Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Matahari pagi kembali menyinari rumah minimalis milik Tristan. Halaman kecil di depan rumah masih basah oleh embun, sementara suara mesin mobil tetangga yang berangkat kerja terdengar samar. Namun, suasana dalam rumah itu jauh dari kaku, karena ada satu makhluk hidup bernama Tiwi yang selalu berhasil membuat rumah dokter dingin itu berisik setiap hari.
“Dok! Aku punya ide baru buat sarapan. Kamu pernah coba pancake durian?” Tiwi muncul dari dapur dengan celemek bergambar kucing, wajahnya berbinar penuh semangat.
Tristan yang sedang merapikan jas putihnya sebelum berangkat ke rumah sakit menoleh dengan ekspresi datar. “Durian?” ulangnya, alis terangkat.
“Ya! Raja buah! Harumnya surgawi, rasanya bikin mabuk cinta!” Tiwi menjelaskan dengan dramatis, tangan terangkat ke udara seolah sedang jadi bintang iklan.
Tristan mendesah, mengancingkan kemejanya tanpa minat. “Aku tidak makan durian.”
Tiwi menepuk kening, seolah mendengar dosa besar. “Astaga naga! Ini berita duka cita, Dok. Kamu tahu nggak, hidup tanpa durian itu kayak nonton drama Korea tapi cuman episode satu garing!”
Tristan menggeleng pelan, mengambil tas kerjanya. “Sarapan biasa saja. Telur rebus. Kopi hitam.”
Tiwi mendengus, menyilangkan tangan di dada. “Terlalu sederhana. Aku ini chef limited edition, masa suruh bikin menu ala asrama tentara?”
Namun meski menggerutu, Tiwi tetap melangkah ke dapur. Suara panci, spatula, dan nyanyiannya yang sumbang memenuhi ruangan. Tristan menghela napas. Gadis itu memang merepotkan, tapi entah bagaimana… rumahnya terasa lebih hidup sejak ada dia.
---
Tristan tenggelam dalam kesibukan. Ruangan operasi, pasien, laporan medis—semuanya berjalan seperti biasa. Tapi gosip tentang Arina masih beredar panas.
“Eh, lo tau nggak? Video Arina sama calo obat itu udah jadi bahan diskusi di forum kedokteran nasional.”
“Gila ya, berani banget dia. Mana bisa lolos hukum?”
“Katanya udah ditahan polisi.”
Tristan menahan reaksi, wajahnya tetap datar. Tapi pikirannya berkecamuk. Kenapa semua bukti muncul bertubi-tubi? Seolah ada seseorang yang benar-benar mengatur ritme kehancuran Arina.
Dan setiap kali ia mencoba merunut, wajah Tiwi selalu muncul di benaknya. Senyuman cerianya, candaan bodohnya, tapi juga kalimat-kalimat misterius yang kadang terlontar tanpa sadar.
---
Begitu pintu rumah dibuka, Tristan langsung disambut bau harum tumis cabai ijo. Dari dapur, suara Tiwi menyanyi keras-keras terdengar.
“Dangdut is the music of my countryyyy~”
Tristan berjalan masuk, meletakkan tas kerjanya, lalu berdiri di pintu dapur. Tiwi tengah berjoget sambil mengaduk wajan, spatula di tangan seperti mikrofon. Rambutnya berantakan, keringat membasahi pelipisnya, tapi wajahnya sumringah.
“Tiwi,” panggil Tristan dengan nada dingin.
“Hah?” Tiwi menoleh, lalu langsung nyengir. “Eh, Dok! Kamu pulang cepet. Tuh liat, aku masak tumis favorit kamu. Harusnya sih favorit, soalnya pedesnya mantap!”
Tristan hanya menatapnya. “Kau tidak takut?”
“Takut? Sama siapa?” Tiwi pura-pura polos, padahal hatinya paham maksudnya.
“Arina.” jawab Tristan
Tiwi tertawa renyah. “Dok, kalau aku tiap hari mikirin dia, aku bisa keriput dini. Hidup itu jangan terlalu serius. Lagian, yang harusnya takut kan dia. Aku? Aku santai.”
Tristan menatap lama, hingga akhirnya menarik kursi dan duduk. “Kau terlalu aneh.”
“Aku unik,” balas Tiwi cepat. “Limited edition, ingat?”
----
Malam harinya
Setelah selesai bekerja di rumah Tristan, Tiwi pulang ke rumahnya. Malam itu ia duduk di kamar, lampu redup, laptop menyala terang. Folder rahasianya kembali terbuka.
Ada puluhan file, rekaman suara, foto dokumen, video, bahkan daftar nama orang-orang yang terhubung dengan Arina.
Tiwi menatap layar sambil menggigit bibir bawah. “Sebenarnya aku bisa habisin dia sekaligus… tapi nggak seru. Harus dicicil. Kayak sinetron panjang. Kalau tamatnya cepat, penonton bosan.”
Ia menutup laptop, merebahkan diri di kasur. “Cuma satu hal yang bikin repot. Si dokter dingin itu makin curiga. Duh, jangan sampai dia tahu siapa aku sebenarnya.”
Keesokan Pagi
Pagi itu, Tristan masuk ke ruang makan, hanya untuk menemukan meja penuh dengan kue beraneka rupa. Donat, brownies, lapis legit, bahkan puding mangga.
“Tiwi.” Suaranya tegas.
Tiwi muncul dari dapur sambil menenteng piring berisi risoles. “Yes, Dok?”
“Apa ini?”
“Surprise!” Tiwi mengangkat tangan dengan gaya heboh. “Aku kan bosan kalau sarapan telur rebus melulu. Jadi aku bikin pesta sarapan internasional! Ada Eropa, ada Asia, ada Nusantara, semua lengkap!”
Tristan menatap meja penuh makanan, lalu kembali menatap Tiwi. “Kau pikir aku bisa makan semua ini?”
Tiwi mendekat, menyodorkan risoles. “Ya nggak semua, Dok. Tapi minimal cobain lah. Risoles isi mayo bikinanku ini bisa bikin kamu jatuh cinta.”
“Tidak perlu.”
Tiwi manyun. “Kamu nih, jangan kaku banget. Kalau jantung kamu bisa ngomong, pasti dia udah protes: ‘Kasih aku makanan enak, jangan kopi pahit doang!’”
Tristan hanya menghela napas, tapi diam-diam ia mengambil satu donat dan menggigitnya. Tiwi langsung bersorak, “Yes! Satu poin buat aku!”
---
Sementara itu, di sel tahanan sementara, Arina terduduk pucat. Wajah cantiknya sudah jauh dari anggun, matanya bengkak karena menangis.
“Aku harus keluar dari sini… aku harus cari siapa yang ngejebak aku,” gumamnya lirih.
Bayangan wajah Tiwi terlintas di benaknya. Arina menggertakkan gigi. “Bisa jadi… dia. Gadis itu selalu bikin masalah sejak awal.”
Dendam mulai membara. Arina bertekad, jika berhasil bebas, ia akan menyerang balik.
Hari itu, Tristan pulang lebih awal. Ia menemukan Tiwi duduk di sofa, menonton drama sambil makan keripik.
“Dok, kamu pulang cepet! Nih, keripik barbekyu mau coba?”
Tristan menggeleng, duduk di kursi sebelahnya. “Tiwi.”
“Hm?”
“Aku ingin bertanya sesuatu.”
Tiwi menoleh, alis terangkat. “Serius amat mukanya.”
“Aku mau tanya sekali lagi jika suatu hari aku tahu kau punya sisi gelap, apa yang harus kulakukan?”
Pertanyaan itu membuat Tiwi terdiam. Namun hanya sebentar. Ia lalu tersenyum misterius. “Terima aja, Dok. Semua orang punya sisi gelap. Bedanya, ada yang dipakai buat nyakitin, ada yang dipakai buat bertahan. Aku? Aku pilih bertahan.”
Tristan menatapnya dalam. Jawaban tetap sama seperti kemarin. Hatinya bimbang antara curiga dan kagum.
Tiwi lalu menepuk pundaknya ringan. “Udah lah, jangan bawa-bawa sisi gelap segala. Nanti kamu jadi Batman beneran.”
Untuk pertama kalinya, Tristan tertawa kecil. Tiwi menatapnya puas. “Tuh kan! Senyum kamu mahal banget, Dok. Kalau aku bisa bikin kamu ketawa tiap hari, berarti aku sukses.”
---
Malam itu, ketika Tristan hendak tidur, ia menemukan lagi sebuah sticki note mini di meja kerjanya. Tulisannya dengan spidol ungu:
“Jangan terlalu sering pasang wajah galak, Dok. Senyum kamu bisa bikin pasien cepat sembuh, tahu.”
Tristan menatap catatan itu lama, bibirnya tertarik samar. “Note ini lagi…”
Setiap hari, selalu ada catatan kecil. Kadang isinya lucu, kadang menyebalkan, tapi selalu membuatnya ingin membaca. Dan tanpa sadar, ia mulai menantikan catatan-catatan itu.
Tiwi mungkin terlihat hanya seorang ART cerewet yang pandai masak, tapi Tristan tahu ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik sosoknya. Sementara itu, Arina merencanakan balas dendam, dan gosip di rumah sakit belum reda.
Malam itu, sebelum tidur, Tristan menatap catatan kecil ungu di tangannya. Hatinya berbisik pelan, “Siapa sebenarnya gadis ini?”
Dan di tempat lain, Tiwi menulis note baru untuk esok hari sambil tersenyum nakal. “Besok, Dokter Dingin bakal makin penasaran lagi. Hehe…”
Bersambung…
Terima kasih kak untuk ceritanya, ngikutin dari awal hingga akhir
seru banget ceritanya, ⭐⭐⭐⭐⭐⭐ ☕☕☕☕☕
Terima kasih untuk cerita novelnya kak, semoga sukses selalu
terimakasih ceritanya salam sukses selalu ya 💪❤️🙂🙏