Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TANDA DI KULIT I
Kabut masih menempel di kaca jendela saat Lisa, Ethan, dan Sara akhirnya sampai di apartemen kecil di lantai dua, tepat di atas toko roti tua yang sudah tutup sejak sore.
Nafas mereka masih terengah, tubuh berkeringat sekaligus dingin.
Lisa membuka pintu dengan tangan gemetar, nyaris menjatuhkan kunci. Sara buru-buru menutup pintu di belakang mereka, lalu menurunkan gorden dengan kasar. “Astaga… aku nggak percaya kita benar-benar lari begitu saja,” katanya sambil menekan kunci pintu berulang kali, seolah takut gembok itu tak cukup kuat menahan sesuatu dari luar.
Ethan berdiri di ruang tengah, masih memegang senter rusak yang berkelip-kelip. Ia menutup pintu sekali lagi, lebih hati-hati, lalu bersandar di tembok. “Setidaknya kita masih hidup.”
“Kau sebut itu kabar baik?” Sara menoleh cepat, wajahnya masih pucat. Rambut cokelat sebahunya kusut, menempel di dahi yang berkeringat. “Kita hampir dibunuh dua kali malam ini, Ethan! Dan itu semua dimulai sejak kau menunjukkan buku sialan itu ke Lisa!”
Lisa menelan ludah, lalu duduk di sofa kecil. Tangannya bergetar saat meletakkan jurnal bersampul kulit di meja. Simbol di punggung tangannya—yang sejak perpustakaan tadi samar—kini terlihat lebih jelas. Garis hitam itu berdenyut pelan, seirama dengan nadinya.
“Aku berubah…” bisiknya, hampir tak terdengar.
Sara menoleh, alisnya berkerut. “Berubah bagaimana? Maksudmu… kau jadi salah satu dari makhluk itu?”
Lisa menggeleng cepat, meski matanya tetap menatap telapak tangannya. “Aku tidak tahu. Tapi tanda ini—” ia mengangkatnya, menunjukkan pada keduanya—“semakin jelas. Dan aku bisa merasakan sesuatu… di dalam tubuhku.”
Cahaya lampu kuning redup menyinari kulitnya. Simbol itu tidak sekadar coretan. Seolah tertanam di kulit, menyala samar setiap kali Lisa bernapas.
Ethan mendekat, menunduk untuk melihat lebih jelas. “Itu… sama persis dengan simbol di sampul jurnal Cormac. Bahkan dengan sketsa di catatan ayahku.”
“Jangan dekat-dekat!” Sara memegang lengan Ethan, menariknya mundur. “Apa kau nggak lihat? Itu bukan tanda biasa. Itu… itu kayak stempel. Tanda kepemilikan.”
Lisa menggenggam tangannya erat, menekannya ke dada. Bayangan di sudut ruangan bergerak pelan, seolah menanggapi. Sara tersentak mundur, sementara Ethan justru menatapnya dengan takjub.
“Ini berarti kau punya koneksi langsung,” ucap Ethan, suara bergetar antara takut dan kagum. “Lis… kau mungkin kuncinya.”
“Kunci untuk apa?!” Lisa membentak, lebih keras dari yang ia maksud. Suaranya sendiri membuatnya terkejut. “Untuk membuka pintu yang kau sebutkan tadi? Untuk membawa makhluk itu ke sini?!”
Ethan terdiam.
Sara menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh tuduhan. “Kau sudah tahu sejak awal, kan? Itu sebabnya kau simpan semua cerita ayahmu, semua catatan perpustakaan. Kau menunggu saat ini terjadi!”
“Tidak!” Ethan membalas cepat. “Aku tidak menunggu apa pun. Aku hanya… mencari kebenaran. Ayahku menghilang tanpa jejak, dan semua ini mungkin ada hubungannya.”
Lisa merasakan kepalanya berdenyut. Suara bisikan muncul lagi, kali ini bukan satu atau dua. Puluhan. Ratusan. Semuanya menyebut namanya, bercampur dengan kata-kata asing. Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap ada, bergema di dalam kepala.
“Lisaaa… Lisaaa… pintu… darah… bayangan…”
“Aku—aku nggak bisa—” Lisa terhuyung, memegangi pelipisnya.
“Lis!” Sara berlari menghampiri, memeluknya dari samping. “Fokus padaku! Jangan dengarkan suara-suara itu!”
Ethan juga mendekat, wajahnya cemas. “Katakan apa yang mereka bilang! Itu penting!”
Sara menoleh dengan marah. “Dia hampir pingsan, Ethan! Dan kau masih memaksa dia jadi alat penelitianmu?!”
“Kalau kita tidak mengerti mereka, kita akan mati, Sara!” Ethan membalas.
Lisa menutup mata, berteriak, “Berhenti!”
Suasana membeku. Hanya suara napas mereka bertiga yang terdengar.
Lisa membuka mata perlahan, matanya berair. “Mereka bilang… Eldridge sudah retak sejak lama. Dan aku… bagian dari retakan itu.”
................
Ruang Apartemen
Lampu gantung tua yang menggantung di langit-langit berayun sedikit, rantainya berderit halus. Cahaya kuningnya berkelip-kelip sebelum akhirnya padam total, meninggalkan ruangan dalam bayangan abu-abu yang hanya ditembus oleh sinar kabut dari celah jendela.
Hening sebentar. Lalu, suara lirih terdengar—klik. Radio kecil di sudut meja, yang sudah lama mati dan berdebu, menyala dengan sendirinya. Dari speaker retak, suara statis menyembur, disusul bisikan samar yang datang dan pergi, seolah seseorang mencoba berbicara lewat saluran yang rusak.
Kata-katanya tidak jelas, hanya potongan vokal yang panjang dan serak.
Lisa menoleh pelan. Bayangan di dinding, yang seharusnya tetap mengikuti bentuk tubuhnya, kini bergerak dengan cara aneh—sedikit terlambat, seperti refleksi kaca yang retak. Saat ia mengangkat tangannya, bayangan itu ikut terangkat, tapi sepersekian detik lebih lambat, dan ujung jari-jarinya tampak lebih panjang, lebih tajam, seolah cakar.
Sara menempelkan punggungnya ke dinding, napasnya cepat, wajahnya pucat pasi.
“Astaga…” bisiknya. Matanya tak lepas dari gerakan bayangan itu. “Lis, kau… kau nggak terlihat seperti dirimu sendiri.” Suaranya pecah, setengah bergetar.
Ethan diam terpaku, pandangannya bergeser dari Lisa ke radio, lalu ke bayangan di dinding. Tangannya meremas erat senter rusak yang masih berkelip-kelip, tapi ia tidak menyalakannya. “Itu… bukan sekadar pantulan,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Lisa berusaha bicara, tapi tenggorokannya tercekat. Ada rasa logam di lidahnya, seperti darah, padahal ia tidak terluka. Pandangannya berkunang, seolah cahaya dari radio menariknya masuk. Bayangan di lantai menebal, merambat ke arah kakinya seperti cairan gelap.
“Lis!” Sara menjerit, tapi suaranya terdengar jauh bagi Lisa.
Jantung Lisa berdegup kencang. Ia ingin berkata “Aku baik-baik saja,” ingin menenangkan Sara, tapi kata-kata itu tak pernah keluar. Kabut dari luar jendela tampak merayap ke dalam, mengisi ruangan dengan udara berat yang menusuk paru-paru.
Radio berderak lebih keras. Di antara statis, ada satu kata yang terdengar jelas: “Pintu.”
Lisa terhuyung. Lantai berguncang ringan, atau mungkin hanya tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Pandangannya berangsur gelap, seolah ada tirai tebal yang ditarik menutupi matanya.
Dalam detik terakhir sebelum kesadarannya hilang, ia melihat bayangannya sendiri menoleh padanya—bukan menatap ke arah Ethan atau Sara, melainkan menatap langsung ke dirinya. Dan bayangan itu… tersenyum.
Gelap.