Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Rem Blong
Langit melotot mendengar kalimat Rance. “Si bangke, anying emang lo!”
“Udah, bangsul! Kenapa kalian debat di saat polisi udah makin deket? Cepet kabur, elah!” sela Neo gemas.
Masih sempatnya Rance melancarkan rencana Langit untuk memuji Senja, padahal keadaannya sedang genting. Rance memang tiada tahu tempat, waktu serta suasana, mana langsung dibocorkan jika ia memuji supaya mendapat hukuman ringan.
Senja ketar-ketir di belakang Langit karena mereka saat ini dikejar polisi. Pelukannya di perut Langit semakin erat ketika sang tunangann juga semakin menambah kecepatan. Tentunya ini adalah pengalaman pertama bagi Senja keluar malam, masuk arena balap, malah langsung merasakan sensasi dikejar polisi.
“Sayang, kamu masih di belakang, ‘kan?” teriak Langit memastikan Senja masih di belakangnya.
“Ya, masih, ‘lah! Fokus aja bawa motornya!” ketus Senja masih sangat kesal kepada sang tunangan.
“Ya, aku harus pastiin, mana tau kamu ketiup angin, ‘kan?”
Senja melotot mendengar kalimat Langit. “Ketiup angin? Kamu pikir aku seringan ituu?”
“Iya, kamu ringan, Sayang. Harusnya lebih bohai dikit lagi, pasti lebih enak.”
Plak ...
Kepala Langit oleng ketika Senja memukul helmnya. Tentu niat Senja ingin memukul kepala sang tunangan, tetapi ia lupa jika Langit kini tengah menggunakan helm. Al hasil, Senja mengumpat dan berteriak ketika telapak tangannya begitu perih. Bukannya prihatin, Langit malah tertawa ngakak sembari terus melajukan motornya.
“Itu ajab tunangan durhaka, masa mau tempeleng kepala calon laki?” ledek Langit di sela tawanya.
Senja misuh-misuh sembari mengusap telapak tangannya. Langit menepikan motornya ketika merasa mereka sudah jauh dari kejaran polisi, apalagi mereka sudah memasuki jalur berbeda. Pemuda itu menoleh dan terkekeh menatap Senja sedang cemberut dengan mata berkaca-kaca.
Perlahan Langit meraih telapak tangan Senja. Ia memandangnya lekat, telapak tangan sang tunangan memang cukup merah setelah memukul helmnya.
“Sakit, ya?” tanya Langit lembut.
“Menurut kamu? Masih nanyaak!” ketus Senja kesal.
Langit kembali terkekeh, ia meniup telapak tangan sang tunangan dengan lembut. Detik berikutnya ia mengusapnya dan mencium sembari tersenyum gemas.
“Maaf, ya.”
Senja mendengkus, ia mengalihkan wajah dengan ekspresi merajuk. Langit kembali terkekeh, meski bandel dan nakal, setidaknya Langit selalu minta maaf dan sadar jika dirinya salah. Pemuda itu sadar jika semua tingkahnya memusingkan dan melelahkan bagi Senja, tetapi sebagai remaja ia juga masih belum bisa mengontrol emosi serta kenakalannya.
“Di depan kalo gak salah ada apotek 24 jam. Kita beli salep dulu di sana, ntar tangan kamu malah jadi melepuh.”
“Gak papa, gak perlu salep.”
Langit tersenyum penuh makna. “Kalo gak perlu salep, perlunya apa? Ciuman aku?”
Senja mendelik, ia memukul lengan Langit dengan telapak tangan berbeda. “Cepet aja, kita pulang sekarang. Aku capek, mau tidur, besok baru aku omelin kamu.”
Langit terkekeh, ia mencubit kedua pipi Senja gemas. “Kita tidurnya di kamar aku ‘kan?”
“Iya.”
“Yes!”
“Tapi cuma aku yang tidur di kamar kamu, kamu-nya tidur di luar. Aku gak mau satu kamar, belum saaah!” tekan Senja di ujung kalimatnya.
Langit cemberut. “Kamu aku ajak nikah gak mau, sekarang malah bilang gitu, aku jadi sedih,” tuturnya kembali lebai.
Senja menggulir bola matanya malas. “Mana bisa nikah sambil sekolah? Di Indonesia gak bisa, cuma di novel-novel bisanya. Kalo cerita kita ini real life, jadi gak bisa nikah sambil sekolah. Kalo mau nikah, kuliah dulu,” celoteh Senja berceramah.
“Ya aku—”
“Toooloong toloong rem gue blong! Woi, minggir minggir!”
Langit dan Senja terkejut ketika suara teriakan seseorang mengejutkan mereka. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan terkejut melihat gerakan kilat sebuah motor melewati mereka.
Brak ...
“Sshhh.”
Langit dan Senja ternganga melihat Neo baru saja melompat dari motornya, sedangkan motor itu sudah berakhir menabrak sebuah batang pohon. Tak lama Rance datang dari belakang, dan berhenti tepat di samping Neo terduduk.
“Lebih empuk aspal atau kasur?” celetuk Rance bertanya hal tak penting.
“Lo diem kalo gak mau gue timpuk, bangke. Pantat gue sakit banget,” celoteh Neo meringis merasakan nyeri pada pantatnya.
“Motor lo ngantuk, tuh. Pinter juga dia cari tempat tidur, bawah pohon rindang.” Rance kembali bersuara sembari menatap pohon Neo yang sudah terbaring di tanah, tepat di bawah pohon.
“Jangan sampe gue tonjok juga lo, Ce. Gak ada niat bantuin gue, gitu?” gerutu Neo kesal.
Rance turun dari motornya dan bergerak mengulurkan tangan ke arah Neo. “Lutut lo berdarah.”
“Iya, gue tau!” ketus Neo.
“Kenapa bisa rem motor lo blong?” tanya Langit heran.
“Kayaknya ada yang ngerjain, deh. Anjir, untung gue tadi gak ngebut-ngebut amat,” sahut Neo sembari berjalan sedikit pincang.
Langit menggeram mendengar itu, ia seakan bisa menebak siapa otak dari semua ini. “Pasti mereka,” desisnya.
“Harusnya tadi mereka emang gue sumpahin mampus aja,” celetuk Rance membuat Langit berdecak.
Senja turun dan mendekat ke arah Neo, ia memperhatikan luka di lutut sang sahabat. “Kamu bilang tadi deket sini ada apotek, ‘kan? Kita ke apotek aja dulu, lukanya harus diobati ini.”
“Lo masih kuat bawa motor?” tanya Langit.
“Kalo enggak, biar gue yang bawa,” sambung Rance, membuat Langit, Senja dan Neo menoleh serentak ke arahnya.
“Emang lo bisa bawa motor dua?” tanya Neo heran.
“Ya, enggak ‘lah. Lo kira gue robot?” jawab Rance tenang.
“Terus kenapa lo bilang mau bawa motor Neo, anjir?” gerutu Langit gemas.
“Ya, gampang, motor Neo tinggal diiket pake tali, terus gue geret pake motor gue.”
Neo ternganga mendengar kalimat santai Rance, sedangkan Langit dan Senja sudah tertawa ngakak.
“Ya Tuhan, pertebal ‘lah kesabaran hamba-Mu ini. Perkuat iman hamba, biar gak kelepasan nonjok temen sendiri,” celoteh Neo berdoa sembari menahan umpatan untuk Rance.
Susah-susah mencintai motor sportnya, dirawat sepenuh hati, bahkan tak boleh gores. Eh, Rance dengan santainya ingin menggeret motor sport kesayangan Neo di jalanan. The power of Rance.
“Udah, ini udah larut banget, luka lo harus diobati, ini cukup gede goresnya,” sela Senja.
“Gue bisa bawa motor, cuma gores lutut, masih aman. Ah, kasian amat motor gue, jadi harus ke bengkel, kepalanya hampir ancur,” gerutu Neo menatap miris motor sportnya.
“Malah mikirin motor, lo lebih perlu diobati,” gerutu Senja gemas.
“Tapi motor gue adalah segalanya, Ja. Dia pacar gue, Ja, pacar yang gak bakal selingkuh,” balas Neo dengan dramanya.
Senja mendengkus sembari memutar bola mata. “Kalo gitu gak usah nikah lo besok, nikahin aja itu motor! Sekalian, suruh obatin luka lo sama dia.”
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh