NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:417
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 - MICHIKKO - Bagian Ketiga

Aku berjalan menyusuri semak belukar yang tumbuh liar disana-sini. Sekalipun malam ini bulan purnama bersinar terang, tapi, cahayanya tidak mampu menerangi rimbunnya semak-semak-belukar itu. Hanya sesekali saat angin berhembus menyibakkan daun-daunan, batang dan ranting, barulah sebagian cahayanya bisa menerangi jalanan yang kulewati. Dimanakah ini ? Tempat ini serasa asing bagiku, tapi, di ujung sana tampak sebuah bangunan mirip sekolah.

Sekolah SMA 1 Tidar. Tapi, mengapa banyak sekali ilalang. Kemarin sewaktu berada di tempat itu, ilalang tidak tumbuh selebat ini. Kemanakah Cindy, Maribeth dan Nona Miwako? Tobby, Timmy, Intan dan Jen-Shen ... kemana mereka ?

Aku terus berjalan. Tapi, mengapa aku tidak sampai-sampai ke bangunan tersebut, malah, rasanya bangunan itu semakin menjauh.

Peristiwa apalagi yang harus kualami sekarang ? Aku tak menyukai situasi seperti ini. Kupercepat langkahku dan mendadak saja aku sudah berada di halaman bangunan bekas sekolah dan cafe itu. Aku terkesima, ukuran bangunan tua yang sebagian tinggal puing-puing menghitam dan berserakan tak tentu arah itu lebih besar dua kali lipat dari saat pertama kali kulihat. Pintu masuk yang nyaris tak berbentuk pintu itu terpentang lebar dan memperlihatkan suasananya yang hitam pekat.

Aku melangkah hendak mendekati pintu berniat untuk memasukinya, tapi, tanganku seperti dicengkeram sesuatu yang sangat kuat. Sebuah tangan lain yang hanya tulang dibungkus dengan kulit pucat, mencengkeram erat tanganku. Kurasakan hawa dingin menusuk menjalari sekujur badanku. Aku berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi, cengkeraman itu makin lama makin kuat hingga aku berteriak kesakitan, “Auw !! Kau menyakitiku, lepaskan tanganku !!” sambil berteriak kualihkan pandangan mataku untuk melihat siapa si pemilik tangan itu. Seorang wanita berambut hitam, panjang, kusut terurai menutupi wajahnya. Tapi, bisa kulihat bola matanya yang mengerikan, menatap tajam.

Aku berteriak ketakutan, jatuh terduduk, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, sementara, mataku tak mau berhenti memandang tatap matanya yang menakutkan itu. Aku menjauh, sosok itu mendekat. Kepala yang tertunduk dan sesekali menyentak ke kiri berulang-ulang itu perlahan-lahan terangkat ke atas, “Krek!” bunyi itu terdengar bersamaan dengan gerakan bahu yang menurun sedikit demi sedikit ke bawah.

“Krek !” bunyi kedua bersamaan dengan terangkatnya telunjuk kanan lurus-lurus ke wajahku. Tapi, aku tak yakin telunjuk itu menuding tepat ke arahku, melainkan mengarah ke belakang punggungku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk sosok itu, tidak ada apa-apa selain semak-belukar dan ilalang yang tumbuh lebat pada dinding-dinding batu yang sudah tidak utuh lagi bentuknya. Sosok itu berjalan perlahan-lahan semakin lama semakin dekat, aku menjauh hingga punggungku menempel pada dinding batu tersebut. Mendadak, aku merasakan kedua bahuku dicengkeram erat, bukan cuma bahu, juga pinggang dan wajahku. Belum habis rasa terkejutku, tahu-tahu tubuhku serasa ditarik masuk ke dalam dinding tersebut. Aku berteriak keras, suasana di sekelilingku gelap gulita dan sempit sekali. Tanganku meraba kesana-kemari, dingin, lembab dan licin. Aku terus meraba dan menyadari bahwa aku tengah berada di dalam lubang. Kurasakan ada sesuatu yang bergerak pada tapak kakiku, dingin dan basah. Air.

Yah, air tersebut semakin lama semakin merayap naik ... pergelangan, betis, lutut, paha dan terus merayap naik. Begitu dinginnya air tersebut, membuatku tak mampu bergerak leluasa terlebih setelah air itu membasahi perutku. Satu-satunya yang masih bisa kugerakkan adalah mulut, dan akupun mulai berteriak, “TOLONG ! KELUARKAN AKU DARI TEMPAT INI !!” gema suaraku memenuhi ruangan itu. Tak ada jawaban, aku kembali berteriak keras... sekeras mungkin, “Tolong ! Tolong !” Tak ada jawaban, kecemasan mulai menyelimutiku saat air bergerak naik ke dada, tubuhku bergetar hebat. Dinginnya air membuatku mati rasa, “Tolong ... keluarkan aku dari sini,” suaraku gemetar, melemah mengandung keputus asa-an.

Mendadak teringat olehku akan kata-kata Miwako ... ‘Michikko membutuhkan tubuhmu untuk rohnya yang terjebak entah dimana. Jika kau tak segera menemukan jasadnya dalam waktu yang sudah ditentukan, jiwamu dan orang-orang di sekitarmu akan terancam,’. Yah, kata-kata itulah yang membuat keputus asaan menjadi kekuatan. Aku mengepalkan jari-jemariku sekuat mungkin, kucoba untuk melawan hawa dingin yang kian menusuk itu dan .. merayap naik.

Dinding-dinding itu licin sekali, bukan hanya satu atau dua kali aku terjatuh, tapi, berulang kali hingga akhirnya bisa mencapai setengahnya. Aku tersenyum lega, beruntung sekali batu-batu yang menjadi dinding lubang itu tidak rata sehingga bisa dijadikan pegangan ataupun pijakan. Aku harus segera naik ke atas, toh jaraknya sudah tidak jauh lagi.

Yah, aku bisa melihat adanya hembusan angin dari atas kepalaku, jaraknya tinggal 1-2 meter lagi, sebentar lagi aku akan keluar dari tempat aneh ini. Begitu aku hendak menggerakkan tanganku untuk meraih batu-batuan yang lain, telingaku mendengar suara kecipak air dari bawah kakiku. Rasa penasaran segera saja datang dan membuatku harus mengalihkan pandanganku ke bawah. Mataku terbelalak manakala melihat dari permukaan air itu menyembul keluar gumpalan berwarna hitam, panjang lagi kusut. Rambut.

Rambut itu seakan menutupi permukaan air tersebut, detik berikut rambut itu terangkat ke atas perlahan semakin lama semakin tinggi dan sekalipun remang-remang, mataku bisa melihat begitu sebagian rambut yang terangkat ke atas muncul sebuah kepala manusia. Menyusul kemudian, sebuah tubuh kurus keluar dari dalam air dan perlahan-lahan berjalan menghampiri dinding.

Aku terkesiap manakala melihat, sosok itu juga ikut merayap naik dengan gerakan terpatah-patah diiringi dengan bunyi ‘krek, krek, krek’ membuatku ngeri. Dia terus merayap dan merayap ke arahku. Aku tak perlu menunggu sampai ia mengejarku... firasatku mengatakan, dia bukanlah sosok yang ramah. Aku kembali naik ke atas. Sedikit lagi aku akan sampai, yah sedikit lagi ... tapi, “auw!!” jeritku tertahan. Aku merasakan pergelangan kaki kananku bagai ditarik sesuatu. Jari-jemari sosok wanita itu mencengkeramnya.

Jari-jemari tangan sosok wanita itu tak ada daging, hanya kulit pucat dengan urat-urat bagaikan hewan melata melingkar pada tulang-tulangnya. Belum lagi lumut dan jamur mirip sisik-sisik ular penghias kulitnya, aroma amis menusuk hidungku. Sosok wanita itu menegadah, dapat kulihat sepasang sinar tajam menusuk dari sela-sela rambutnya yang hitam, panjang terurai itu. Ia mendesis-desis bagaikan kawanan ular mengelilingi mangsanya. Aku berontak, jeritan jijik bercampur ngeri seakan menambah kekuatanku untuk melepaskan jari-jari mengerikan itu. Berhasil. Tubuh sosok wanita itu melorot ke bawah, “Pergi, kau ! Jangan ikuti aku !!” umpatku sambil terus merayap naik sementara jantung berdegub kencang sekali. Adrenalinku menuntunku untuk terus naik. Sosok wanita yang tercebur ke dalam air itu kembali merayap naik, kali ini gerakannya lebih cepat daripada tadi. Tapi, aku lebih cepat dan berhasil meraih bibir sumur. Belum sempat aku menarik nafas lega, sebuah kekuatan tak kasat mata mendorongku kembali masuk ke dalam sumur, “TTIIDDAAKK !!!” teriakku.

Tubuhku meluncur deras ke dalam sumur, dan masuk ke dalam air. Aku harus keluar dari air ini atau dia akan membunuhku, kataku dalam hati sambil berusaha berenang ke permukaan. Sesampai di permukaan lagi-lagi tubuhku seperti ditarik masuk kembali ke dalam air oleh tangan-tangan yang mendadak muncul dan menggerayangi tubuhku.

“Lepaskan !!” teriakku seraya berontak untuk melepaskan diri. Entah bagaimana ceritanya ketika aku membuka pelupuk mataku, aku sudah berada di dalam ruangan dan pipiku seperti ditampar orang, “Bangun, kak...” itulah yang kudengar pertama kali, dan saat aku mengalihkan perhatianku ke asal suara itu, di samping kananku sepasang mata Nona Miwako menatapku dengan tatapan heran. Di sisi lain, aku juga melihat Cindy dan Maribeth, mereka juga menatapku heran.

“Mimpi buruk lagi ?” tanya Miwako.

Aku mengangguk lalu menceritakan perihal mimpiku itu. Setelah selesai bercerita, Miwako tampak terdiam seribu bahasa.

Suasana di ruang tidurku begitu sunyi yang terdengar hanyalah detak jantung dan tarikan nafas kami. Hingga akhirnya, suara Cindy memecahkan kesunyian dan kebekuan, “Tampaknya, kita harus kembali ke lokasi SMA Tidar I, kak,” “Mengapa kita harus kesana lagi ?” tanya Maribeth.

“Mungkin itu adalah salah satu petunjuk,” sahut Miwako.

“Ini adalah hari keempat,” sahutku, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi 3 hari ke depan. Yang jelas, aku ingin ini semua cepat berakhir. Aku ingin kehidupanku kembali lagi. Tak ingin sosok Michikko itu terus-terus menghantuiku,” tandasku.

“Untuk menghadapi Michikko, aku harus meminta petunjuk dari roh leluhur. Kumohon kalian jangan bertindak gegabah. Sebab, begitu salah langkah nyawa kitalah yang jadi taruhannya,” jelas Miwako, “Aku akan mengurung diri di ruanganku, mudah-mudahan dalam waktu singkat, aku bisa mendapatkan petunjuk,” kata gadis itu sambil melangkah menuju ke ruangannya, sementara pandangan kami tak lepas menatap punggungnya yang kemudian menghilang di ujung ruangan.

“Sambil menunggu Kak Miwako menyelesaikan meditasinya, kita juga harus mencari cara untuk menghadapi Michikko,” Maribeth mengusulkan.

“Boneka,” sahut Jen-Shen yang mendadak muncul di samping kanan Cindy, “Salah satu sumber kekuatan Michikko tersimpan pada boneka itu,” sambungnya.

“Dengan menemukan boneka itu dan menghancurkannya, mungkin bisa menghalangi niat Michikko untuk merampas tubuh kakak sebagai pengganti raganya,” sahut Cindy.

_____

Ini adalah hari kelima. Nona Miwako belum juga keluar dari ruangannya. Entah apa yang dilakukannya di dalam. Akupun tak berniat untuk mengetahuinya, yang jelas, aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan Michikko. Dari lantai dua kamar, aku bisa melihat Cindy dan Maribeth tengah asyik berbincang-bincang sementara Timmy, Tobby, Jen-Shen dan Intan tengah berlarian kesana-kemari mengelilingi halaman. Mereka bercanda dan tertawa. Aku jadi iri pada mereka, sepertinya tidak merasakan penderitaan orang. Jelas saja, mereka sudah mati mengapa harus bersedih. Kalau memang demikian bagaimana dengan Michikko ? Ah, berbagai macam pertanyaan bermunculan di benakku dan sama sekali tak ada jawabannya.

Aku berjalan menuruni anak tangga dan melangkah keluar untuk menemui Cindy dan Maribeth. Baru saja berjalan beberapa langkah, hidungku mencium aroma wangi yang aneh dan keluar dari dalam ruangan Nona Miwako. Ah, aku tak mengenakan maskerku, tanpa sengaja bau harum tersebut segera menggelitik hidungku dan memaksaku untuk melihat hal yang sebenarnya ingin kucampakan jauh-jauh.

Aku berada satu ruangan bersama Miwako. Di hadapan gadis Jepang itu adalah kira-kira 10 sosok wanita yang menyerupai Michikko. Berpakaian seragam ala Jepang yang berwarna abu-abu. Berambut hitam panjang tergerai dan menutupi wajahnya, kepalanya sesekali menyentak ke kiri. Mereka semua menundukkan wajah ke lantai dan Miwako berbicara dalam bahasa Jepang yang sama sekali tak kumengerti. Tampaknya Nona Miwako sedang berbincang-bincang dengan mereka. Tak lama kemudian bayangan kesepuluh wanita itu menghilang dan digantikan dengan sosok seorang wanita paruh baya mengenakan kimono merah dan bersanggul. Wajah wanita itu tampak sedih, sekalipun aku tak mengerti bahasa yang diucapkan oleh mereka, tapi, aku mampu menghafal setiap kata-katanya.

“Ini adalah hari kelima semenjak Michikko menampakkan diri pada Arimbi, bu. Arimbi terus saja mengalami mimpi-mimpi buruk, saya khawatir akan berakibat buruk padanya. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapinya ?” tanya Miwako.

“Yah, ibu tahu. Wanita bernama Arimbi itu, memiliki keistimewaan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kau harus membimbingnya.

Dengan bantuan wanita itu, urusanmu dengan Michikko akan segera terselesaikan. Bukankah terakhir kali dia menceritakan mimpinya kepadamu ? Itu adalah sebuah petunjuk tentang dimana Michikko kini berada. Temukan tempat itu, ibu yakin dia ada disana. Bawa dia kepadaku hidup atau mati,” Bersamaan dengan itu sosok wanita berkimono itu memudar, digantikan dengan kepulan asap-asap tipis melayang-layang di udara yang kemudian menyebar ke segala penjuru ruangan.

_____

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!