Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Shindy segera menekan tombol ketika menatap monitor jantung Arkan bergaris lurus, menandakan berhenti berdetak. Ketika menunggu dokter masuk, ia menguatkan jiwa dan raga. Namun, tetap saja dadanya sesak.
"Bangun Ar, kamu harus kuat, ayo Ar" Shindy mencium tangan suaminya lembut. "Kalau kamu begini, bagaimana mau melindungi aku."
Shindy masih saja mengajak Arkan berbicara walaupun kemungkinan Arkan hidup sangat kecil. Tetapi Shindy berharap Allah tidak akan menguji hambanya yang tidak kuat menerima, walaupun kondisi Arkan saat ini seperti itu.
Mendengar derap langkah sepatu, Shindy mengusap air matanya. Masuk dokter Hery berjalan cepat diikuti perawat di belakangnya menyuruh Shindy menunggu di luar.
Shindy mengangguk lalu berdiri dari sisi tempat tidur Arkan. Dengan hati berat, sedih, khawatir dan cemas, Shindy pun meninggalkan ruangan. Sesekali menoleh ke belakang ketika dokter menekan dada Arkan dengan alat. Shindy tidak kuat menahan tangis ketika membuka pintu dan bersandar di pinggir ruang ICU yang sepi. Pipi yang sudah mulai kering pun kini kembali basah karena air mata. Hingga beberapa menit kemudian, Shindy sadar bahwa yang ia lakukan sia-sia saja. Sebab, tangisnya tidak akan membuat Arkan yang berjuang melawan sakit di dalam sana sembuh.
Hingga lima belas menit menunggu, tapi tidak ada dokter keluar, Shindy meninggalkan tempat itu ambil air wudhu, kemudian shalat di bawah tangga. Dalam doa nya, ia memohon agar Arkan sembuh seperti sedia kala dan diberikan kesempatan untuk bersama dengan Arkan hingga menua.
"Shindy, bagaimana keadaan Arkan sayang?" Tanya Adisty ketika Shindy sudah duduk di ruang tunggu hanya seorang diri.
"Mama..." Shindy kaget menatap mertua wanita duduk di kursi roda dan didorong Alexander ke arahnya. Wajah pucat, mata cekung, menatapnya redup. "Mama belum sehat kok keluar?" Shindy mengalihkan pertanyaan Adisty, lalu berjongkok di depan kursi roda.
"Kamu Mama tanya kok malah tanya lagi, Mama baik-baik saja kok Shi" lirih Adisty, lalu bertanya untuk yang kedua kali tentang Arkan.
Shindy tidak tahu jika Adisty minta diantar suaminya keluar dari ruang rawat karena ingin menjenguk putranya. Shindy hanya termangu, bingung entah mau menjawab apa. Ingin jujur jika saat ini Arkan sedang tidak baik-baik saja, tapi Shindy khawatir dengan kondisi Adisty saat ini.
"Pa, antar aku ke dalam" Adisty menatap Alexander, karena tidak mendapat jawaban dari Shindy. Padahal Adisty bisa menangkap kesedihan Shindy jika ada sesuatu yang disembunyikan.
"Arkan sedang diperiksa Ma, makanya saya disuruh keluar oleh dokter" Shindy mempunyai jawaban yang tepat. Shindy menatap papa mertua ingin rasanya bercerita keadaan Arkan, tapi mana mungkin. Karena Adisty pasti akan mendengar.
"Sebaiknya Mama kembali ke kamar dulu" Alexander memutar kursi roda ke ruang rawat. Dalam perjalanan, ia berjanji akan mengantar istrinya menjenguk Arkan bila sudah diperbolehkan.
Alexander sebenarnya ingin segera bertanya tentang Arkan kepada Shindy, karena ia bisa membaca bahwa Shindy menyembunyikan sesuatu tentang putranya.
Shindy menatap mertuanya dari belakang, tidak lama kemudian Alexander kembali lagi. "Bagaimana Arkan Shy?" Tanyanya kemudian.
Shindy menarik napas, lalu menceritakan apa yang terjadi dengan Arkan 20 menit yang lalu.
"Tolong temani Mama, saya mau menemui dokter" kata Alexander yang paling panjang selama menjadi mertua Shindy.
"Baik Pa" dengan langkah tergesa-gesa Shindy masuk ke ruangan mama Adisty.
"Ma" Shindy duduk di samping mertuanya tiba-tiba menangis tergugu.
"Shy..." kali ini gantian Adisty yang bingung dengan Shindy.
"Saya minta maaf karena pergi dari rumah tidak pamit keluarga, Ma" Shindy mengakui kesalahannya. Seharusnya bisa berpikir panjang, saat itu ia memang sedang marah kepada Arkan. Tetapi mama Adisty sangat baik kepadanya seperti anak sendiri, seharusnya Shindy bisa ambil hikmahnya bukan malah kabur dari rumah.
Andai saja Shindy tidak kabur, mungkin saja Arkan tidak akan mengalami nasib seperti ini.
"Sudah..." Adisty menggerakkan telapak tangan mengusap kepala Shindy. Dengan suara lirih Adisty menasehati Shindy. "Yang sudah, ya sudah Nak..." lanjutnya.
"Terima kasih Ma" Shindy mencium punggung tangan mertuanya lembut.
"Kamu harus kuat demi Arkan dan Mama" Adisty tidak ingin menantunya ikut rapuh hingga semuanya tumbang.
"Iya Ma"
Selama satu jam Shindy menemani Adisty, Alexander belum juga kembali. Dua wanita itu diam dalam pikiran masing-masing.
Pikiran Shindy tidak tenang apa yang terjadi di ruang ICU? Layar monitor yang bergaris lurus tadi terus saja melintas di depan matanya. Apa yang terjadi dengan Arkan?
"Tolong ambil hape Mama, Nak?" Titah Adisty, mengejutkan Shindy.
"Baik Ma" Shindy ambil handphone di atas meja lalu memberikan kepada Adisty.
Pikiran Adisty juga tidak tenang, kemana sang suami hingga kini tidak juga kembali. Adisty mencoba menghubungi suaminya tetapi tidak diangkat.
"Biar saya cari sebentar, Ma" Shindy pun keluar dari ruang inap setelah disetujui Adisty. Ia hendak mencari papa Alexander ke depan ruang ICU. Sekaligus mencari tahu tentang kondisi Arkan.
Jantung Shindy berhenti berdegup ketika Ambulan Stretcer yang di dorong dua orang keluar dari ruang ICU. Shindy diam terpaku hingga Stretcer melintas di depannya.
"Arkan..." Shindy menatap tubuh seseorang yang di tutup kain melintas di depannya. Reflek tangan Shindy menahan Stretcer hingga berhenti. Tidak peduli dengan larangan petugas, tangan Shindy gemetar menyibak kain penutup kepala.
"Arkaaannn..."
...~Bersambung~...
.
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih