Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua penguasa
“Dan aku dengar…” Tobias menyipitkan mata, senyum menyeringai terbit di bibirnya, “…kau memiliki istri-istri cantik, tuan Morreti. Hm, pesta ini pasti akan semakin indah. Aku suka pria yang tahu caranya memamerkan harta berharganya.”
Lucas menoleh pelan. Tatapan matanya begitu datar, menusuk seperti belati dingin. Hanya sekilas ia tersenyum, tapi itu cukup membuat udara menjadi berat.
“Maaf sekali tuan Tobias,” ujarnya lirih, menolak dengan samar. “Aku bukan pria yang memamerkan milikku untuk disukai orang lain...” jawabnya, dingin.
Tobias mengernyit, namun ia kembali tertawa. Ia tahu, pria muda ini belum berpengalaman dalam hal mengatur pemasukan dari menjual istri.
Namun dalam hati Lucas sudah berbisik dingin, pesta itu bukan untuk mengukuhkan persatuan, melainkan untuk memancing kelemahan. Ia akan mengevakuasi semua istri dan pelayan wanitanya lebih dulu, agar tidak ada darah tak bersalah yang tumpah. Palazzo harus kosong, selain dirinya dan singa tua itu.
Biarlah orang-orang Motessa melihat panggung kemegahan. Biarlah mereka bersorak atas “kerja sama” dua penguasa. Karena di balik tirai, Lucas sudah menyiapkan arena perburuan.
*
Di sisi lain, di tower Morreti.
Rose kembali membuka buku usang itu. Halaman-halamannya hampir habis, dan dengan setiap kalimat, ia semakin memahami siapa sebenarnya suaminya.
Tulisan tangan itu goyah, namun tegas. Luka lama, yang dituliskan dengan tinta air mata.
‘Tobias Mancini.’
‘Pria itulah yang menaruh benihnya di perutku. Namun saat tahu kau hidup, dialah yang pertama memintaku membunuhmu. Maka jangan pernah kau anggap dia ayah. Jangan, Nak. Aku yakin, aku bukan satu-satunya wanita yang bernasib sepedih ini.’
‘Jika suatu hari kau duduk di ruangan tenang, dengan baju rapi, artinya Tuhan telah mendengar doaku. Jangan biarkan ada wanita lain di Motessa yang menanggung derita serupa.’
‘Siang dan malam aku berdoa, agar wanita Motessa benar-benar merdeka. Akan tetapi, jika beban itu terlalu berat, maka jangan pernah dekati Tobias Mancini. Dia bukan manusia. Dia kejam. Dia tak punya nurani.’
‘Kau tahu, kadang saat emosi ibuk runtuh, ibuk justru berharap kau tidak pernah bertemu dengannya. Biarlah Tuhan saja yang menghukumnya.’
Rose terdiam lama. Tangannya gemetar menutup halaman terakhir. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Bahunya bergetar, melepas tangis. Ingin sekali rasanya memeluk dan mengobati luka di hati pria yang memenuhi ruang hatinya itu, namun ia bahkan tidak tahu dimana Lucas berada.
Malam dilalui dengan rindu yang membelenggu, dan rasa perih mengiris hati.
*
Keesokan harinya. Pallazo bukan lagi istana tenang yang biasa. Seluruh dindingnya bergetar oleh kesibukan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Para pelayan berlarian, membawa kain sutra, lilin raksasa, guci kristal, dan bunga yang dipetik khusus dari taman-taman tersembunyi. Tangga marmer dipoles hingga berkilau, lampu gantung dipenuhi kristal baru, dan setiap jendela besar memantulkan cahaya pagi seolah Pallazo sedang bersiap menantang langit itu sendiri.
Namun, di balik kemewahan itu, ada sesuatu yang tak tercium.
Bayangan hitam.
Mata-mata Don Cassiel terus memantau dari balik kerumunan dedaunan hutan hujan di Seberang. Mereka mencatat, mengintai, berusaha memahami apa yang sebenarnya direncanakan Lucas Morreti. Tetapi mereka gagal membaca garis-garis halus yang tersembunyi. Mereka hanya melihat pesta besar yang akan segera digelar, tidak lebih dari itu.
Mereka bahkan tidak tahu, Lucas mempersiapkan semuanya dengan dingin. Semua istrinya, diam-diam dievakuasi. Para pelayan wanita disingkirkan jauh dari bahaya. Sementara di aula utama, puluhan pengawal dilatih menyamar menjadi pelayan, wajah tunduk, senyum ramah, tetapi di balik apron mereka tersembunyi belati dan pist0l berlapis perak.
Lucas tahu, Tobias Mancini menyukai pesta. Dan ia akan memberinya pesta termewah yang pernah dilihat Motessa. Sebuah panggung, di mana singa tua itu akan berdiri gagah, dikelilingi cahaya, anggur, dan tawa.
Tapi di balik semua itu, Lucas menyiapkan satu hal, dar4h Tobias Mancini untuk kematian ibuknya.
**
Bersambung!