Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20. Bertemu
Tak ada keributan yang berarti, kehidupan di dalam rumah sederhana itu tetap sama. Arunika sudah bersiap dengan seragam kuliah dan jaket almamaternya.
Eka menatap bangga putrinya, Arunika mengambil kotak bekal dan memasukkannya ke dalam tas. Purnomo sudah selesai dengan sarapannya.
"Kami pergi dulu ya Bun," pamit Arunika mencium punggung tangan ibunya.
'Bun," Purnomo memilih mengecup kening istrinya. Arunika suka adegan romantis antara ayah dan ibunya itu.
Kedua sudut bibirnya pun naik ke atas. Ia langsung membuang muka saat bibir sang ayah turun menuju bibir ibunya.
"Ayah!" serunya kesal.
"Ayah ih!' seru Eka ukuran kesal. Ia malu, ada anak gadisnya yang sudah beranjak besar.
Purnomo hanya cuek saja, ia tetap mengecup bibir istrinya itu. Eka cemberut, walau ia tak bisa menolaknya. Eka mengantar mereka.
Sudut mata Arunika melirik pojok garasi. Ada sesuatu yang tertutup kain yang warnanya sama dengan dinding garasi. Ia tak berani bertanya apapun, setelah kejadian kemarin.
Keduanya naik mobil dan berjalan pelan disertai lambaian tangan Eka. Ia menghela nafas panjang, setelah melihat mobil suaminya menghilang di balik pagar yang tertutup otomatis.
"Dasar Ayah!" gerutunya pelan.
Tentu ia tau kejadian kemarin, Purnomo tentu tak bisa menyimpan semua lama-lama. Ia langsung memberitahukan Eka apa yang terjadi.
Kembali ke kendaraan, seperti biasa lancar hingga tiba di jalur protokol. Beberapa mobil nampak melaju dengan kecepatan tinggi. Semua kendaraan seperti ingin buru-buru keluar dari jalan itu agar terhindar dari macet.
Purnomo juga menekan gas dalam-dalam, Arunika hanya menikmati perjalanan. Tak ada musik, mereka memang suka seperti ini.
Sampai kampus, Arunika turun. Ia sudah hafal letak.kelasnya. Ketika ia duduk, Medi masuk dan ikut duduk di sisinya.
"Hos ... Hos!" terdengar suara nafas Media yang ngos-ngosan.
"Kamu habis apa? Ngejar maling?' kelakar Arunika, ia sedikit terkejut dengan candaannya.
"Ih, bisa benget kamu!" sengit Media tersenyum.
"Eh, buka buku Ekonomi krusial. Nanti ada ujian dadakan!' seru Medi pada beberapa anak di kelas.
"Hah, yang bener?' Media mengangguk cepat. Semua buru-buru buka buku begitu juga Arunika.
Tak lama, dosen masuk, benar saja. Mereka langsung diberi kertas.
'Kita ujian!" seru Dosen dan langsung disahuti keluhan semua mahasiswa.
Waktu terasa lambat. Hingga akhirnya bel tanda istirahat berbunyi, kelas berubah riuh.
Semua kertas ujian dan lembar jawaban dikumpulkan langsung oleh dosen. Setelah pria itu pergi, semuanya mengucap terimakasih pada Media.
"Untung kamu bilang Med!"
Priscilia berdiri dengan penuh percaya diri di depan kelas.
“Teman-teman, aku hari ini ulang tahun. Aku traktir kalian di kantin, ayo ikut semuanya!” serunya lantang.
Sontak ruangan meledak dengan sorakan setuju.
“Wah, mantap!”
“Asik gratisan!”
“Selamat ulang tahun, Sil!”
Medi menoleh pada Arunika.
“Kamu ikut nggak, Nik? Kalau nggak mau, aku juga bisa nemenin kamu di kelas.”
Arunika tersenyum samar. Ia tahu Medi tulus.
“Nggak usah, Di. Kita ikut aja. Masa orang sudah ngajak ramai-ramai, kita malah nggak datang.”
Medi mengangguk. “Baiklah. Tapi aku pastikan kamu duduk dekat aku. Kalau rame banget, aku jadi tameng.”
Arunika tersenyum lebih lebar. Itulah Medi, tak pernah berubah.
Mereka berjalan ke kantin, yang sudah penuh riuh. Meja panjang sudah dipenuhi makanan ringan, gorengan, nasi kotak, hingga minuman berwarna-warni. Priscilia sibuk menyapa satu per satu teman.
Arunika duduk di ujung meja. Medi duduk di sampingnya, seperti bayangan yang selalu ada.
Sosok jangkung memenuhi pintu, Semua mata melihat.
"Hai Sil ... Selamat ulang tahun ya, aku bawa temen kenalin nih! Aku juga bawa kado kok!' sahut remaja dengan rambut sedikit panjang itu.
Arunika menatapnya dengan mata bulat, ... 'Raka!' lirihnya sangat pelan.
Raka berdiri kaku, matanya tak lepas pada sosok yang selama ini ia cari seperti orang gila.
Acara ulang tahun berlangsung ramai. Media yang dapat kertas hukuman harus bernyanyi. Ia pun tampil dengan percaya diri.
"Hai. .. Pembenciku ...!" ia menyanyikan lagu grup band "Kotak" berjudul Haters dengan sangat apik.
Suara tepuk tangan menggema di ruangan cukup besar itu. Arunika juga ikut bertepuk tangan hanya untuk menutupi detak jantungnya yang sangat cepat.
Raka mendekati tempat duduk Arunika. Wangi tubuh Raka membuat Arunika gugup. Media menyelesaikan nyanyiannya.
"Sorry!' serunya menyela posisi Raka.
Medi benar-benar melindungi Arunika. Raka hanya diam, tentu ia tak berani melakukan apapun. Pesta kecil itu selesai, ada bingkisan terimakasih untuk yang hadir. Sebuah pulpen dengan karakter lucu.
Raka mengikuti Arunika dan Medi, beruntung mereka jalan beramai-ramai. Jadi tak ada yang curiga. Kelas Raka sudah selesai, jadi ia bebas.
Arunika masih ada dua sks lagi. Jadi selama satu jam ke depan. Ia amain berkutat dengan buku. Raka menunggu di tempat lain. Matanya tak lepas dari pintu di mana kelas Arunika berada.
Dua jam berlalu, dosen akhirnya keluar dari kelas diikuti semua mahasiswanya. Raka langsung berdiri ia menunggui lagi.
Lalu Arunika keluar bersama dengan Medi. Raka sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Arunika!" serunya lalu melambaikan tangan.
Arunika menatapnya, wajahnya langsung merona. Medi melihat wajah sahabatnya itu.
"Ah .. Apa dia yang selama ini kamu cari?" terkanya mengerti.
"Hah? Apa?" tanya Arunika pura-pura tak tau.
'Ah, ayolah!" ledek Medi tersenyum usil.
Raka mendekat, matanya tak lepas dari sosok yang selama ini ia cari. Arunika serba salah, tapi Medi bukanlah orang yang suka ikut campur.
"Huh, mending aku pergi dari pada jadi obat nyamuk!" serunya lalu ia pun berlari meninggalkan keduanya.
"Makasih Med!" seru Raka.
"It's okey!" jawab Media berteriak sambil mengangkat jempolnya ke udara.
Arunika hanya melirik pada Raka yang tak berhenti menatapnya.
"Kamu kemana saja?" tanya Raka gemas.
"Aku nyariin kamu loh?" lanjutnya lagi.
"Aku juga!" sahut Arunika pelan ... sangat pelan.
Keduanya masih berdiri di sana, Arunika yang menunduk dan Raka yamg seperti ingin berpuas diri menatap Arunika. Mengobati semua kegelisahan dan kerinduan selama ini.
"Kita jalan?' ajak Raka dan Arunika mengangguk pelan.
“Kita jalan?” ajak Raka.
Arunika hanya mengangguk pelan. Jantungnya masih tak terkendali, wajahnya bersemu merah. Mereka berjalan beriringan, pelan sekali, seolah takut langkah yang salah akan menghapus momen itu.
Namun kebahagiaan tipis itu buyar saat suara langkah tergesa terdengar. Sosok Purnomo muncul dari kejauhan, wajahnya tegang, mata menyapu tajam kerumunan hingga berhenti tepat pada Raka.
“Arunika!” panggilnya keras, nadanya seperti perintah.
Arunika terperanjat. Tanpa pikir panjang, ia meraih lengan ayahnya. “Yah, ayo pulang!” ucapnya panik.
Raka berdiri kaku, hanya mampu menatap punggung Arunika yang cepat-cepat menarik Purnomo menuju mobil, sementara tatapan tajam itu masih menusuk dirinya.
Bersambung.
Yah .. Ayah ...
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu