Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Setelah keluar dari ruang ICU, Khanza dikejutkan dengan kedatangan pengacara Reza.
"Pak Dayu? Kenapa Bapak disini?" tanya Khanza dengan wajah kebingungan.
Pak Dayu memberikan surat perceraian yang sudah ditandatangani oleh Reza
"M-maksud Bapak apa?"
Khanza menerima map cokelat itu dengan tangan bergetar.
Jantungnya berdetak tak karuan ketika membaca tulisan di halaman pertama.
“Surat perceraian?” suaranya tercekat, matanya langsung berkaca-kaca.
“Saya hanya menjalankan tugas, Bu. Tuan Reza sudah menandatangani berkas ini sebelum beliau masuk rumah sakit. Beliau meminta saya menyerahkannya langsung pada anda dan ini ada surat dari beliau" ucap Pak Dayu.
Pak Dayu mengatakan kalau kemarin Reza mampir ke kantornya.
Dengan tangan bergetar, Khanza membuka amplop berwarna putih yang diserahkan Pak Dayu.
Kertas itu bergetar di genggamannya, matanya kabur karena air mata yang terus jatuh.
Tulisan tangan Reza yang tegas namun bergetar karena sakit tampak memenuhi halaman itu.
Za…
Jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah gagal menjadi suami yang kamu harapkan.
Maafkan aku, Za. Maaf karena aku selalu membuatmu menangis.
Maaf karena aku terlalu cemburu, terlalu takut kehilanganmu, sampai akhirnya aku justru menyakiti kamu.
Aku tahu kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari sekadar rumah tangga penuh pertengkaran.
Aku terlalu egois, Za. Aku mencintaimu, tapi aku sadar cinta saja tidak cukup.
Jika hatimu memang lebih nyaman dengan Yanuar atau Devan, pergilah. Aku ikhlas melepasmu.
Aku tidak ingin kamu terpenjara dalam pernikahan yang hanya membuatmu sakit.
Semoga Allah memberimu jalan kebahagiaan, meski bukan bersamaku.
– Reza
Khanza menangis sesenggukan saat membaca surat dari suaminya.
"Aku nggak mau menandatangani surat ini. Aku mencintai Mas Reza! Bukan Yanuar atau Revan!" ucap Khanza.
Dari balik ruang ICU, Reza melihatnya bayangan istrinya yang menangis sesenggukan.
Khanza bangkit dan ia meminta perawat untuk mengijinkannya untuk menemui Reza.
Perawat memandang dokter yang sedang berdiri di hadapannya.
"Baiklah, tapi jangan membuat pasien semakin stress." pinta dokter.
Khanza menganggukkan kepalanya dan ia segera masuk ke ruang ICU.
Ia melihat suaminya yang mengalihkan pandangannya saat melihat Khanza masuk kedalam ruang ICU.
"M-mas, tolong jangan ceraikan aku. A-aku minta maaf karena sudah membuatmu cemburu. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Khanza sambil menggenggam tangan suaminya.
Reza masih memejamkan matanya dan menyingkirkan tangan Khanza.
"Pergilah, Za. Aku sudah mengikhlaskan kamu untuk bersama dengan Yanuar atau Devan. Memang sejak pertama kali kita menikah kamu tidak pernah mencintai aku. K-kamu hanya terpaksa, Za."
Khanza kembali menggelengkan kepalanya dan meminta agar Reza memberikannya satu kesempatan.
Reza menggelengkan kepalanya dan ia masih sakit hati saat melihat rekaman Khanza dengan Devan di pantai.
"Maaf, Za. Hubungan kita sampai disini saja." ucap Reza.
"Mas, jangan bicara seperti itu. Aku masih mencintai kamu, Mas. Aku tidak mencintai Yanuar ataupun Devan. Kasih aku satu kesepakatan lagi, Mas." pinta Khanza sambil duduk berjongkok di samping suaminya.
Reza menggelengkan kepalanya dan meminta perawat untuk mengajak keluar Khanza.
Khanza menggelengkan kepalanya dan meminta Reza untuk tidak mengusirnya.
"Mas Reza! Aku mencintaimu, Mas"
Mama langsung memeluk dan menenangkan Khanza yang histeris.
"Za, berikan suamimu waktu dulu. Jangan seperti ini. Kamu harus tenangkan diri dulu, Za."
"T-tapi, Ma. Aku mencintai Mas Reza. Bukan Yanuar ataupun Devan!"
Melihat Khanza yang semakin histeris, Mama mengajak Khanza untuk keluar dari rumah sakit.
Ia memintanya Dessy untuk tetap menunggu di depan ruang ICU.
Mama mengajak Khanza ke dalam mobil agar bisa menangis disana.
"Za, jujur sama Mama. Apakah kamu masih mencintai Yanuar atau Devan?"
Khanza menggeleng keras, air matanya deras membasahi bahu mamanya.
“Ma, demi Allah, aku nggak mencintai Yanuar atau Devan! Aku cuma cinta Mas Reza, hanya dia, Ma.” suaranya serak, nyaris tak keluar.
Mama menatap putrinya lekat-lekat, mencoba mencari kejujuran di matanya yang sembab.
Ia menarik napas panjang, lalu mengusap pipi Khanza.
“Kalau begitu, buktikan ke suamimu, Za. Jangan hanya dengan kata-kata. Buktikan kalau cintamu itu nyata. Tapi jangan memaksa. Biarkan dia melihat kesungguhanmu lewat tindakan, bukan hanya tangisan.”
“Aku takut, Ma. Aku takut kehilangan dia selamanya. Kalau sampai Mas Reza ninggalin aku.Aku nggak sanggup, Ma.”
Mama menggenggam tangan Khanza erat-erat, matanya menatap tajam ke arah putrinya yang masih basah oleh tangis.
“Za, dengarkan Mama. Kata-kata itu tak cukup. Kalau kamu benar-benar cinta, tunjukkan melalui perbuatan. Jangan hanya meratap. Tunjukkan padanya bahwa kamu mau berjuang bukan karena gengsi, bukan karena terpaksa, tapi karena kamu memilih dia,” ucap Mama pelan namun tegas.
Khanza menganggukkan kepalanya dengan suaranya yang macet di tenggorokannya.
“Aku takut, Ma. Aku takut Mas Reza tak mau lagi lihat aku.”
“Kalau kamu terus berpangku-tangan, kamu tidak akan tahu jawabannya. Tunjukkan pada dia siapa Khanza yang sebenarnya,” Mama membalas sambil menyeka pipi putrinya.
Khanza menganggukkan kepalanya dan akan menunjukkan bahwa ia bukan Khanza yang dulu.
"Sekarang, ayo kita keluar dan kembali kesana." ajak Mama.
Khanza tersenyum tipis dan kembali ke ruang ICU.
Sementara itu di tempat lain dimana Devan sudah mengetahui jika Reza berada di rumah sakit.
Ia segera mengganti pakaiannya dan menuju ke rumah sakit.
Devan bergegas masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah serius dan langsung menuju meja resepsionis.
“Permisi, pasien atas nama Reza dirawat di ruang mana?” tanyanya cepat.
“Di ruang ICU, lantai tiga, Pak,” jawab perawat.
Devan segera melangkah cepat ke lantai tiga dan di sana, ia melihat Khanza yang duduk menunduk di kursi depan ruang ICU.
Khanza menoleh dan terkejut melihat Devan ada di rumah sakit.
"Kenapa kamu ada disini? Jangan kesini? Mas Reza nanti salah paham lagi," ucap Khanza meminta Devan untuk pergi dari rumah sakit.
Devan menggelengkan kepalanya dan ia datang ke rumah sakit karena khawatir dengan Khanza.
"Dev, aku mohon. Jangan mempersulit aku. Aku mencintai Mas Reza." ucap Khanza.
"Za! Jangan bohongi hati nurani kamu! Kamu mencintai aku, Za!"
Semua orang yang ada disana langsung terkejut mendengar suara Devan yang begitu tinggi.
Khanza menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau ia hanya mencintai Reza.
Devan langsung menarik pinggang Khanza dan memeluknya.
Ceklek!
Khanza menoleh ke arah pintu ruang ICU yang terbuka.
Ia membelalakkan matanya saat melihat Reza yang berdiri disana.
Reza berjalan tertatih keluar dari ruang ICU, tubuhnya masih lemah, selang infus menggantung di tangannya.
Para perawat berusaha menahannya, namun ia menepis dengan sisa tenaga.
“Pak Reza! Anda belum boleh keluar ruangan!” teriak salah satu perawat panik.
Tapi Reza tak menggubris, langkahnya gontai menuju ke arah mereka berdua.
"Jaga dia, Dev. Semoga pernikahan kalian bisa langgeng." ucap Reza yang kemudian meninggalkan rumah sakit.
Khanza menggelengkan kepalanya dan memanggil Reza.
"MAS REZA!! AKU MENCINTAIMU, MAS!!"
Khanza berlari mengejar Reza, tetapi Reza sudah masuk kedalam taksi.
Devan meminta Khanza untuk melupakan Reza yang sudah tidak mencintainya.
PLAK!
Suara tamparan keras yang dilayangkan oleh Khanza ke pipi Devan.
"Tolong, Devan! Jangan usik rumah tanggaku. Aku tidak pernah mencintai kamu!"