Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembantaian
“Apa dia marah karena aku sedikit keras?” gumamnya panik. Mengingat bahkan Rose menjebol pertahanan Bianco Reale hanya untuk menyelinap masuk kekamarnya.
Langkah Lucas semakin cepat, rasa panik mulai merambat. Ia membuka pintu kamar, menoleh ke balkon, sampai akhirnya menemukan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Lucas mendorongnya.
Dan di sanalah ia berdiri kaku. Rose tertidur di bathtub.
Lucas mendadak lupa bernapas. Detik-detik itu terasa panjang. Bagaimana bisa seseorang terlihat sebodoh sekaligus seindah itu dalam waktu bersamaan? Pikirnya.
Lucas berjalan menuju bathtub, memastikan Rose masih bernapas. Wajah lugunya mendongak dengan mulut terbuka, terlihat bengitu lelap. Senyum kecil terbit begitu saja.
Saat itulah Rose tergerak. Ia membuka mata, menemukan Lucas berdiri di hadapannya. Seketika ia menjerit. “AAAAH! Dasar gila! Apa yang kau lakukan di sini?!” Rose memasukan tubuhnya kedalam busa.
Lucas angkat tangan, ekspresinya datar, meski ada senyum menahan tawa di sudut bibirnya.
“Tenang. Aku tidak berencana menenggelamkanmu.”
Rose melotot. “Keluar! Sekarang juga!”
Lucas mengangkat alis. “Aku hanya memastikan kau masih bernapas. Apa aku harus menyesalinya?”
Rose menutup kedua buah d4danya, memasang wajah kesal.
Lucas bergeser, kali ini berdiri tegak di ambang pintu. Ia menyipitkan mata, suaranya tenang, namun sedikit getir. “Aku pulang dalam keadaan kepala mau pecah. Lalu tidak menemukanmu di ruang tamu. Untuk sesaat… aku kira kau menghilang. Jadi maafkan aku jika refleks panik.”
Rose terdiam. Tatapannya melemah. Ada sesuatu di suaranya, bukan gurauan, bukan rayuan, tapi ketulusan yang dingin sekaligus hangat. Ia menunduk cepat. “B-bodoh. Kau tidak usah berpikiran aneh. Aku hanya tertidur, itu saja, ucapnya pelan namun Lucas mendengarnya.
Lucas menarik napas panjang, lalu mundur. “Aku melarangmu tidur di lantai bawah. Tapi bukan berarti harus tidur di bathtub…”ucapnya, menahan tawa. berbalik, keluar tanpa menoleh lagi.
Rose menatap punggung itu sebelum pintu menutup. Ia menggertakkan gigi, lalu berbisik pada dirinya sendiri. “Kenapa pria itu… bisa membuatku kesal dan lega dalam waktu yang sama?” gerundelnya, namun sekali lagi hatinya mulai mengoceh. “Rose, dia suamimu. Bukankah seharusnya dia menyentuhmu?... Huft! Akuu baru tahu, ternyata otakku mesum…” kesalnya.
*
Motessa, malam ini.
Sesuai arahan tuannya Lucas, Hose dan para pengawal sedang sibuk membuat benteng pertahanan. Dan mengirim beberapa istri yang harus di selamatkan. Malam ini, Hose mengirim lima istri yang sudah siap.
Senyum dan harapan baru terukir diwajah mereka. Ada dunia indah dan kebebasan diluar sana. Meski hati sedih karena meniggakan Pallazo yang indah seperti serpihan surga, namun saat ini ada masa-sama dimana warga kota mulai ingin menerobos masuk, membuat mereka pun merasa tidak nyaman.
-
Langit gelap, bulan hanya separuh, cahaya lampu mobil-mobil konvoi itu membelah pekat hutan. Fero pemimpin operasi kali ini, duduk di kursi depan, memberi arahan lewat radio kepada driver. Tugasnya jelas, mengirim 5 istri menuju kota lain, tempat persembunyian yang lebih aman, sesuai dengan perintah bos besar Lucas Morreti.
“Pastikan jalur ini aman. Jangan berhenti. Kita harus sampai sebelum fajar,” suara Fero berat, penuh tekanan.
Di kursi belakang, para istri duduk dengan wajah tegang, sementara pengawal menjaga ketat. Mereka semua tahu, ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah pelarian dari ancaman yang tidak bisa mereka pahami sepenuhnya.
Namun, di kegelapan lain, dua mobil hitam melaju tanpa suara. Di dalamnya duduk Don Cassiel dan Sebastian. Tatapan Sebastian tajam, penuh dendam.
“Mereka pikir bisa lolos begitu saja?” desisnya.
Don Cassiel menghisap cerutunya, lalu meletakkan tangannya di kepala anjing besar berwarna hitam di sampingnya. Mata binatang itu merah menyala, terlatih untuk hanya mengenali bau darah.
“Malam ini, hutan akan menjadi kuburan mereka.” Ucapnya, tersenyum bengis.
Tiba-tiba…
BRAKKK!
Salah satu mobil konvoi terguling ke parit setelah ditabrak dari samping. Kepanikan pecah. Pengawal berusaha menembak balik, tapi suara rentetan senjata otomatis membungkam mereka dalam hitungan detik.
“Aakkhh!”
“Aakkh!”
Jeritan memenuhi udara, namun terputus oleh bunyi peluru.
Salah seorang istri mencoba kabur, berlari menembus hutan dengan gaunnya yang robek. Tapi anjing Cassiel dilepaskan. Hewan buas itu menerk4m, gigi besarnya mer0bek lengannya, lalu tubuhnya diseret ke tanah dingin.
Don Cassiel turun, mengawasi dengan senyum tipis. “Biarkan mereka m4ti seolah dimangsa binatang liar. Dunia tidak perlu tahu permainan kita.”
Sebastian maju, menembakkan peluru terakhir ke d4da sopir yang masih bernafas.
Dorr!
Wajahnya penuh kepuasan, namun sorot matanya liar, seperti iblis yang sedang menagih janji. Tertawa lega melihat sopir itu roboh.
Beberapa menit kemudian, sunyi.
Hanya terdengar suara daun bergesek dan anjing yang masih melum4t d4ging segar.
Di jalan hutan yang kini berubah jadi medan pembant4ian, tubuh-tubuh bergelimp4ngan. Lima istri, dua sopir, dan empat pengawal, semua m4ti dengan ngeri. D4rah mereka meresap ke tanah, menyatu dengan kabut dingin malam.
Namun, di balik kekacauan itu… ada sesuatu yang terlewat.
Sebuah syal tipis berwarna biru muda, terjepit di semak, melambai kecil ditiup angin. Syal itu menjadi satu-satunya saksi bisu tragedi.
Keesokan harinya, kabar pembantaian menyebar.
Di Motessa, ibunya Rose menatap kosong, suaranya parau bergetar saat berkata di hadapan keluarga dan para tetangga. “Ini kutukan… kutukan atas kesalahan yang sudah kita langgar. Kita menukar darah, kita mengkhianati garis takdir. Dan kini balasannya datang.”
Ia menangis, suaranya serak penuh putus asa. “Hanya Rose… hanya Rose yang bisa menebus semuanya. Dia harus ditemukan, atau kita semua akan hancur bersama dosa ini.”
Suasana hening. Hanya terdengar isakan kecil dan tatapan penuh kecemasan. Semua sadar, mencari Rose bukan lagi sekadar keinginan. Itu adalah keharusan.
*
Bersambung!