“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 22
Ujung belati ditusuk pelan ke garis rambut sejajar dengan urat kening.
Tubuh Laila mengejang hebat, baut yang mengunci besi bergerak hampir terlepas.
Bunyi napas wanita cantik itu tak beraturan, debar jantungnya layaknya dipompa menggunakan alat pacu jantung, matanya mendelik hingga bagian hitam tertutup putih.
Argh!
"Berhenti!"
Laila memberontak, mencakar papan hingga berbunyi, kakinya menghentak.
“Laila! Tolong kami!”
“Laila! Selamatkan kami!”
“Kak Laila! Aku tak bersalah! Tolong cabut paku ini! Tolong!”
Suara-suara para arwah kembali menghantui Laila.
“Pramudya!” pekik Mbah Patmi.
Pria yang dipanggil segera melempar belatinya. Tangannya mencengkram rahang sang bidan agar terbuka.
“Cicitmu sungguh keras kepala Ngatemi!” Mbah Patmi mengambil daun kelor yang sudah direndam air bunga telon dalam bokor kuningan.
Wanita tua itu memukulkan daun ke kepala hingga tumit Laila. Setiap pukulan dibalas jeritan, sang bidan sudah dalam keadaan kehilangan kendali diri.
Tanpa di duga, jarum hitam muncul di permukaan kulit yang tadi disayat oleh Pramudya.
Secepat kilat sang pria melepaskan besi menahan perut Laila, setelahnya linggis dibuang ke sembarang arah.
Akh!
Laila terduduk di meja papan – jarum yang tadi timbul lenyap bersamaan dengan dirinya muntah darah merah kehitaman.
Hueg!
Tatapannya sayu, berembun – dua sosok yang berdiri beberapa langkah darinya terlihat samar.
Dirinya belum sepenuhnya dapat menerka apa yang terjadi, tapi sesuatu sudah lebih dulu mengambil alih. Menghempaskan kembali tubuhnya pada meja pembaringan.
Laila menjerit keras ketika kepalanya berdenyut, seperti ditusuk-tusuk benda runcing. Dia kesulitan bernapas, seolah berada di lautan lepas, diombang-ambingkan oleh ombak, lalu tubuhnya menghantam karang, luruh tenggelam, tapi tak patah arang – mencoba berenang ke permukaan.
'Ini bukan ingatan ku. Juleha … memorimu kah ini?' kepalanya seperti dipukul palu, tengkuknya terasa ngilu, tegang.
“Jangan dilawan, terima, lihat, resapi – biarkan dia menunjukkan jalan, memberi penerangan agar kau tak lagi tersesat, salah jalan.”
Sebuah suara menenangkan – menghantarkan Laila kembali mengulang waktu, dia tetap menjadi dirinya, tetapi berwujud arwah transparan.
.
.
Sepuluh bulan yang lalu.
Pada suatu sore hari menjelang magrib, tepatnya malam Jumat Kliwon.
Tok!
Tok!
“Bu bidan Juleha!”
Daun pintu rumah dibuka, sosok yang masih mengenakan pakaian dinas terlihat tersenyum ramah, meskipun wajah lelah bekerja seharian tampak nyata.
“Kenapa, Pak? Ada perlu apa?” tanyanya lembut.
“Tolong istri saya mau melahirkan, bu Bidan. Air ketubannya sudah pecah!” wajahnya menggambarkan rasa panik luar biasa.
Tanpa berganti baju, bidan Juleha mengambil tas yang berisi alat kesehatan seperti tensi darah, infus, dan lainnya.
“Cepat Bu! Naik motor saya saja, daripada milik ibu lajunya sangat lambat!” pria berkaos lusuh itu sedikit memaksa.
Juleha memaklumi, kendatipun dia tidak mengenal betul pemberi tumpangan.
Motor RX-King melaju kencang, hingga tubuh sang bidan sesekali terlonjak, dia berpegangan pada ujung jok.
"Pak, kok lewat sini?” teriaknya sedikit kencang agar didengar.
"Biar cepat sampai!” jawabnya asal.
Semula Juleha masih berpikir tenang, tapi saat motor memasuki perkebunan karet, dan semakin jauh dari jalan utama – hatinya kian cemas, menyadari ada sesuatu yang salah.
Tanpa ragu, Juleha melompat. Dia terguling-guling. Tubuhnya terasa sakit, tali tas dalamnya genggaman tangan terlepas.
‘Lari Juleha! Lari!’ ruh Laila melihat sang pengendara memutar arah, mengejar bidan Juleha yang terseok-seok berusaha berlari menuju jalan utama.
Seraya menahan perih, Juleha berlari kencang, tapi tetap terkejar.
Ban motor bagian depan menabrak Juleha, hingga dia kembali tersungkur.
Laila tidak tinggal diam, dia lupa kalau ini kejadian lampau. Dirinya membungkuk mengambil kayu hendak dipukulkan ke punggung tersangka, tapi tak ada yang teraih, sebab dirinya seperti cahaya tembus pandang.
"Dasar menyusahkan! Bukannya menurut saja, biar tak ku tabrak!"
Plak!
Wanita yang merintih kesakitan itu, meringis saat merasakan perih di sudut bibir kiri. "Tolong lepaskan aku!"
Si pria tidak mengindahkan permintaan memelas, tak jua merasa kasihan pada bidan yang terkenal welas asih.
Dia mengikat tubuh bidan Juleha menggunakan tali tambang, hingga tidak dapat bergerak dikarenakan hampir sekujur tubuh dililit tali.
Bak membawa hewan buruan – sang bidan diikat pada jok belakang, lalu dibawa melaju dengan kecepatan sedang, memasuki perkebunan kelapa karet paling dalam.
Sepanjang jalan Laila mengikuti – matanya menatap sekeliling, otak mematri menandai rute ini. Semakin dalam, bukan cuma ada pohon karet, tapi pohon kayu putih tumbuh subur, berdiameter dua kali tubuh orang dewasa.
.
.
Perjalanan itu tak panjang, tapi cukup memacu adrenalin. Sepanjang mata memandang hanya ada rimbunnya dedaunan, semak belukar dan nyanyian burung gagak.
'Ada gubuk disini?' Laila berlari mengikuti petunjuk mimpi dari suster Ineke.
Gubuk tua yang atapnya dari ijuk pohon aren itu dikelilingi sinar lampu obor. pada gapura pintu masuk – ada dua patung kera menjulurkan lidah.
Sementara di belakang gubuk terdapat bangunan layaknya rumah joglo tanpa dinding, beratap genteng.
Ruh Laila melangkah menaiki undakan tangga. Tepat ditengah-tengah aula terdapat meja panjang, lalu dua tiang besi dengan palang semen, ada cantolan nya, dan juga benda seperti borgol diikat rantai.
Yang lebih membuat takut, di bawah besi itu berdiri angkuh patung Hanoman menyeramkan, kepalanya mengenakan mahkota, gigi bertaring, berbulu lebat.
Ruh Laila terlempar satu meter, aura disini sangat pekat, kuat, tajam, seolah mengetahui kedatangan sesuatu tidak diundang.
“Tolong!”
Jeritan Juleha menyadarkan Laila, dia berlari menembus pepohonan, masuk ke dalam rumah gubuk yang dalam terlihat lenggang.
‘Juleha!’ ia menjerit. Percuma berusaha melepaskan karena dirinya sudah menyadari ini waktu masa silam.
“Tolong!” Juleha berteriak, memberontak saat pakaiannya dilucuti, hingga tak tersisa sehelai benang pun.
Duk!
Kening juleha dihantamkan pada lantai papan, lalu pria tadi keluar, meninggalkan Laila seorang diri, tak berniat melecehkan, hanya menelanjangi.
“Abang, Juleha takut,” tangisnya melirih, dia hampir kehabisan tenaga. Berulang kali berusaha melepaskan diri, tapi tali yang mengikatnya semakin kencang dan menyakiti.
Tiba-tiba terdengar suara deru motor lebih dari satu. Laila keluar hendak melihat siapa yang datang.
"Apa dia sudah ada didalam?" tanya suara berat, serak-serak basah.
"Sudah Juragan."
"Persiapkan ritualnya, jangan sampai kelewatan barang sedetik pun! Paku ulir dan juga palu – keluarkan dari rendaman air mantra!"
.
.
Bersambung.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka
salah satunya antisipasi untuk hal seperti ini.
bahkan kita sendiri kadang tidak tahu weton kita apa,karena ditakutkan kita akan sembarangan bicara dengan orang lain.
waspada dan berhati hati itu sangat di perlukan .
tapi di zaman digital sekarang ,orang orang malah pada pamer weton kelahirannya sendiri🤣
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk