Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 20
Setelah Zayn pulang dari aula pesta dan mengantar Carisa ke ruang tamu, ia tidak langsung kembali ke kamarnya sendiri. Dengan santai, ia justru ikut Carisa naik ke lantai dua, menatapnya sambil tersenyum samar.
Zayn kemudian masuk ke kamar mandi di lantai dua. Ia menciduk air dingin, membasuh wajah berulang kali, berusaha mengusir kantuk dan efek alkohol yang masih membuat kepalanya berat. Bau bir yang melekat di tubuhnya terasa lengket dan membuatnya tak nyaman.
Setelah beberapa kali membasuh muka, Zayn menoleh ke jam di pergelangan tangannya, sudah lewat dua jam sejak pesta bubar. Ia memperkirakan, mungkin sekarang Ethan baru mengantar Dion ke rumahnya, dan perlu sekitar dua jam lagi untuk pulang dari sana.
Belum sempat Zayn merapikan napas, Carisa yang masih sedikit mabuk muncul di ambang pintu kamar mandi. Ia sempat tertegun melihat Zayn di sana, namun segera bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Dengan langkah ringan, Carisa berjalan ke samping Zayn, membuka keran satunya, dan mencuci tangannya.
Suara air yang mengalir deras memenuhi ruangan. Carisa menatap pantulan Zayn di cermin, tersenyum tipis, lalu merapikan rambutnya sebelum berbalik hendak pergi.
Namun tiba-tiba, Zayn menarik pinggangnya, memutar tubuh Carisa hingga menempel ke pintu kamar mandi.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Carisa dengan suara lembut, bulu matanya yang lentik bergetar sedikit.
Zayn mendekat, membisikkan kata-kata di telinganya, napasnya hangat di sekitar leher Carisa. “Kamu habis cuci tangan, tapi lupa matikan keran. Kamu sadar tidak?”
Alih-alih menolak, Carisa meletakkan tangannya di dada Zayn, tersenyum manis. “Ya sudah, kamu matikan saja.”
Zayn menyeringai, “Kalau aku matikan buatmu, apa kamu mau kasih imbalan?” Sambil berbicara, ia mencium lembut telinga Carisa. Lidahnya sempat menyentuh anting emas berbentuk ginkgo milik Carisa, lalu mencabutnya perlahan hingga terjatuh ke lantai.
Tak cukup sampai di situ, Zayn menahan Carisa semakin dekat, membuat tubuh keduanya menempel rapat.
Ciuman Zayn di daun telinga membuat Carisa merinding, tubuhnya memanas, sedikit gemetar di bawah pelukannya. Ia berbisik pelan, “Zayn, Ethan bisa pulang kapan saja.”
Zayn mendekat lebih lagi, menahan dagu Carisa agar menatapnya. “Dari pesta ke rumah Dion, lalu balik ke sini, bukan seperti pulang dari pusat kota. Ethan butuh waktu lama. Kita masih punya waktu.”
Carisa tak bisa menyangkal, rasa mabuk membuat tubuhnya lemas, sementara ciuman Zayn menyeretnya makin larut. Gaun yang di pakainya sedikit melorot di bahu, menyingkap kulit pucat di bawah kerahnya. Ia menutup mata, kedua lengannya melingkari leher Zayn.
Zayn tersenyum puas saat Carisa mulai menanggapi, kemudian perlahan menaikkan hem gaunnya, memperlihatkan betis putih Carisa di antara uap kamar mandi yang mengembun.
Hanya suara air mengalir dan napas keduanya yang terdengar, bergema di ruangan sunyi. Villa megah itu malam ini hanya dihuni mereka berdua, tak ada orang ketiga yang bisa memergoki.
--------
Di sisi lain, Ethan meninggalkan apartemen Irish dengan hati kesal. Ia menekan pedal gas dalam-dalam, mobil mewahnya melaju cepat menembus jalanan kota di malam hari.
Ia masih belum habis pikir, sudah membantu memperbaiki kebocoran air, tapi Irish tetap saja bersikap dingin dan menolaknya. Kenapa aku peduli dia berterima kasih atau tidak? batinnya frustrasi.
Setelah berkendara cukup lama, Ethan akhirnya sampai di kediamannya. Malam sudah larut, sehingga saat penjaga membuka gerbang, ia tak meminta untuk memberitahu siapa pun di dalam rumah agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Ethan memarkir mobil, lalu turun dan melihat ke arah taman depan rumah. Di sana, ia melihat Bibi Yu, duduk di kursi taman dengan wajah cemas, kedua tangannya terlipat erat seperti sedang menahan rasa takut.
Ethan mengernyit. Sudah larut, kenapa Bibi Yu di luar? Bukannya harusnya beristirahat atau menjaga Carisa?
Ia berjalan mendekat dan bertanya, “Bibi Yu, kenapa kamu di sini?”
Bibi Yu tampak kaget, seperti tidak percaya Ethan berdiri di hadapannya. “Tuan Ethan?! Anda sudah pulang?” ujarnya gugup.
Ethan menatap heran, “Memangnya aku tidak boleh pulang?”
“Bukan… bukan begitu,” jawab Bibi Yu terbata-bata, napasnya terlihat tidak teratur. Sekilas, ia menoleh ke arah lantai dua rumah, tepatnya ke arah kamar mandi.
Pandangan Bibi Yu yang penuh rasa panik membuat Ethan semakin curiga. Ia mengikuti arah mata Bibi Yu, tapi dari bawah tak terlihat apa pun yang aneh.
“Bibi Yu, sebenarnya ada apa?” tanyanya tegas.
Bibi Yu menunduk, menggigit bibir. Tampak ia berjuang keras menahan sesuatu. Akhirnya ia hanya bisa menjawab, “Tuan Ethan, tidak apa-apa. Lebih baik Anda segera naik… cepat ke atas.”
Kata cepat ke atas diucapkannya pelan tapi penuh penekanan, seolah memberi pesan tersembunyi.
Ethan menajamkan pandangannya, firasatnya langsung tidak enak, seolah Bibi Yu sedang memperingatkannya tentang sesuatu di lantai atas.
gemessaa lihatnya