Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Suasana di ruang keluarga mendadak membeku. Dion tercekat dengan ucapan putrinya, sementara Gio malah tersenyum sinis, merasa menang karena berhasil menusuk sisi paling rapuh milik adiknya.
Namun berbeda dari biasanya, kali ini Deva tidak menunduk, tidak juga memilih diam atau menangis sambil memohon untuk tidak mengatakan hal itu lagi. Kedua bola matanya menatap Gio tajam bagaikan pisau, dingin namun penuh bara api yang menunggu untuk meledak.
"Tahu nggak, Gi?" suara Deva terdengar rendah, menusuk ke setiap telinga yang mendengarnya. "Lo teriak-teriak bilang gue beban, bilang gue penyebab kematian Mommy, seolah-olah lo orang paling suci di dunia ini. Padahal kenyataannya? Lo cuma pengecut yang butuh kambing hitam buat nutupin rasa bersalah lo sendiri, kan?"
Gio membelalak, "Apa maksud lo?!"
Deva berdiri dari sofa, tubuhnya bergetar karena amarah yang selama ini ia tahan sudah sampai pada batasnya.
"Maksud gue, lo nggak pernah bisa nerima kenyataan. Mommy udah pergi, dan lo terlalu lemah buat nerima takdir. Meski lo amat sangat ingin gue mati, hal itu nggak bakal bikin Mommy balik dan lo tahu akan kenyataan itu. Jadi lo pilih cara paling gampang yaitu nyalahin gue, bayi yang bahkan nggak ngerti apa-apa waktu itu. Hebat banget, Gi! Cowok segede lo masih aja hobi nindas adik sendiri demi ngelindungin ego rapuh lo!"
"Lo...!" Gio maju setapak, tapi tatapan Deva membuat langkahnya terhenti.
Ada sesuatu dalam sorot mata itu, sesuatu yang tidak pernah Gio lihat sebelumnya. Seakan ia tidak pernah mengenal sosok gadis di depannya itu.
Deva mendekat perlahan, wajahnya kini hanya berjarak sejengkal dari kakaknya. "Denger baik-baik. Gue udah cukup lama nerima semua hinaan lo, semua cacian lo. Tapi mulai sekarang, jangan pernah sekali pun lo nyebut gue pembunuh. Karena kalau lo berani ngulang itu lagi, gue pastiin lo bakal nyesel seumur hidup."
Hening. Dion menahan napas, tak menyangka putrinya bisa berbicara setegas itu karena selama ini Deva hanya bisa menangis di pelukannya jika sedang bermusuhan dengan kakaknya.
Gio mencibir, "Lo ngancam gue, hah? Adik kecil kayak lo berani ngelawan gue?"
"Adik kecil lo ini," Deva menyeringai dingin, "udah lebih kuat dari yang lo kira. Gue mungkin nggak bisa balikin Mommy, tapi gue juga nggak bakal biarin lo terus-terusan injek-injek gue seenaknya. Jadi kalau lo pikir gue beban, gue tantang lo, coba hidup tanpa ngatain gue satu kali aja. Berani nggak, Gi? Atau lo memang cuma bisa besar mulut doang?"
Senyum di bibir Deva semakin tajam, penuh tantangan.
Gio terdiam, rahangnya mengeras, tangannya mengepal begitu kencang hingga buku-bukunya memutih. Namun, kata-kata yang keluar dari Deva terlalu menusuk untuk langsung dibalas.
Dion akhirnya berdiri, berusaha menghentikan suasana yang semakin memanas. "Cukup! Kalian berdua, berhenti sekarang juga! Daddy nggak mau ada pertengkaran lagi di rumah ini!"
Namun Deva tidak menoleh ke arah ayahnya, matanya masih terkunci pada Gio. "Inget kata-kata gue, Gi. Mulai hari ini, gue bukan boneka lo lagi. Kalau lo berani coba injek harga diri gue lagi, lo bakal tahu rasanya ditampar sama kenyataan."
Setelah itu, Deva berbalik, melangkah pergi dengan kepala tegak. Aura dinginnya menyelimuti ruangan, meninggalkan Gio yang terdiam dengan wajah merah padam, serta Dion yang termenung, sadar bahwa putrinya kini bukan lagi gadis kecil yang bisa dipatahkan dengan kata-kata.
Langkah Deva baru sampai di ambang pintu kamarnya terhenti, ketika suara Gio menggelegar di belakangnya.
"Berani banget lo ninggalin gue setelah ngomong kayak gitu, dasar pecundang!"
Gio berlari menyusul Deva ke lantai dua, wajahnya merah padam menahan amarah. Tangannya terangkat, seolah siap menarik atau bahkan mendorong adiknya.
Dion terperanjat, "Gio! Jangan berani-berani kamu—"
Namun sebelum tangannya menyentuh Deva, gadis itu sudah berbalik dengan cepat. Tatapan matanya tajam, suaranya meledak penuh api yang tak bisa dipadamkan.
"Lo sentuh gue, dan lo bakal nyesel seumur hidup, Gi!"
Gio terhenti, tapi amarahnya tak surut. "Lo pikir gue takut sama lo, hah?! Dari dulu lo cuma nyusahin! Semua orang tahu kalau lo cuma bawa sial! Kalau Mommy masih hidup, gue yakin dia nggak bakal mau lihat muka lo!"
Deva tertawa pendek, nadanya getir, dan juga penuh penghinaan. "Wow, hebat banget lo bisa ngomong atas nama Mommy. Emangnya Mommy pernah bisikin itu langsung ke kuping lo waktu dia masih hidup? Atau lo cuma halu karena butuh alasan buat benci gue?"
Kata-kata itu menusuk telak. Gio mendidih, urat lehernya menegang. "Jaga mulut lo, Dev!"
"Terserah lo," Deva maju selangkah mendekat, "tapi ingat satu hal. Mommy ninggalin dunia ini karena melahirkan gue, dan itu bukan salah gue. Itu takdir. Lo mau nyalahin gue? Silakan! Mau benci gue? Silakan! Tapi sadar diri, Gi. Lo cuma pengecut yang nggak pernah bisa nerima kenyataan. Lo butuh kambing hitam buat nutupin rasa takut lo sendiri. Dan guess what? Gue nggak bakal jadi boneka lo lagi."
Gio menggertakkan giginya, "Lo—!"
"Lo apa, hah?" Deva mencondongkan tubuh, menatapnya tepat di kedua mata Gio. "Lo mau mukul gue? Silakan! Tunjukin ke Daddy sama dunia kalau Gio, anak kedua yang katanya paling hebat itu, ternyata nggak lebih dari pengecut yang bisanya cuma mukulin adik perempuan yang lebih muda. Ayo, Gi! Buktiin!"
Ruangan mendadak hening. Dion terpaku, napasnya tercekat ia benar-benar tidak mengenal sosok putrinya saat ini. Gio berdiri mematung dengan tangan masih mengepal, tapi sorot matanya mulai tampak goyah. Kata-kata Deva bagai cambuk yang menampar harga dirinya.
Deva mengangkat dagu, menatap kakaknya dengan senyum tipis penuh penghinaan. "Nggak bisa kan? Karena pada akhirnya, lo nggak berani. Lo cuma bisa teriak-teriak, nyalahin orang lain, tapi nggak pernah punya nyali buat ngadepin kenyataan. Dan lo nyebut gue pecundang? Liat dulu diri lo sendiri di kaca, Gi."
Wajah Gio pucat sekaligus merah padam, tubuhnya bergetar menahan emosi. Tapi lidahnya kelu, tidak bisa memuntahkan satu kata pun.
Deva berbalik sekali lagi, kali ini langkahnya mantap dan tak terbendung. "Gue udah cukup lama diem. Tapi hari ini, lo harus tahu… gue bukan lagi adik kecil lo yang bisa diinjek kapan pun lo mau."
Dengan pintu yang ditutup cukup keras, Deva meninggalkan Gio yang kini berdiri kaku, terdiam dengan gengsi tercabik habis-habisan.
Dion hanya bisa menatap putra keduanya dengan kecewa. "Sekarang kamu puas, Gio? Kamu sudah berhasil bikin adikmu berdarah-darah sama kata-katamu sendiri. Tapi bedanya, kali ini dia nggak jatuh. Dia berdiri, dan kamu yang kalah."
"Daddy belain dia?" Ujar Gio menoleh ke arah ayahnya.
"Bukan belaian, tapi kamu juga nggak bisa bersikap layaknya seorang Kakak." Dion menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari. "Dia adik kamu, Gi. Nggak ada yang salah dengan kelahirannya."
"Bohong! Dia yang bunuh Mommy, Dad! Gara-gara dia lahir, Mommy jadi ninggalin kita!" Teriak Gio murka.
Saat itulah, tangan kanan Dion melayang dan menampar wajah putranya hingga meninggalkan bekas kemerahan. Raut wajah pria paruh baya itu tampak sangat marah.
"Cukup! Daddy nggak mau dengar apa pun lagi dari kamu, Deva benar semua sudah takdir dan nggak ada yang bisa merubahnya."
Gio tertegun selama ini ayahnya belum pernah menampar atau memukul wajahnya.
"Daddy nampar aku? Haha, hanya karena Deva?" Gio tersenyum kecut. "Aku kecewa sama Daddy!"
Setelah mengatakan hal itu, Gio berlari menuju kamarnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah ayahnya.
"Gio! Tunggu," Dion berseru memanggil putranya namun anak itu tidak menghiraukan panggilannya. Dion mengusap wajahnya dengan kasar, "Sialan!"