Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Rumahan
Matahari udah mulai condong ke barat waktu Bima balik ke kamarnya. Seharian ini dia lebih banyak duduk di ruang tamu, pura-pura nonton TV padahal pikirannya ke mana-mana. Tangan kanannya masih perih tiap digerakin, bikin dia jadi malas beranjak.
Pas buka pintu kamar, dia kaget lihat ada kotak kecil di atas mejanya. Bukan kotak mahal, cuma bekas wadah obat yang ditutup rapi. Di atasnya ada secarik kertas kecil, tulisan tangan yang dia kenal banget:
"Jangan lupa minum, Kak. Gue bikinin teh juga. —N”
Bima otomatis nyengir tipis. Jarang banget Nayla nulis beginian. Biasanya cewek itu lebih sering ngomel ketimbang peduli.
Dia buka kotak itu, isinya obat sama segelas teh yang udah agak dingin. Meski begitu, Bima minum juga sambil geleng-geleng kecil. “Dasar bocah… sok galak, tapi gini.”
Menjelang malam, suasana rumah makin tenang. Ibunya sibuk di dapur, suara piring beradu sesekali terdengar. Dari kamar Nayla, samar-samar ada suara lagu yang diputar lewat speaker kecil.
Bima rebahan di kasurnya, tatapannya ke langit-langit. Entah kenapa perasaan yang tadi berat jadi lumayan enteng. Dia sempat ketiduran sebentar, sampai suara ketukan pintu bikin matanya terbuka.
“Masuk aja,” gumamnya setengah sadar.
Pintu berderit pelan, lalu Nayla nongol dengan rambut diikat asal, kaos longgar, dan celana pendek rumahan. Tangannya bawa semangkuk sup panas.
“Ini kata Ibu, lo harus makan biar gampang minum obat lagi.”
Nada suaranya datar, tapi matanya sempat ngelirik cepat ke arah perban di tangan Bima.
Bima duduk, terima mangkok itu. “Tumben lo perhatian.”
Dia sengaja ngeledek.
“Apaan sih… jangan GR,” Nayla mendengus, naruh sendok, lalu berdiri di ambang pintu. “Yaudah, makan tuh. Gue cabut.”
“Tunggu bentar,” potong Bima.
Cewek itu berhenti, tapi nggak balik badan.
“Lo sebenernya kenapa sih?” tanya Bima pelan. “Biasanya lo cuek, tapi hari ini… beda.”
Nayla terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menoleh, matanya agak redup. “Gue cuma… nggak suka ngeliat lo pulang bonyok gitu, kak. Sakit liatnya.”
Bima bengong. Kata-kata itu sederhana, tapi nusuk. Dia coba senyum meski hatinya agak nyesek. “Heh, jangan lebay. Gue kan kakak lo, kuat.”
“Ya, tapi tetep aja…” Nayla ngehela napas, terus buru-buru jalan pergi sebelum Bima bisa jawab.
Bima cuma bisa ngeliatin punggung adiknya yang menjauh. Mangkok sup di tangannya masih panas, tapi dadanya lebih panas lagi. Entah kenapa, malam itu rumahnya kerasa lebih hangat dibanding biasanya.
***
Malam itu, rumah udah sepi. Jam dinding di ruang tamu nunjuk angka sebelas lewat. Dari kamarnya, Bima udah bolak-balik rebahan, muter badan ke kiri kanan, tapi mata tetap kebuka. Tangan kanannya berdenyut tiap kali dia gerak sedikit, bikin susah nyaman.
Akhirnya dia nyerah. Dengan pelan, dia bangun, keluar kamar, dan jalan ke ruang tengah. Lampu ruang tamu nggak dimatiin sepenuhnya—cuma cahaya temaram dari bohlam kecil dekat TV.
Di sana, Ibunya duduk sendirian di sofa. Tangannya sibuk ngelipat baju sambil nonton acara berita yang volumenya kecil. Tatapannya fokus, tapi wajahnya keliatan lelah.
Bima diam sebentar di ambang pintu, sebelum akhirnya duduk di kursi seberang.
“Ibu belum tidur?” suaranya serak, pelan.
Ibunya menoleh sekilas, lalu melipat baju lagi. “Kamu juga belum. Sakitnya parah, ya?”
“Enggak, Bu. Cuma… agak susah merem aja.” Bima nyengir tipis, berusaha nutupin.
Ibunya naruh tumpukan baju di samping, terus ngelihat lebih lama ke arah perban di tangan Bima. Sorot matanya bukan cuma khawatir, tapi juga ada kecewa yang ditahan-tahan.
“Bima… kamu mau Ibu ngomong jujur?”
Bima ngangguk pelan, meski agak ragu.
Ibunya narik napas panjang. “Ibu nggak pernah bangga lihat kamu pulang dengan badan penuh luka begini. Kamu keras kepala, selalu ngerasa bisa ngelindungin orang lain. Tapi… apa kamu sadar, kamu itu juga harus dijaga?”
Kata-kata itu bikin ruang tengah jadi lebih hening. Suara TV kayak cuma jadi latar samar.
Bima nunduk, jemarinya ngetuk-ngetuk lutut. “Aku… nggak tahu, Bu. Rasanya kalau diem aja waktu orang lain diinjek, aku malah sesek sendiri.”
Ibunya menatapnya lama, matanya berkaca-kaca tapi tetap tenang. “Ibu ngerti. Kamu mirip banget sama almarhum ayahmu… keras kepala, gampang marah kalau lihat ketidakadilan. Tapi ayahmu juga dulu nggak pernah mikirin dirinya sendiri sampai akhirnya jatuh sakit. Kamu mau kayak gitu juga?”
Bima kaget, kaku, nggak nyangka ibunya bakal nyeret ayah dalam obrolan ini.
Ibunya lanjut, suaranya lebih lembut, hampir berbisik. “Ibu cuma punya kamu dan Nayla sekarang. Kalau kamu terus begini, kalau suatu hari kamu pulang dalam keadaan lebih parah… Ibu nggak tahu harus gimana.”
Bima ngangkat kepala, dan untuk pertama kalinya malam itu, tatapan matanya goyah. Dia pengen jawab, pengen bikin janji, tapi tenggorokannya tercekat.
Akhirnya yang keluar cuma gumaman lirih. “Maaf, Bu…”
Ibunya tersenyum samar, lalu meraih tangan kirinya, menggenggam hangat. “Ibu nggak butuh maaf. Ibu cuma butuh kamu janji… mulai sekarang, jaga diri kamu. Biar kamu tetap bisa jaga adikmu juga.”
Bima diam. Tatapan matanya berkabut, tapi ia akhirnya angguk pelan. “Iya, Bu.”
Suasana jadi hening lagi. Hanya suara TV dan detik jam yang terdengar. Tapi buat Bima, malam itu rasanya lebih berat sekaligus lebih ringan. Berat karena sadar ibunya terluka diam-diam. Ringan karena akhirnya ia tahu, ada yang benar-benar takut kehilangan dirinya.