Elsheva selalu percaya keluarga adalah tempat paling aman.
Sampai malam itu, ketika ia menjadi saksi perselingkuhan terbesar ayahnya—dan tak seorang pun berdiri di pihaknya.
Pacar yang diharapkan jadi sandaran justru menusuk dari belakang.
Sahabat ikut mengkhianati.
Di tengah hidup yang runtuh, hadir seorang pria dewasa, anggota dewan berwajah karismatik, bersuara menenangkan… dan sudah beristri.
Janji perlindungan darinya berubah jadi ikatan yang tak pernah Elsheva bayangkan—nikah siri dalam bayang-bayang kekuasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Samudera lagi.
.
.
.
Elsheva dan kedua temannya sontak terhenti begitu suara melengking memecah suasana salon.
“Dasarrr wanita jalang! Mau cantik usaha sendiri, jangan ganggu suami orang!!”
Teriakan itu bergema, menusuk telinga semua pengunjung. Beberapa pegawai salon yang semula sibuk dengan pelanggan mendadak saling pandang, ada yang pura-pura sibuk merapikan handuk, ada pula yang hanya menggeleng pelan.
Els mematung. Jantungnya berdegup kencang, seakan tubuhnya menolak untuk menoleh. Helza menahan napas, sementara Bella hanya bisa mencubit lengan sahabatnya agar tidak terlalu mencolok.
Ancaman berikutnya membuat ketiganya terpaksa menoleh. “Sekali lagi lo berani dekati suami dia, hidup lo bakal hancur sehancur-hancurnya!”
Di dekat pintu masuk tak jauh dari mereka, seorang wanita muda tersungkur di lantai. Rambut panjangnya acak-acakan, pipinya memerah dengan bekas tangan. Di hadapannya berdiri empat perempuan sosialita dengan gaun mahal dan perhiasan berkilau, wajah mereka menegang penuh amarah. Salah satunya mendekat, menjambak, meraih rahang perempuan sial itu, lalu mendorongnya kasar.
“Cuihhh! Pelakor murahan!” desisnya tajam, seperti pisau menusuk kulit. "Kitaakan lakuin lebih dari ini untuk merusak hidup kamuyang sudah beraninya jadi pelakor. Tunggu saja video ini viral, mukamu akan terpajang di mana-mana. Menjijikan!"
Els menghela napas lega setelah mengetahui ternyata ibu-ibu sosialilta sadis itu bukan teriak untuk dirinya. Helza dan BElla saling meringis menuju tempat registrasi. Tapi rasa lega itu hanya bertahan sepersekian detik—ketika tiba-tiba salah satu wanita yang Els kenal melangkah mendekat.
“Eh, kalian mahasiswa ya?” tegurnya dengan suara lebih lembut, tapi tetap mengandung dominasi. “Kamu cantik sekali. Treatment apa?”
Els hampir tersedak ludah. Tubuhnya menegang. Itu suara Davina. Istri sah dari Heksa. Membagongkan sekali! Els sempat terpikir atau jangan-jangan Davina sudah mengetahui tentang Els?
“Eh, i-it… treatment basic aja, Mbak,” jawabnya terbata, berusaha menahan gemetar pada suaranya.
Davina mendekat lebih jauh. Aroma parfum mahal Els menusuk lembutnya, mengalahkan aroma shampoo dan essential oil di ruangan itu. Ia tersenyum, menatap Els dari kepala hingga kaki. “Parfum kamu enak banget, brand apa?”
Els memaksa bibirnya melengkung. “Hihi… parfum lokal aja, Mbak.”
“Ah nggak mungkin.” Davina mengibaskan tangan, menatapnya kagum. “Kamu cantik, badan kamu bagus, pintar merawat diri. Aku juga member VIP di sini. Kapan-kapan kita treatment bareng, ya?”
Elsheva tersenyum kaku. Bulu kuduknya meremang. Senyum Davina terdengar terlalu akrab, tapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuatnya ingin kabur. “Ehh, iya, Mbak. Cuma… aku jarang ke sini, soalnya mahal. Jadi paling beberapa bulan sekali aja.” Els kembali meringis, sesekali menghembuskan napas melaui mulut utnuk meredakan kegugupannya.
Bagaimana tidak gugup, Els baru saja berhadapan dengan wanita yang baru saja melabrak pelakor dari temanya di hadapan dia. Untunglah Davina akhirnya berbalik, kembali ke kelompok sosialitanya, meninggalkan Els yang hampir kehilangan napas.
Pikiran Els benar-benar tidak karuan setelah melihat kejadian di salon tadi, baru kali ini ia bertemu langsung dengan Davina, dan menyaksikan bagaimana perempuan itu melabrak si pelakor tadi membuat mentalnya tergerus hebat.Seolah-olah dirinya yang sedang diseret, dicaci, dan diancam di hadapan semua orang.
Usai segala urusan threatment salon, alih-alih pulang, Els memilih untuk melaju tanpa arah, hingga akhirnya berhenti di parkiran pinggir pantai. Suara debur ombak sore menyambut dengan suara gemuruh halus.
Heelsnya ia lepaskan, berganti telapak kaki telanjang yang kini menjejak pasir dingin. Els berjalan pelan di tepian pantai. Jari-jari lentiknya memainkan air di pinggiran pantai dengan santai, kaki telanjangnya terus berlarian kecil mengejar ombak. Dia terus berjalan menyisir pantai sendirian, setelah lelah ia memilih untuk duduk di pasir-pasir yang tidak terendam air laut di pinggiran.
Menatap laut yang membentang. Angin asin mengibaskan rambutnya, sementara langit sore mulai diselimuti awan tipis. Di kejauhan, gerimis turun pelan, menyapu garis horizon.
Tanpa ia tahu ada sepasang mata yang memperhatikan tidak jauh darinya. Samudera tahu kalau gadis itu wanitanya Heksa, yang tak lain adalah Omnya yang cukup dekat. Tapi mata dan hatinya nya tidak peduli itu. Sejak pertama melihatnya di kampus, lalu di klinik kecantikan miliknya itu dia sudah sangat tertarik pada Elsheva. Dia langsung mencari tahu banyak hal tentangnya termasuk kesukaannya menghabiskan waktu di pantai saat pikirannya sedang kacau.
Gerimis mulai turun pelan, namun gadis itu tidak terusik, wajahnya sengaja menengadah ke atas menikmati tetes-tetes air yang seolah sedang menghiburnya. Namun hanya sebentar, seketika matanya terbuka saat ia tidak lagi merasakan air hujan menerpa wajahnya, dahinya mengernyit.
"Aku nggak butuhh payung," ucapnya kesal.
Elsheva membuka mata. Di atasnya, sebuah payung terbuka, menahan gerimis.
Meski Els menolaknya tapi payung itu tetap di atas kepalanya. Dan di balik gagangnya berdiri seorang pria—Samudera Mahatma. Tatapannya tajam, tapi senyumnya samar, seolah ia baru saja menemukan alasan untuk tetap tinggal.
"Kamu bisa sakit kalau hujan-hujanan seperti ini. Bajumu juga sudah mulai basah semua. " suaranya tenang, tapi ada wibawa yang membuat Els sulit mengabaikan.
"Ck, gerimis nggak akan bikin gue mati, kalau lo takut hujan, ngapain kesini? "
Samudera berdecih pelan, namun ia tak bergeming dari tempatnya. Lama-lama Els kesal ia bangkit sendiri sambil berkacak pinggang. " Kenapa masih di sini? "
"Kamu perempuan, ini udah mulai gelap, di sini sendirian akan bahaya buat kamu. " ucapnya lagi dengan sedikit tegas. Els terdiam untuk sepersekian detik, kakinya menendang pasir, wajahnya berpaling dari tatapan pria itu.
" Apa lo sendiri nggak berbahaya buat gue?? " wajah Samudera menegang saat ELs berujar sambil mendekatkan wajahnya. " Nggak usah sok peduli!" tukas Els. Meremas tangannya sendiri, menahan degup jantungnya yang makin tak terkendali. Ia benci bagaimana suaranya nyaris bergetar, padahal niatnya ingin terdengar tegas.
Ia membalikkan badan ingin menjauh dari Samudera yang mengganggu, namun lengannya di cekal oleh pria itu.
"Kalau aku benar-benar peduli gimana? "
Pertanyaan Samudera mampu menghentikan langkah kaki Els, ini bukan kali pertama dia mendapat gombalan dan pernyataan cinta dari pria, sudah kesekian kalinya, sampai dia kebal dan bosan sendiri mendengarnya.
" I don't care... " ucap Els tegas. Ia meninggalkan Samudera dan kembali berjalan membiarkan air hujan yang cukup deras membasahi seluruh tubuhnya. Ia tidak ingin memberi celah untuk baper pada Samudera.
Sementara Samudera masih terpaku di tempatnya berdiri, menahan diri beberapa detik, menatap gadis itu dengan ekspresi sulit terbaca. Lalu ia tersenyum samar, payung di tanganya terlempar sembarangan lalu memutuskan untuk berlari mengejar Els yang terus berjalan bermain dengan ombak. Tidak peduli pada pakaian yang basah dan kegelapan yang sudah menyelimuti daerah sekitar. Yang ada dipikiran Els hanya ingin tenang, setelah otaknya terasa mendidih tadi siang. Ada sekelebat bayangan penyesalan dan keinginan untuk mundur yang sedang coba ia tepis keberadaanya.
.
.
.
semangat kakak 🤗🤗