Cinta membuat seorang gadis bernama Suratih, menentang restu ayahnya. Damar, pemuda yang membuat hatinya lebih memilihnya daripada apa yang dikatakan orang tuanya, membuatnya mengambil keputusan yang sebenarnya mengecewakan sang ayah. Apakah Suratih akan bahagia membangun rumah tangga bersama Damar, setelah jalan yang dia tempuh salah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 35
Sementara di rumah Damar,
"Ngapain kamu pake nangis, Tih? Kamu nyesel udah tidur sama abang?" tanya Damar dengan nada kesal, melihat Suratih yang menangis usai menghubungi orang tuanya.
Suratih menggeleng dengan suara terisak, "Bukan karena itu, bang! Ratih cuma..."
"Ingat ya, Tih! Gimana pun juga kita udah sepakat dari awal. Kita ngelakuin ini sama sama suka, sama sama mau pertahanin hubungan kita! Kamu gak mau kan liat abang nikah sama perempuan lain?" sela Damar, merebut ponsel yang di genggam Suratih.
"Ratih gak mau abang nikah sama perempuan lain. Ratih gak bisa hidup tanpa abang! Tapi cara kita ini salah bang!" jelas Suratih, ia bahkan meraih tangan Damar lalu menggenggamnya erat.
Damar mengerdikkan dagunya, netranya menatap Suratih yang masih tampak pucat di atas ranjang. Dengan selang infus yang masih tertancap di punggung tangan kanannya.
Damar melepaskan genggaman tangan Suratih dengan kasar, "Persetan amat dengan cara kita yang salah, Tih! Lama lama abang muak dengar alasan kamu, Tih! Bilang aja kalo sekarang udah ada pria lain yang menarik hati kamu! Makanya kamu permasalahkan cara kita buat bisa nikah!"
Suratih menggeleng, "Gak bang, gak ada pria lain di hati Ratih! Ratih cuma cinta sama abang! Maaf kalau perkataan Ratih udah buat abang marah!"
"Kamu gak cuma buat abang marah, Tih! Tapi kamu udah bikin abang tersinggung! Kalo kamu gak mau lanjutin hubungan kita, abang gak masalah! Detik ini juga abang antar kamu pulang ke rumah orang tua kamu!" sentak Damar dengan nada tinggi.
Suratih berusaha bangkit dari tempat tidur, yang nama sorotan tajam di layangkan Damar untuknya.
"Abang jangan ngomong gitu! Kita udah sejauh ini, apa iya abang tega sama Ratih gak mau tanggung jawab?" tanya Suratih dengan terisak.
Dugh.
Dengan kasar Damar mendorong Suratih, memposisikan kembali wanita itu di atas pembaringan.
"Jangan bertingkah kamu, Tih!" ketus Damar.
"Ratih cuma mau minta maaf sama abang, Ratih udah buat abang marah!"
Damar menatap sinis Suratih, "Bagus kalo kamu nyadar salah, mesti kamu ingat, Tih! Abang gak sebrengsek babeh kamu? Menjandakan seorang wanita hanya karena merasa dihina. Harusnya babeh kamu tau diri dengan kekurangannya! Bukan menjadikan perkataan wanita itu sebagai sebuah hinaan!" ujarnya yang langsung meninggalkan Suratih seorang diri di dalam kamar.
Waktu yang ditunggu pada akhirnya datang. Suratih mengetuk pintu rumahnya, yang disusul dengan seruan.
Tok tok tok
"Assalamualaikum, bu! Ratih pulang, bu!" seru Suratih, didampingi Damar dan Sumi.
Kedua ibu dan anak itu tampak tegang, harap harap cemas pada daun pintu yang masih tertutup rapat.
Sementara suasana di dalam rumah Ali itu sendiri. Sudah jelas ada Jaka dan Ali yang tengah menonton televisi di ruang depan. Namun rasa malas, menggerogoti jiwa keduanya sekedar untuk membuka pintu yang jaraknya lebih dekat dengan mereka.
"Maaar, buka pintunya lah! Ratih tuh pulang!" teriak Ali pada sang istri yang berada di ruang makan.
Tanpa menunda, Mariam langsung meninggalkan meja makan. Ia melangkah dengan tergesa gesa ke arah pintu disertai dengan dumelan yang terlontar dari bibirnya.
"Bujuk dah, lu mah bang! Udah tau Ratih, ngapa ora lu buka pintunya si! Gua kan lagi nata masakan gua itu tadi!"
"Ya elah, kaki gua ora enak di gerakinnya. Udah enak selonjoran ini!" kilah Ali, menatap kedua kakinya yang berselonjor di atas sofa.
"Jaka udah pewe bu!" kilah Jaka, saat Mariam meliriknya.
Kreeeek.
"Ratih anak i- …" tatapan berbinar dengan suara ceria Mariam berubah tanya dengan lidah yang kelu, melihat anak tertuanya pulang bersama dengan Sumi dan Damar, yang gak lain tetangga mereka.
‘Kenapa perasaan Mar gak enak! Bisa bisanya Ratih pulang bareng sama po haji Sumi dan Damar. Ada apa ini? Jangan bilang Ratih bermasalah dengan Damar?’ batin Mariam dengan dada bergemuruh sesak.
Ratih mencium punggung tangan kanan sang ibu, "Ra- Ratih pu- pulang, bu!" serunya dengan gugup, rasa bersalah ketika menyeruak dari raut wajahnya.
"... ka- kalian bagaimana bisa bareng sama Ratih?" tanya Mariam tanpa bisa tertahan.
Dalam diam, Suratih terus menunduk dalam. Gak punya keberanian untuk menatap sang ibu, kedua tangannya terkepal dengan erat.
‘Kata maaf Ratih, pasti gak akan bisa menebus rasa kecewa ibu, Ratih udah buat kesalahan besar bu!’ batin Suratih.
Grap.
Tanpa permisi, Damar menarik pinggang Suratih untuk ia rangkul. Membuat Suratih membola dibuatnya.
"Gak usah tegang gitu! Bawa santai aja, kan ada ibu dan abang yang bakal ngomong sama babeh!" bisik Damar di telinga Suratih.
Sumi menatap sinis Mariam, ‘Kamu lihat Mariam, anak gadismu memperlihatkan dirinya yang sebenarnya! Berani menggoda putra ku di depan mu. Gak salah kalo sampai Damar berani menyembunyikannya di dalam kamari. Putri mu benar benar liar penggoda ulung, Mar!’
Mariam menatap gak percaya dengan tindakan Damar, "Kalian? A- apa yang kamu lakukan Damar?"
Bukan jawaban dari Damar yang Mariam dengar. Namun pertanyaan sinis yang terlontar dari Sumi untuknya. Sumi bahkan gak mempermasalahkan sikap Damar pada Suratih.
"Biasa aja Mar sikapmu! Gak perlu kaget begitu! Apa kamu gak mau kita masuk, Mar? Ratih udah bilang kan sebelumnya sama kamu!" ketus Sumi.
Mariam menatap heran Sumi, ‘Ada apa dengan po aji? Apa mungkin Ratih dan Damar sudah biasa bersikap intens di depannya?’
"Bang Ali ada kan, mpo? Eh maksud Damar ibu Mar!" imbuh Damar yang langsung meralat kata katanya dengan canggung.
Sumi yang gak bisa bersikap santai, hendak berbalik sambil berseru, "Kalo lu gak kasih kita buat masuk, gua juga gak masalah, Mar! Kita pulang Damar, keha …"
Mariam menyela perkataan Sumi, membuat wanita yang masih tampak fresh dan segar dalam make up itu mengurungkan niatnya untuk berbalik badan.
"Ada, silahkan masuk!" Mariam membuka pintu rumahnya lebar lebar. Mempersilahkan Sumi, Damar dan Ratih untuk masuk.
"Baru ingat pulang lu, Tih!" seru Ali, tanpa menoleh ke arah pintu masuk. Mengira hanya Suratih dan Mariam yang masuk ke dalam rumah.
Mariam menelan salivanya dengan sulit, netranya menatap sang suami dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bang, ada mpok haji Sumi dan Damar. Ada yang mereka mau omongin, bang!"
Api amarah langsung terpancar dari raut wajah Ali, dadanya bahkan bergemuruh kencang. Bak badai yang siap menerjang apapun yang menghalangi jalannya. Ali menurunkan kedua kakinya dari atas sofa. Lalu beranjak dari duduknya, dengan tatapan yang gak lepas dari tangan Damar yang mengerat pada pinggang Suratih.
"Jadi kalian, orang yang di maksud Ratih?" tanya Ali dengan rahang pipi yang mengeras. Kedua tangannya terkepal erat.
Jaka menoleh ke arah pintu masuk, "Bang Damar? Bu haji?"
‘Jadi benar ya! Bang Damar sama po Ratih ada hubungan? Bukan kabar angin doang ini mah! Tapi apaan itu ya di leher po Ratih?’ Jaka menatap tajam tanda kepemilikan yang Damar tinggalkan di leher Suratih.
***
Bersambung …