Di Atas Sajadah Merah

Di Atas Sajadah Merah

ARUNIKA

Suasana kelas pagi itu riuh. Anak-anak duduk dalam kelompok kecil, beberapa mengobrol seru, sebagian lagi bercanda seolah sedang di ruang tamu. Ada yang berdiri di depan kelas, duduk di meja guru sambil menirukan gaya mengajar.

Tiba-tiba pintu terbuka. Spontan semua murid berhamburan kembali ke tempat duduk masing-masing, tergopoh-gopoh merapikan posisi.

Seorang guru masuk dengan langkah tenang. Di sampingnya berdiri seorang murid perempuan dengan kepala tertunduk, rambut hitamnya menutupi sebagian wajah.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapa guru itu lantang.

“Selamat pagi, Pak Guru!” jawab seluruh murid bersamaan.

“Sebelum kita mulai pelajaran dan berdoa, Bapak ingin memperkenalkan teman baru kalian,” ujar Pak Edi sambil menoleh pada gadis di sampingnya. “Silakan, Nak, perkenalkan dirimu.”

Gadis itu mengangkat wajahnya pelan. Suaranya lirih saat ia berkata, “Halo, aku Arunika.”

“Hah? Apa?” celetuk salah satu murid di bangku tengah sambil mencondongkan tubuh ke depan.

“Tadi dia ngomong, Pak?” lanjutnya dengan ekspresi polos yang sontak membuat seluruh kelas tergelak.

“Cukup!” suara Pak Edi membungkam tawa dalam sekejap.

“Silakan duduk, Arunika. Maaf ya, kursimu di sebelah Raka,” lanjut Pak Edi sambil menunjuk bangku kosong di samping seorang murid lelaki yang duduk menyendiri dengan hoodie putih menutupi kepalanya.

“Raka, lepas hoodiemu!” seru Pak Edi.

Raka mendesah pelan, lalu menuruti perintah. Ia menyingkap hoodie-nya, memperlihatkan wajah datarnya yang tampak enggan berinteraksi.

Arunika melangkah pelan menuju bangkunya. Ia duduk di sisi Raka, menjaga jarak seperlunya. Ketua kelas lalu memimpin doa, dan pelajaran pun dimulai.

Satu jam setengah berlalu. Bel istirahat berbunyi nyaring. Pak Edi keluar kelas, diikuti murid-murid lain yang langsung tumpah ruah ke luar ruangan.

Arunika tetap di kursinya, membuka tas, lalu mengambil kotak bekal kecil. Ia melangkah cepat menuju taman belakang sekolah. Sebuah pohon akasia tua berdiri kokoh, menjadi tempat teduh yang sepi—cocok untuknya menyendiri.

Ia duduk bersila, membuka bekalnya, lalu mulai menyuap pelan. Angin menerbangkan helaian rambut ke wajahnya. Dengan sabar, ia menyibakkan rambut itu sambil mengamati seekor kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong.

“Indahnya,” gumamnya lembut.

“Tapi bakal lebih indah kalau rambutmu diikat,” ucap sebuah suara dari belakang.

Arunika tersentak. Ia menoleh.

Raka berdiri di sana, tangannya mengeluarkan karet rambut dari saku celana. Tanpa menunggu izin, ia menjangkau rambut Arunika dan mengikatnya menjadi ekor kuda.

Gadis itu membeku, terlalu terkejut untuk protes.

“Itu lebih baik,” katanya singkat, lalu duduk di sebelahnya.

Refleks, Arunika menggeser tubuh sedikit menjauh.

“Maaf,” ujarnya lirih.

Raka menatapnya sebentar lalu mengulurkan tangan.

“Aku Raka. Raka Mahendra.”

Arunika ragu sejenak sebelum akhirnya menyambut jabatan tangannya.

“Arunika,” ucapnya pelan.

“Hanya Arunika?” tanya Raka.

Gadis itu mengangguk. Tak ada kelanjutan percakapan. Mereka terdiam sampai bel berbunyi lagi. Raka berdiri dan kembali ke kelas tanpa berkata-kata. Arunika menatap bekalnya yang belum habis. Ia menghela napas panjang.

Ia menutup bekalnya dan kembali ke kelas. Hari itu berlalu tanpa percakapan lagi antara mereka

Pulang sekolah, Arunika dijemput oleh seorang pria berjaket coklat tua dengan motor tua yang sudah kusam. Bukan karena tak mampu membeli yang baru, namun Purnomo—ayah Arunika—percaya selama motor itu bisa berjalan, maka tak perlu diganti.

“Ayah,” sapa Arunika sambil menaiki motor.

“Iya, Nak,” jawab Purnomo dengan senyum lelah namun tulus. Arunika memeluk pinggang ayahnya erat, dan kendaraan roda dua itu melaju meninggalkan sekolah.

Perjalanan hanya memakan waktu lima belas menit. Rumah mereka sederhana—satu lantai, dengan halaman luas yang penuh tanaman. Sang ibu, Bu Eka, sangat telaten mengurus kebun kecil itu. Bunga dan sayur tumbuh rapi, menjadi wajah rumah yang hangat dan bersahaja.

"Assalamualaikum!' seru Purnomo memberi salam ketika masuk rumah begitu juga Arunika.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" balas Eka dari dapur.

Perempuan berusia setengah abad lewat nampak datang menyambut suami dan putrinya. Senyumnya lebar dan langsung menyambar tangan sang suami dan mencium punggung tangannya dengan lembut.

"Ayah pulang!"

Purnomo mengelus kepala istrinya dan mengecup keningnya dengan mesra. Hal itu membuat pipi dua wanita kemerahan menahan malu.

"Ayah!" protes Arunika cemberut.

Sungguh mimik dan seluruh ekspresi tenang dan diam milik Arunika berubah ketika bersama kedua orang tuanya. Purnomo terkekeh, ia mengacak rambut putrinya yang masih terikat.

"Eh, perasaan tadi sekolah. Rambutmu digerai?" tanyanya menyadari.

Arunika sejenak mematung, ia bingung ingin menjawab apa. Mulutnya hendak berkata jujur, namun Eka, sang ibu memilih menyudahi perkara yang tak perlu diperdebatkan itu.

"Sudah tidak apa-apa Ayah. Ayo, bersihkan diri dan makan. Sudah itu kita jamaah sholat dhuhur ya?!" ujarnya.

Arunika bernafas lega, ia pun berganti pakaian dan makan bersama. Walau setelahnya ia bingung dengan bekalnya yang tak habis.

Eka menatap bekal putrinya yang sisa sedikit. Tak biasanya, Arunika menyisakan makanannya.

"Bunda, maaf ya," sesalnya lirih. Eka menoleh.

"Tadi ada teman ikut duduk bersama. Jadi nggak enak jika makan kalau nggak nawarin," jelas Arunika. Eka tersenyum lalu menggeleng.

"Baiklah Nak, apa kamu mau besok bawa bekal dua? Agar temanmu itu ikut makan bersama?" tanyanya lembut.

"Apa itu tidak memberatkan Bunda?" tanya Arunika tak enak hati.

"Tidak sayang!" jawab Eka.

"Bunda, nggak keberatan sama sekalii!" lanjutnya tegas.

"Tapi takutnya, Raka ...," Arunika menutup mulut, ia keceplosan.

Eka menatap anak gadisnya, sebuah ingatan melintas. Kehadiran buah hatinya yang datang setelah delapan tahun penantian.

Arunika lahir di saat rona matahari baru terbit. Suara tangisannya yang kecil, membuat ia dan suami begitu haru menyambut kehadirannya.

Purnomo, sang suami menamainya Arunika, sepertinya artinya sinar matahari pagi yang menyinari kebahagiaan mereka.

Kini bayi cantik itu sudah tumbuh dewasa dan jadi remaja. Wajah Arunika yang bulat telur, kulitnya putih bak pualam. Rambutnya lurus panjang sepunggung. Eka telah merawatnya penuh kasih.

"Rupanya putri Bunda, sudah besar," ujar pelan sambil mengelus pipi putrinya.

"Bukan begitu Bunda!" sanggah Arunika.

Tapi gadis itu tak dapat berkata apa-apa lagi. Eka mengecup pipi Arunika yang lembut dengan penuh kasih sayang.

"Bunda tak marah kok. Tapi, satu pesan Bunda. Jangan tertinggal pelajaran! Ayahmu pasti marah besar!" peringatnya.

"Bunda ...," rengek Arunika putus asa.

"Sudah sana! Tidur!" ujar Eka memberi perintah.

"Piringnya?" Arunika ingin mencucinya.

"Sudah, biar Bunda saja!" tolak Eka.

Arunika menurut, ia pun masuk kamar. Menuju meja belajar dan menyusun buku-buku pelajaran untuk esok.

Arunika pun naik tempat tidurnya, kamarnya berukuran 4x7 meter². Dengan nuansa biru langit dan ada lukisan awan putih. Di sudut kamar ada hiasan berbentuk burung menggantung dari kertas origami warna-warni.

"Raka Mahendra!" gumamnya pelan sebelum ia merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata.

bersambung

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ

tidur diawali dengan menyebut nama raka mahendra. 🤭

2025-09-08

1

Benny Badaruddin

Benny Badaruddin

semangat kisah barunya Nak

2025-10-09

1

Samiasih

Samiasih

kukira raka ponkan haidar, terkejut aq

2025-08-09

2

lihat semua
Episodes
1 ARUNIKA
2 Bab. 2. RAKA MAHENDRA
3 Bab. 3. RAKA MAHENDRA 2
4 BAB 4. SEBUAH RASA
5 BAB 5. SEBUAH RASA 2
6 Bab 6 – Ujian Akhir SMA
7 BAB 7. UJIAN MATEMATIKA
8 BAB. 8. ULANGAN BAHASA INDONESIA
9 Bab. 9. Ulangan fisika
10 Bab. 10. UJIAN TERAKHIR
11 Bab. 11. Detik-detik Kelulusan
12 Bab. 12. Pesta Kelulusan
13 Bab 13 – Gerbang Masa Depan Kampus UI
14 Bab. 14. Orientasi
15 Bab. 15. Mencari
16 Bab. 16. Ayah
17 Bab. 17. Mencari
18 Bab 18 – Media Gisela
19 Bab 19 – Motor Tua, Air Mata, dan Pelukan.
20 Bab. 20. Bertemu
21 Bab. 21. Larangan
22 Bab 22 – Libur Minggu
23 Bab. 23. Membuka Hati
24 Bab. 24. Firasat Seorang Ibu
25 Bab. 25. Sebuah Kisah
26 Bab. 26. Batas Diri
27 Bab. 27. Grow Up
28 Bab. 28. Upgrade Diri
29 Bab. 29. Kerja Keras
30 Bab. 30. Presentasi Tender
31 Bab. 31. Gala Lunch Tender
32 Bab 32 – Ujian Tengah Semester
33 Bab 33 HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER
34 Bab. 34. Jalinan Kasih
35 Bab. 35. Jalinan Kasih 2
36 Bab 36. Tahun Berganti, Naik Level
37 Bab. 37. Get A Reward
38 Bab. 38. RuMed Kafe
39 Bab..39. Jalan-jalan Sore
40 Bab. 40. Kelulusan
41 Bab. 41. Menjaga Hati
42 Bab. 42. Interview
43 Bab. 43. First Tender
44 Bab. 44. Masih Rindu
45 Bab. 45. My Genius Dougther
46 Bab 46. Bayang-bayang Raka
47 Bab. 47. Mengikhlaskan
48 Bab. 48. Media Jalan-jalan
49 Bab 48. Bayang di Balik Nama Itu
50 Bab. 50. Penantian Yang Sia-sia
51 Bab. 51. Sepasang Cincin
52 Bab. 52. Merelakan Hati
53 Bab. 53. Bertemu Lagi
54 Bab. 54. Sore Yang Meresahkan
55 Bab. 55. Antara Hati dan Profesionalisme
56 Bab. 56. Masalah Hati
57 Bab. 57. Obsesi
58 Bab. 58. Obsesi Yang Tak Sama
59 Bab 58. Rencana
60 Bab. 60. Keputusan
61 Bab. 61. A Little Bit About Bagas
62 Bab. 62. Sebuah Rasa
63 Bab. 63. Jejak Yang Ingin Dilupakan
64 Bab 64. pernikahan Media
65 Bab. 65. Perpisahan
66 Bab. 66. Sebuah Tamparan
67 Bab. 67. Masih Berusaha
68 Bab. 68. Sebuah Ketegangan
69 Bab. 69. PDKT
70 Bab. 70. Naik Peringkat
71 Bab. 71. Keresahan Hati
72 Bab. 72. Versus
73 Bab. 73. Ke Rumah CaMer
74 Bab. 74. Kesan Pertama
75 Bab. 75. Fitnah yang Datang Bersama Masa Lalu
Episodes

Updated 75 Episodes

1
ARUNIKA
2
Bab. 2. RAKA MAHENDRA
3
Bab. 3. RAKA MAHENDRA 2
4
BAB 4. SEBUAH RASA
5
BAB 5. SEBUAH RASA 2
6
Bab 6 – Ujian Akhir SMA
7
BAB 7. UJIAN MATEMATIKA
8
BAB. 8. ULANGAN BAHASA INDONESIA
9
Bab. 9. Ulangan fisika
10
Bab. 10. UJIAN TERAKHIR
11
Bab. 11. Detik-detik Kelulusan
12
Bab. 12. Pesta Kelulusan
13
Bab 13 – Gerbang Masa Depan Kampus UI
14
Bab. 14. Orientasi
15
Bab. 15. Mencari
16
Bab. 16. Ayah
17
Bab. 17. Mencari
18
Bab 18 – Media Gisela
19
Bab 19 – Motor Tua, Air Mata, dan Pelukan.
20
Bab. 20. Bertemu
21
Bab. 21. Larangan
22
Bab 22 – Libur Minggu
23
Bab. 23. Membuka Hati
24
Bab. 24. Firasat Seorang Ibu
25
Bab. 25. Sebuah Kisah
26
Bab. 26. Batas Diri
27
Bab. 27. Grow Up
28
Bab. 28. Upgrade Diri
29
Bab. 29. Kerja Keras
30
Bab. 30. Presentasi Tender
31
Bab. 31. Gala Lunch Tender
32
Bab 32 – Ujian Tengah Semester
33
Bab 33 HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER
34
Bab. 34. Jalinan Kasih
35
Bab. 35. Jalinan Kasih 2
36
Bab 36. Tahun Berganti, Naik Level
37
Bab. 37. Get A Reward
38
Bab. 38. RuMed Kafe
39
Bab..39. Jalan-jalan Sore
40
Bab. 40. Kelulusan
41
Bab. 41. Menjaga Hati
42
Bab. 42. Interview
43
Bab. 43. First Tender
44
Bab. 44. Masih Rindu
45
Bab. 45. My Genius Dougther
46
Bab 46. Bayang-bayang Raka
47
Bab. 47. Mengikhlaskan
48
Bab. 48. Media Jalan-jalan
49
Bab 48. Bayang di Balik Nama Itu
50
Bab. 50. Penantian Yang Sia-sia
51
Bab. 51. Sepasang Cincin
52
Bab. 52. Merelakan Hati
53
Bab. 53. Bertemu Lagi
54
Bab. 54. Sore Yang Meresahkan
55
Bab. 55. Antara Hati dan Profesionalisme
56
Bab. 56. Masalah Hati
57
Bab. 57. Obsesi
58
Bab. 58. Obsesi Yang Tak Sama
59
Bab 58. Rencana
60
Bab. 60. Keputusan
61
Bab. 61. A Little Bit About Bagas
62
Bab. 62. Sebuah Rasa
63
Bab. 63. Jejak Yang Ingin Dilupakan
64
Bab 64. pernikahan Media
65
Bab. 65. Perpisahan
66
Bab. 66. Sebuah Tamparan
67
Bab. 67. Masih Berusaha
68
Bab. 68. Sebuah Ketegangan
69
Bab. 69. PDKT
70
Bab. 70. Naik Peringkat
71
Bab. 71. Keresahan Hati
72
Bab. 72. Versus
73
Bab. 73. Ke Rumah CaMer
74
Bab. 74. Kesan Pertama
75
Bab. 75. Fitnah yang Datang Bersama Masa Lalu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!