:377
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DEBRIEF DAN DISONANSI

​Simulasi Stasiun Gambir membeku selama beberapa detik, sosok-sosok virtual yang panik terhenti dalam pose-pose aneh, sebelum akhirnya seluruh proyeksi itu larut seperti cat air yang disiram air. Aula pelatihan yang hitam dan luas kembali terlihat, dan keheningan yang tiba-tiba terasa memekakkan telinga setelah sepuluh menit dikepung oleh hiruk-pikuk stasiun. Remaja virtual yang kupegang—Anomali bernama "Doni"—menghilang dari genggamanku.

​Adhitama menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. "Gila," gumamnya, kali ini bukan dengan nada frustrasi, melainkan keheranan. "Itu tadi... benar-benar terasa nyata."

​"Itu intinya," suara Pak Tirtayasa terdengar dari belakang kami. Dia berjalan keluar dari bayang-bayang area observasi, sebuah tablet kini di tangannya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sorot kepuasan yang tidak ia sembunyikan.

​"Misi sukses," katanya lugas. "Target diamankan. Tim musuh tidak menyadari keberadaan kalian. Keributan sipil minimal dan berhasil dialihkan. Sebuah operasi yang bersih."

​Dia berhenti di depan kami. "Sekarang, debrief. Adhitama, refleksimu."

​Adhitama tampak sedikit tidak nyaman. Peran yang baru saja ia mainkan—sebagai pengalih perhatian yang ceroboh—jelas bertentangan dengan harga dirinya. "Rencananya berhasil," katanya kaku. "Tapi... rasanya aneh. Saya tidak... melakukan apa-apa."

​"Oh, kau salah," kata Pak Tirtayasa tajam. "Kau melakukan hal yang paling penting. Kau menjadi pengalih perhatian. Kau menarik mata musuh. Kau menciptakan jendela kesempatan yang dibutuhkan Bima dan Sari. Dalam perang rahasia, Adhitama, pertempuran yang tidak terjadi adalah kemenangan terbesar."

​Dia menoleh pada Sari. "Analisismu."

​"Awalnya saya kewalahan," lapor Sari, suaranya kembali datar, otaknya sudah memproses data. "Terlalu banyak input yang tidak relevan. Tapi arahan Bima untuk mencari 'anomali perilaku' alih-alih 'anomali data' adalah kunci yang tepat. Itu mempersempit fokus pencarian saya sebesar 95%. Setelah itu, mengidentifikasi Perekrut dan tim pengawasnya menjadi tugas yang sederhana. Peretasan sistem alarm di lokasi spesifik juga berhasil memanipulasi arus kerumunan sesuai prediksi."

​"Bagus," kata Pak Tirtayasa. "Kau belajar untuk memfilter kebisingan dan mempercayai insting manusiawi—bukan hanya datamu."

​Akhirnya, dia menatapku. "Bima. Kau mengambil alih komando lapangan. Kau menyusun strategi dadakan yang berhasil. Refleksimu."

​"Saya hanya menggunakan apa yang saya lihat," kataku jujur. "Kerumunan adalah medan pertempuran. Kami menggunakan kerumunan sebagai senjata sekaligus kamuflase. Adhitama adalah perisai kami, Sari adalah pisau kami. Saya hanya... menunjukkan ke mana mereka harus mengarah."

​Pak Tirtayasa mengangguk pelan. "Tepat. Masing-masing dari kalian menggunakan kekuatan kalian, tetapi tidak dengan cara yang kalian harapkan. Adhitama menggunakan kehadirannya yang mengintimidasi sebagai alat. Sari menggunakan fokusnya alih-alih jaringnya yang lebar. Dan Bima menggunakan otaknya alih-alih kekuatan mentahnya."

​Dia menatap Adhitama dengan tajam. "Aku tahu apa yang kau pikirkan, Adhitama. 'Kenapa kita tidak melumpuhkan saja mereka bertiga?' Kau bisa saja menghantam Perekrut itu, dan aku yakin Bima bisa melenyapkan dua penembak jitu di balkon dalam sekejap. Benar, bukan?"

​Adhitama mengangguk. "Ya. Akan jauh lebih cepat."

​"Dan jauh lebih bodoh," balas Pak Tirtayasa dingin. "Apa yang akan terjadi selanjutnya? Tiga mayat di stasiun kereta api yang ramai. Puluhan saksi mata. Kepanikan massal. Dalam lima menit, Densus 88 akan mengepung tempat itu. Dalam satu jam, Cakra akan tahu persis bahwa ada tim Anomali elit tak dikenal yang beroperasi di Jakarta. Dalam satu hari, mereka akan mulai memburumu dan keluargamu."

​Dia berhenti, membiarkan gambaran itu meresap. "Perang ini tidak dimenangkan dengan siapa yang memukul paling keras. Perang ini dimenangkan dengan siapa yang bisa menyelesaikan misi dan pulang ke rumah untuk makan malam tanpa ada yang tahu mereka pernah ada di sana. Tujuannya adalah operasi bedah yang senyap, bukan pembantaian."

​"Kita adalah hantu, bukan tentara," lanjutnya. "Kita menang dengan membuat musuh bertanya-tanya apakah yang baru saja terjadi adalah kesialan, atau kesalahan mereka sendiri. Kita tidak pernah memberi mereka target untuk dibalas."

​Wajah Adhitama mengeras, tetapi aku bisa melihat pemahaman di matanya. Dia tidak menyukainya, tetapi dia mengerti. Logika itu tak terbantahkan.

​"Simulasi pertama kalian... lulus," kata Pak Tirtayasa. "Kalian punya waktu satu jam untuk istirahat dan makan siang. Setelah itu, kita lanjut ke level dua. Bubar."

​Dia berbalik dan pergi, meninggalkan kami bertiga dalam keheningan arena yang luas.

​"Hantu," gumam Adhitama sinis. "Aku tidak berlatih seumur hidupku untuk menjadi hantu."

​"Kau berlatih untuk menjadi kuat," kataku sambil berjalan melewatinya menuju pintu keluar. "Dia baru saja menunjukkan padamu cara baru untuk menjadi kuat."

​Sari mengikutiku, tabletnya sudah menyala, tidak diragukan lagi sedang meninjau ulang setiap detik dari simulasi tadi. Adhitama mendengus, tetapi dia mengikuti kami.

​Koridor putih terasa lebih netral sekarang. Kami berjalan ke area komunal yang berfungsi sebagai kantin dan ruang istirahat. Tempat itu terang, dengan beberapa meja bundar dan dapur kecil yang lengkap. Beberapa analis yang kulihat di pusat komando tadi sedang makan siang, mengobrol pelan.

​Dan di sudut, duduk sendirian di dekat dinding kaca yang menghadap taman buatan di dalam ruangan, adalah Rina.

​Gadis dari gudang pelabuhan.

​Dia tidak lagi mengenakan pakaian kotor dan sobek. Dia mengenakan seragam yang sama seperti kami—kaus hitam dan celana kargo. Kakinya yang cedera terbalut gips putih bersih, terangkat di kursi lain. Dia sedang menatap ke luar jendela buatan, tetapi aku tahu dia tidak melihat apa-apa.

​Adhitama berhenti saat melihatnya. Sari memperlambat langkahnya.

​Rina menoleh saat merasakan kehadiran kami. Matanya melebar sedikit saat melihatku, dan ada kilatan rasa takut yang tersisa. Tapi kemudian, sesuatu yang lain muncul. Dia menegakkan punggungnya sedikit.

​Aku berjalan ke arahnya, Adhitama dan Sari mengikutiku beberapa langkah di belakang.

​"Hai," kataku pelan. "Bagaimana kakimu?"

​Dia tampak terkejut aku berbicara padanya. "Oh... uhm, kata dokter, akan baik-baik saja. Patah tulang bersih. Mereka... mereka sangat baik di sini." Dia menatap gipsnya. "Mereka bilang aku aman sekarang."

​Dia mendongak menatapku, matanya yang besar kini jernih dari teror malam itu. "Itu... itu Anda, kan? Di gudang. Anda yang menghentikan mereka."

​"Kami bertiga," kataku, memberi isyarat ke Adhitama dan Sari.

​Rina menatap kami bertiga. "Aku tidak... aku tidak ingat banyak. Hanya... rasa takut. Dan teriakan. Lalu... Anda." Dia menatapku lagi. "Anda membuat semuanya... diam."

​Aku mengangguk. "Senang melihatmu baik-baik saja, Rina."

​"Mereka bilang... mereka bilang aku punya kekuatan," bisiknya, seolah takut mengatakannya keras-keras. "Seperti... tele... telekinesis."

​"Ya," kataku. "Sama seperti kami. Kami semua di sini punya sesuatu yang istimewa."

​"Dan Pak Tirtayasa bilang... aku bisa belajar mengendalikannya di sini," lanjutnya, secercah harapan muncul di suaranya. "Dia bilang aku bisa berguna. Seperti kalian."

​"Kau akan baik-baik saja," kataku.

​Rina menatapku lama, lalu dia memberiku senyuman kecil yang goyah. "Terima kasih," bisiknya. "Karena... tidak meninggalkanku di sana."

​Sebuah kehangatan yang tak terduga menjalari dadaku, sesuatu yang jauh lebih nyata daripada gema kekuatan dewaku. Ini adalah alasan aku melanggar perintah. Ini adalah hasilnya. Berdiri tepat di depanku.

​"Istirahatlah," kataku.

​Kami mengambil makanan kami—makanan berkualitas tinggi yang disajikan secara prasmanan—dan duduk di meja lain. Selama beberapa menit, kami makan dalam diam.

​"Jadi, itu," kata Adhitama pelan, menusuk-nusuk makanannya. "Itu sebabnya kita melakukan ini."

​"Dia adalah salah satu dari banyak alasan," kata Sari, matanya tidak beralih dari tabletnya (dia makan dengan satu tangan). "Data intelijen awal dari file Cakra yang berhasil kuretas semalam menunjukkan mereka memiliki setidaknya dua belas fasilitas 'penelitian' seperti itu di seluruh Asia Tenggara. Rina adalah satu dari ratusan."

​"Mereka tidak akan berhenti," kataku. "Dan sekarang, mereka tahu ada yang melawan. Mereka mungkin tidak tahu siapa kita, tapi mereka tahu misi pengambilan Rina gagal."

​"Itu berarti," kata Adhitama, akhirnya mengangkat kepalanya, "mereka akan meningkatkan keamanan mereka."

​"Tepat," kataku. "Dan itu berarti... pelatihan kita selanjutnya akan jauh lebih sulit."

​Seolah dipanggil oleh kata-kataku, suara Pak Tirtayasa terdengar dari pengeras suara di langit-langit. "Tim Alpha, istirahat selesai. Kembali ke Arena. Segera."

​Kami saling berpandangan. Waktu istirahat kami yang satu jam baru berjalan tiga puluh menit.

​Saat kami tiba kembali di aula pelatihan, suasananya sudah berubah. Lampu-lampu lebih redup, dan Pak Tirtayasa berdiri di depan konsolnya dengan ekspresi serius.

​"Intelijen baru masuk," katanya tanpa basa-basi. "Cakra sedang memindahkan server data regional mereka dari salah satu kantor cabang mereka di Jakarta Selatan. Mereka akan melakukannya malam ini. Data di server itu berisi daftar Anomali baru yang sedang mereka pantau. Kita harus mendapatkannya."

​Dia menatap kami. "Simulasi Level 1 selesai. Selamat datang di Level 2: Misi Infiltrasi dan Ekstraksi di Bawah Tekanan."

​Arena di sekitar kami berubah lagi. Kali ini, kami berdiri di lorong layanan yang gelap dan sempit di luar sebuah gedung kantor modern yang menjulang tinggi di malam hari. Hujan virtual turun, membuat semuanya berkilauan.

​"Ini adalah Kantor Cabang Cakra," jelas Pak Tirtayasa. "Sangat dijaga ketat. Misi kalian: masuk, capai ruang server di lantai 20, retas brankas data, ambil hard drive, dan keluar. Diam-diam."

​"Tantangannya?" tanya Adhitama, tampak bersemangat.

​"Sistem keamanan mereka tidak hanya teknis," kata Pak Tirtayasa. "Patroli mereka... ditingkatkan. Mereka bukan satpam biasa. Mereka adalah Anomali level rendah, atau tentara bayaran yang disuntik dengan serum peningkat fisik. Mereka lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada."

​"Sari," lanjutnya, "ini adalah neraka bagimu. Seluruh jaringan mereka terenkripsi dengan protokol kuantum. Kau tidak akan bisa meretas alarm kebakaran atau mematikan kamera dengan mudah. Kau harus berada di dalam, terhubung langsung ke terminal mereka."

​"Adhitama, kau adalah palu godam. Akan ada pintu baja dan patroli yang harus kau tangani. Tapi ingat: jangan berisik. Gunakan kekuatanmu untuk melumpuhkan, bukan menghancurkan."

​Akhirnya, dia menatapku. "Dan Bima. Kau adalah hantu. Sari akan membawamu ke ruang server. Tapi brankas datanya terbuat dari paduan yang sama dengan kubus hitam yang kau sentuh pagi ini. Pistol tidak akan membukanya. Bom tidak akan membukanya. Tapi kau... kau bisa."

​Dia menatapku tajam. "Aku ingin kau membukanya. Bukan menghancurkannya. Aku ingin kau menguraikan mekanisme kuncinya di tingkat molekuler. Presisi. Kontrol. Bisakah kau melakukannya?"

​Aku mengangguk pelan. Dia memaksaku untuk menggunakan kekuatanku, tetapi sebagai alat, bukan senjata.

​"Kalian punya 20 menit sebelum tim reaksi cepat mereka tiba setelah alarm internal pertama berbunyi," kata Pak Tirtayasa. "Timer dimulai... saat Sari mendeteksi patroli pertama."

​Sari memejamkan matanya. "Aku melihatnya. Dua... tidak, tiga patroli. Berpola. Dua di lobi. Satu di lantai tiga. Mereka... detak jantung mereka terlalu lambat. Terlalu teratur. Mereka memang bukan manusia biasa."

​"Timer dimulai," kata Pak Tirtayasa.

​"Baiklah," kataku, mengambil posisi memimpin secara alami. "Kita tidak bisa lewat lobi. Sari, jalan lain?"

​"Ada pintu servis di belakang gedung, tapi terkunci secara magnetis," bisik Sari.

​"Adhitama," kataku. "Bisakah kau membukanya tanpa memicu alarm?"

​Adhitama tersenyum. "Berikan aku tiga detik."

​"Bagus," kataku. "Sari, pimpin jalan. Adhitama, kau jaga belakang. Aku di tengah. Bergerak seperti hantu."

​Kami bertiga berlari menembus hujan virtual, bayangan-bayaran yang bergerak menuju jantung pertahanan musuh. Pelatihan telah berakhir. Misi telah dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!